- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Buku
[DISCUSS] Adakah saingan Srintil-Rasus? (share kisah cinta paling tragis-romantis)


TS
Putri Dangdut
[DISCUSS] Adakah saingan Srintil-Rasus? (share kisah cinta paling tragis-romantis)
Quote:
Huh, ada sebuah pertanyaan yang selalu bingung kujawab, pertanyaan tentang kisah cinta siapakah yang paling mengharu biru, paling romantis, paling indah, dan paling menyakitkan?
Kupikir kisah Laila Majnun adalah kisah yang paling tragis sekaligus romantis mengalahkan Romeo-Juliet, tapi ketika aku kenal Dyah Pitaloka, seorang putri kerajaan sunda yang mati bunuh diri di lapangan Bubat, aku mulai berpikir Dyah Pitaloka lah yang punya kisah paling tragis tapi sungguh indah dan romantis. Pandangan itu berubah lagi ketika aku mengenal kisah ASOKA seorang raja dari India yang mengobarkan perang setelah kehilangan wujud ragawi seorang Putri bernama Kaverki. Pandangan itu terus berubah ketika lagi lagi aku mengenal kisah Edward Cullen dengan Issabella Swan dalam Twilligt.
Kini aku kembali tergugu dengan sebuah kisah yang pernah kubaca 5 tahun yang silam, sebuah trilogi yang belum kujumpai endingnya. Sebuah kisah lama milik Ahmad Tohari. Sebuah kisah yang menelurkan cerpen pertamaku. Kisah itu begitu indah, begitu tak biasa, tapi begitu menyentuh. Penuh kata bersayap dengan filosofi yang dalam. Kisah tentang seorang ronggeng dari sebuah Desa miskin dengan sumpah serapah cabul bernama Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil.
Kisah Srintil pernah kubaca ketika Zaman SMA, aku hanya membaca sampai bagian keduanya: Lintang Kemukus Dinihari. Hanya sampai ketika Srintil ditahan karena kepolosan dan kebebalannya membuatnya dituduh sebagai PKI. Dari kisah itu aku membuat sebuah cerpen, sebuah cerpen yang penuh tokoh-tokoh sastra. Hanya sampai disana Srintil membawa inspirasi bagiku. Selanjutnya kisah itu terlupakan dengan novel-novel metropop yang kemudian menjadi bacaan wajibku sebelum tidur.
Sampai ketika seminggu yang lalu aku mendapat sebuah email dari Rei berisi tiga buah Microsoft Reader kisah Srintil. Trilogi yang lengkap: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala. Jujur, aku malas menyentuhnya, aku malas membacanya, ah sastra lama selalu bikin pusing dengan macam-macam kata-kata bersayapnya, khas zaman dulu, duluuu sekali, begitu aku berpikirnya. Padahal ketika SMA aku adalah pelahap sastra nomor satu. Entah kenapa keindahan sastra kemudian memudar ketika aku mengenal novel-novel metropop. Mungkin karena kisah dalam metropop begitu akrab dengan keseharianku.
Kebosanan akhirnya membuatku terpaksa menyentuh email dari Rei itu. Dan baru saja aku membaca satu alinea, aku sudah faham betapa jeniusnya seorang Ahmad Tohari. Pantas saja puluhan skripsi anak-anak fakultas sastra terlahir dari rahim bukunya itu. Bahasanya tidak zadul seperti Layar Terkembang, tidak begitu idealis seperti Atheis. Walau miskin dialog, tapi kaya dengan deskripsi alam dan deskripsi perasaan. Penuh dengan muatan ilmu biologi dan psikologi. Ilmu biologi-nya terlihat dari deskripsi segala jenis binatang yang pada abad 20 sudah dikatakan musnah, tentang bence, tentang kumbang tahi, tentang jangkrik dengan segala perilakunya. Sementara ilmu psikologi bisa dinikmati dari benturan perasaan yang dialami tokoh-tokohnya. Imajinasi luar biasa ketika seorang penulis bisa mendeskripsikan peristiwa kehilangan seorang ibu menjadi sebuah pencarian yang tak berujung pada sosok kasih sayang.
Ahhh Kisah Srintil membuatku sangat ingin bertemu Ahmad Tohari (apa dia masih hidup?). Aku ingin melihat sosok penulis yang melahirkan Ronggeng Dukuh Paruk menjadi sebuah sastra bermuatan kisah cinta yang dipadu dengan biologi dan psikologi (apa Ahmad Tohari pernah belajar biologi? Apa dia pernah duduk di bangku kampus Psikologi? Ataukah dia hanya seorang pembaca alam yang amat terampil?), aku ingin berkenalan dengan penulis yang menciptakan Lintang Kemukus Dinihari menjadi sebuah novel feminisme yang jenius, aku ingin berbincang dengan penulis yang mereka-reka Jentera Bianglala menjadi ending yang mengharu-biru dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih dari itu semua, aku ingin sekali bertanya padanya? Apa aku masih bisa berjumpa dengan Rasus, lelaki yang mau menikahi seorang mantan ronggeng sekaligus mantan tahanan politik yang juga dirawat di rumah sakit jiwa itu? Aku ingin meminta pada Ahmad Tohari agar ditunjukkan jalan menuju Dukuh Paruk. Aku ingin berguru pada Rasus, pada Srintil juga pada Sakum (seorang penabuh calung yang punya kepekaan rasa walau matanya keropos dan picek).
Ah malunya aku ketika mendapati aku menangis setelah menutup Jentera Bianglala. Tak bisa tidak aku menangis atas kemalangan Srintil, atas pendulum nasib yang begitu bertubi-tubi mencampakkan sisi kemanusiannya. Seorang Srintil yang terlahir dengan indang ronggeng, merasa bahwa menjadi ronggeng berarti menaklukan kelelakian, menjadi duta perempuan yang mempunyai kedudukan di samping lelaki, bukan di bawah atau di atas. Ah Srintil, andai kau benar-benar ada, ingin sekali aku berguru padamu. Tentang cinta yang penuh harapan, tentang sebuah kepasrahan pada naluri keperempuanan; naluri pengabdian, naluri kasih sayang! Srintil yang keluguannya dimanfaatkan sebagai penarik massa pada zaman huru-hara tahun 1965, Srintil yang kupikir berakhir di tahanan, tetapi ternyata tak hanya tahanan yang menjadi tempat berakhirnya, tapi Rumah Sakit Jiwa. Srintil yang masih beruntung karena seorang pangeran ada di sampingnya untuk menunggunya meraih kemanusiannya kembali. Seorang pangeran yang akan tetap menikahinya walau dia bekas ronggeng (yang itu tak jauh berbeda dengan kata sundal), mantan tahanan politik tahun 1965, sekaligus pasien Rumah Sakit Jiwa. Melebihi kisah Laila Majnun, bahkan Romeo Juliet sekalipun. Indah, romantis, tragis dan menyakitkan!!!
Cobalah Teman, tengok Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk nih. Aku menjamin dengan segala luka yang ada padaku, teman tidak akan dikecewakan oleh Srintil, Rasus, Sakum dan segenap tokoh yang ada di Dukuh Paruk. Pada akhirnya aku berdoa apabila Ahmad Tohari sudah tidak bisa kujumpai, semoga dia masih sempat mewariskan indang penulisnya pada siapa pun yang kisahnya bisa kunikmati. Dan dengan segenap keyakinan yang ada pada diriku, aku nyatakan bahwa aku seorang pelahap kisah-kisah cinta yang pernah ditulis dengan sesungguh hati kukatakan, bahwa kisah cinta yang paling mengharu biru, paling romantis, paling indah, dan paling menyakitkan adalah kisah Srintil-Rasus dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Ada yang mau menyainginya? Dengan senang hati akan kunikmati .
Kupikir kisah Laila Majnun adalah kisah yang paling tragis sekaligus romantis mengalahkan Romeo-Juliet, tapi ketika aku kenal Dyah Pitaloka, seorang putri kerajaan sunda yang mati bunuh diri di lapangan Bubat, aku mulai berpikir Dyah Pitaloka lah yang punya kisah paling tragis tapi sungguh indah dan romantis. Pandangan itu berubah lagi ketika aku mengenal kisah ASOKA seorang raja dari India yang mengobarkan perang setelah kehilangan wujud ragawi seorang Putri bernama Kaverki. Pandangan itu terus berubah ketika lagi lagi aku mengenal kisah Edward Cullen dengan Issabella Swan dalam Twilligt.
Kini aku kembali tergugu dengan sebuah kisah yang pernah kubaca 5 tahun yang silam, sebuah trilogi yang belum kujumpai endingnya. Sebuah kisah lama milik Ahmad Tohari. Sebuah kisah yang menelurkan cerpen pertamaku. Kisah itu begitu indah, begitu tak biasa, tapi begitu menyentuh. Penuh kata bersayap dengan filosofi yang dalam. Kisah tentang seorang ronggeng dari sebuah Desa miskin dengan sumpah serapah cabul bernama Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil.
Kisah Srintil pernah kubaca ketika Zaman SMA, aku hanya membaca sampai bagian keduanya: Lintang Kemukus Dinihari. Hanya sampai ketika Srintil ditahan karena kepolosan dan kebebalannya membuatnya dituduh sebagai PKI. Dari kisah itu aku membuat sebuah cerpen, sebuah cerpen yang penuh tokoh-tokoh sastra. Hanya sampai disana Srintil membawa inspirasi bagiku. Selanjutnya kisah itu terlupakan dengan novel-novel metropop yang kemudian menjadi bacaan wajibku sebelum tidur.
Sampai ketika seminggu yang lalu aku mendapat sebuah email dari Rei berisi tiga buah Microsoft Reader kisah Srintil. Trilogi yang lengkap: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala. Jujur, aku malas menyentuhnya, aku malas membacanya, ah sastra lama selalu bikin pusing dengan macam-macam kata-kata bersayapnya, khas zaman dulu, duluuu sekali, begitu aku berpikirnya. Padahal ketika SMA aku adalah pelahap sastra nomor satu. Entah kenapa keindahan sastra kemudian memudar ketika aku mengenal novel-novel metropop. Mungkin karena kisah dalam metropop begitu akrab dengan keseharianku.
Kebosanan akhirnya membuatku terpaksa menyentuh email dari Rei itu. Dan baru saja aku membaca satu alinea, aku sudah faham betapa jeniusnya seorang Ahmad Tohari. Pantas saja puluhan skripsi anak-anak fakultas sastra terlahir dari rahim bukunya itu. Bahasanya tidak zadul seperti Layar Terkembang, tidak begitu idealis seperti Atheis. Walau miskin dialog, tapi kaya dengan deskripsi alam dan deskripsi perasaan. Penuh dengan muatan ilmu biologi dan psikologi. Ilmu biologi-nya terlihat dari deskripsi segala jenis binatang yang pada abad 20 sudah dikatakan musnah, tentang bence, tentang kumbang tahi, tentang jangkrik dengan segala perilakunya. Sementara ilmu psikologi bisa dinikmati dari benturan perasaan yang dialami tokoh-tokohnya. Imajinasi luar biasa ketika seorang penulis bisa mendeskripsikan peristiwa kehilangan seorang ibu menjadi sebuah pencarian yang tak berujung pada sosok kasih sayang.
Ahhh Kisah Srintil membuatku sangat ingin bertemu Ahmad Tohari (apa dia masih hidup?). Aku ingin melihat sosok penulis yang melahirkan Ronggeng Dukuh Paruk menjadi sebuah sastra bermuatan kisah cinta yang dipadu dengan biologi dan psikologi (apa Ahmad Tohari pernah belajar biologi? Apa dia pernah duduk di bangku kampus Psikologi? Ataukah dia hanya seorang pembaca alam yang amat terampil?), aku ingin berkenalan dengan penulis yang menciptakan Lintang Kemukus Dinihari menjadi sebuah novel feminisme yang jenius, aku ingin berbincang dengan penulis yang mereka-reka Jentera Bianglala menjadi ending yang mengharu-biru dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih dari itu semua, aku ingin sekali bertanya padanya? Apa aku masih bisa berjumpa dengan Rasus, lelaki yang mau menikahi seorang mantan ronggeng sekaligus mantan tahanan politik yang juga dirawat di rumah sakit jiwa itu? Aku ingin meminta pada Ahmad Tohari agar ditunjukkan jalan menuju Dukuh Paruk. Aku ingin berguru pada Rasus, pada Srintil juga pada Sakum (seorang penabuh calung yang punya kepekaan rasa walau matanya keropos dan picek).
Ah malunya aku ketika mendapati aku menangis setelah menutup Jentera Bianglala. Tak bisa tidak aku menangis atas kemalangan Srintil, atas pendulum nasib yang begitu bertubi-tubi mencampakkan sisi kemanusiannya. Seorang Srintil yang terlahir dengan indang ronggeng, merasa bahwa menjadi ronggeng berarti menaklukan kelelakian, menjadi duta perempuan yang mempunyai kedudukan di samping lelaki, bukan di bawah atau di atas. Ah Srintil, andai kau benar-benar ada, ingin sekali aku berguru padamu. Tentang cinta yang penuh harapan, tentang sebuah kepasrahan pada naluri keperempuanan; naluri pengabdian, naluri kasih sayang! Srintil yang keluguannya dimanfaatkan sebagai penarik massa pada zaman huru-hara tahun 1965, Srintil yang kupikir berakhir di tahanan, tetapi ternyata tak hanya tahanan yang menjadi tempat berakhirnya, tapi Rumah Sakit Jiwa. Srintil yang masih beruntung karena seorang pangeran ada di sampingnya untuk menunggunya meraih kemanusiannya kembali. Seorang pangeran yang akan tetap menikahinya walau dia bekas ronggeng (yang itu tak jauh berbeda dengan kata sundal), mantan tahanan politik tahun 1965, sekaligus pasien Rumah Sakit Jiwa. Melebihi kisah Laila Majnun, bahkan Romeo Juliet sekalipun. Indah, romantis, tragis dan menyakitkan!!!
Cobalah Teman, tengok Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk nih. Aku menjamin dengan segala luka yang ada padaku, teman tidak akan dikecewakan oleh Srintil, Rasus, Sakum dan segenap tokoh yang ada di Dukuh Paruk. Pada akhirnya aku berdoa apabila Ahmad Tohari sudah tidak bisa kujumpai, semoga dia masih sempat mewariskan indang penulisnya pada siapa pun yang kisahnya bisa kunikmati. Dan dengan segenap keyakinan yang ada pada diriku, aku nyatakan bahwa aku seorang pelahap kisah-kisah cinta yang pernah ditulis dengan sesungguh hati kukatakan, bahwa kisah cinta yang paling mengharu biru, paling romantis, paling indah, dan paling menyakitkan adalah kisah Srintil-Rasus dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Ada yang mau menyainginya? Dengan senang hati akan kunikmati .
Teman, silahkan share jika mempunyai rekomendasi novel2 love story yang menurut teman paling tragis romantis

Spoiler for dilarang share file ebook RDP:
Begini, ketika buku Ronggeng Dukuh Paruk langka di pasaran, karena aku begitu ingin agar orang-orang membaca novel ini, aku membagi file PDF RDP. Tapi karena sekarang RDP sudah bisa dibeli di Gramed di seluruh Indonesia tanpa kesulitan, oleh karena itu...karena aku begitu menghormati Ahmad Tohari...pliss jangan share ebook RDP disini yah

0
20K
Kutip
184
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan