Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

carmine-redAvatar border
TS
carmine-red
[CATPER] Papandayan X2
Hai, lama gak mampir kemari, ane lgs bikin trit,,, gapapa kali yak emoticon-Hammer2

Jadi ane akan ceritakan kisah ane, 2X naik papandayan, hanya dalam selang 11 hari, yaa kenapa bisa 2x, gara2 poto2 papandayan dari pendakian pertama, jadilah banyak temen ane yang minta naik lagi...

Pendakian Pertamax: 3-4 Juni 2011
Pendakian Keduax : 15-16 Juni 2011

cekibrot... seperti biasa, tulisan ane panjang... jadi siapin aja kopi dan rokok...

Papandayan X2: Tapal Kuda dan Cincin Api Sang Pandai Besi

[CATPER] Papandayan X2

Siapa bilang butuh biaya mahal untuk bertualang antar kota-kota Eropah. Dengan modal Rp.15.000, saya sudah bisa melipir dari Paris hingga ke Swiss. Di Swiss, dengan tambahan sekitar Rp.25.000, saya sudah sampai di sebuah gugus pegunungan. Menyusuri jalur bebatuan berwarna putih. Menyusup di sela-sela kabut. Dan mendaki puncaknya, berlari-lari riang diatara hamparan bunga Leontopodium Alpinum alias Edelweiss khas Alpen.

Pegunungan Alpen?

Tentu saja bukan.

Ini Papandayan.


Kok Papandayan? Lalu apa maksudnya saya keliling kota-kota Eropa tersebut? Tak usah-ah bingung mikir sampai pusing jungkir balik. Tambahkan saja akhiran "van Java" pada nama kota-kota tersebut. Paris van Java, tentulah familiar. Siapa sih yang tidak kenal Bandung. Kalau Swiss van Java? Nama tersebut ternyata melekat pada Kota Garut gara-gara lawatan pelawak Charlie Chaplin yang ternyata sampai dua kali menyambangi Garut, pada tahun 1927 dan 1933. Dia yang memberi julukan itu. Bukan saya lho.

Sudah sering sekali saya bermain ke kota ini. Namun, kali ini saya menyambangi kota ini untuk mendaki Papandayan, salah satu puncak dari tiga gunung utama yang memagari kota ini, yang orang-orang sering singkat GCP. Guntur-Cikuray-Papandayan. Kerennya, bisa juga disebut Garut Central Peaks. Guntur di Utara, Cikuray di Timur, dan Papandayan di Barat-Selatan.

Berada 29km di selatan Garut. Untuk mendaki Papandayan, pertama-tama sambangilah kota kecil Cisurupan via jalur Garut-Pameungpeuk. Dari Cisurupan, naik terus ke atas hingga parkiran kawah. Kalau membawa kendaraan pribadi, persiapkan kendaraan dan tentunya mental sang pengemudi untuk menghadapi jalanan berlubang sepanjang kira-kira 10 kilometer. Kalau tak bawa kendaraan pribadi, bisa naik ojek dengan tarif Rp.20.000. Mau mencoba jalan kaki? Tidak dilarang. Dalam waktu 4-5 jam, pasti sudah sampai di kawasan parkiran dengan bonus dengkul yang pengkor.

Gunung Papandayan adalah Gunung Berapi Aktif yang pada tahun 2002 mengalami erupsi hingga akhirnya merontokkan bagian dari tengah gunung tersebut, menyisakan kawah besar yang sering disebut Kawah Emas, atau Kawah Nangkarak. Hingga kini, asap fumarola senantiasa mengepul dari kawah-kawahnya.

Asal nama gunung ini juga karena gunung ini sangat aktif menyemburkan letusan-letusan. Sekali meletus, DUARR!!! BLEDARR!! dan berbagai keributan lainnya dinyanyikan oleh gunung ini. Oleh karena itu, orang-orang jaman dulu mengibaratkan ada Pandai Besi yang sedang membuat sesuatu diatas sana. Walhasil, Pandai Besi, dilafalkan turun temurun, jadilah Papandayan.

Jalur Bertabur Emas

Sedikit saran, persiapkan perbekalan dari Cisurupan. Bukannya tidak bisa membeli di warung-warung sekitar parkiran, tetapi harganya jadi melambung tinggi. Air mineral 1 liter, dibanderol Rp.7.500. Bahkan saya minum kopi seduh saja dibanderol Rp.4.000. Yang murah hanya biaya karcis masuk areal tersebut, yaitu Rp.3.000 untuk terserah berapa lama. Mau semalam, seminggu, sebulan, tetap segitu harganya.

Kalau persiapan sudah lengkap, langsung saja arahkan langkah menuju kawah. Kawah gunung Papandayan yang porak-poranda semenjak erupsi tahun 2002 ini merupakan tempat wisata yang sering disambangi kalangan non pendaki, karena memang jalurnya masih tergolong user-friendly. Dari parkiran, hanya berjalan 100-200 meter saja sudah sampai di areal Kawah Emas. Saya pernah lihat Balita 3 tahun yang dipapah kegirangan menuju bibir kawah oleh orang tuanya. Ada juga lansia-lansia yang sibuk memotret pemandangan. Yang pacaran diantara semak juga ada. Sudahlah tak usah dibahas lebih lanjut yang itu. Intinya Papandayan adalah tempat wisata untuk semua umur.

Nah, anak muda, atau... yang berjiwa muda... Kalau niatnya memang mendaki gunung ini, tentunya jalannya tidak hanya sampai kawah dong. Jadi teruskan saja perjalanan menyusuri jalur setapak pucat-keemasan akibat lapisan belerang tebal. Penasaran dimanakah gerangan puncak tertinggi Papandayan? Dari areal kawah, silahkan layangkan pandang ke arah Selatan. Di gugusan punggungan yang tertinggi, itu dia puncak TOPDA yang berketinggian 2622 mdpl.

Teruskan pendakian ke arah barat. Melipir Kawah Emas. Kalau ragu dengan jalurnya, ikuti saja jejak-jejak ban motor. Villager biasanya memang membawa motor trail, baik untuk mencari belerang, burung liar, atau mungkin saja sedang iseng jalan-jalan sore. Kontur di kawah sedikit menanjak, tetapi tidak terjal. Yang membuat kesal sebenarnya bukan karena jalurnya, tetap kalau lagi sial, angin menghembuskan asap fumarola ke jalur. Bau telur busuk dan pedasnya mata tidak bisa dihindari.

Selepas kawah, ikuti jalur lebar hingga memasuki Lawang Angin, sebuah celah besar yang membelah sebuah punggungan. Jalur lebar ini ternyata dulunya memang bisa dilewati mobil offroad hingga ke daerah Hokberhut. Namun semenjak letusan 2002, jalur mobil ini terputus sehingga mustahil dilewati.

"Nanti kalau sampai Lawang Angin, jalan terus ke Selatan ya..." ujar seorang pemandu Papandayan kepada saya ketika di parkiran. Ternyata benar katanya. Selepas Lawang Angin ada sebuah lapang besar, dan jalur mobil mengarah ke Barat. Kalau keasikan mengikuti jalur, bisa-bisa malah turun di daerah Pangalengan.

Jalur yang benar adalah masuk ke dalam hutan, selepas lapangan besar tadi. Tambahan pula, lapangan tersebut selalu becek akibat bocornya saluran air petani. Jadi pintar-pintar sajalah memilih jalurnya. Kalau tidak mau repot pilih jalur, terabas saja terus. Minimal lumpur se-tumit akan menghiasi kaki.

Memasuki jalur hutan tersebut, jalanan akan sedikit menanjak. Menjelang Pondok Salada, jalanan akan kembali melandai. Motor villager masih bisa masuk ke jalur ini. Jadi kalau ragu dengan jalurnya, lihat saja jalurnya, masih ada jejak motor atau tidak.

Jika perjalanan lancar tanpa kendala, dengan berjalan santai saja dalam waktu satu setengah jam dari parkiran, sudah sampai di Pondok Salada, sebuah dataran luas yang biasa dipakai berkemah. Tempat ini merupakan tempat favorit untuk menginap jika ingin melanjutkan pendakian hingga puncak. Selain tempatnya luas dan landai, ada aliran air yang bisa dipakai untuk memasak. Memang sedikit berbau belerang, tetapi masih layak dikonsumsi.

Dua kali saya ke Papandayan, dua kali saya merasakan sensasi berbeda di Pondok Salada. Pendakian pertama di awal Juni 2011, sedang bulan gelap, dan sehabis hujan, sehingga ketika malam, suhunya cukup "hangat". Hanya berkisar antara 15-20 derajat celcius. Bulan purnama kemarin, tanggal 16 Juni 2011, tepat ketika gerhana bulan, suhunya benar-benar drop di kisaran 5-10 derajat celcius. Suhu dingin benar-benar menusuk tulang walau angin tak berhembus. Di langit, bulan purnama perlahan ditelan bayangan bumi sehingga berwarna kemerahan. Absennya cahaya purnama membuat bintang-bintang bermunculan ibarat ketombe di kain hitam. The Best Eclipse Moment in my life. For now...

The Death Zone

Dari Pondok Salada, sebenarnya ada dua jalur menuju kawasan Tegal Alun, lalu ke puncak. Namun jalur yang enak dilewati adalah melalui lembah mati di Selatan Pondok Salada, sebab tergolong landai. Jalur satu lagi adalah langsung naik melalui punggungan Barat kondisinya terjal dan berbatu. Saya lebih suka melewati jalur Death Zone, sebab pemandangannya tidak ada duanya di gunung-gunung lain di sekitaran Jawa Barat.

Untuk melewati jalur Death Zone, harus menyebrangi sungai yang mengalir di Pondok Salada, dilanjutkan dengan berbecek ria melewati jalur air. Soal jalur tenang saja, masih terlihat jelas. Ikuti saja jalur ke arah Selatan hingga memasuki kawan yang dipenuhi tunggul pohon mati.

"Tempatnya bagus banget! Cocok buat foto pre-wedding. Pake baju hitam-hitam!" canda kawan saya ketika memasuki kawasan Lembah Mati atau Death Zone. Memang benar gurauannya. Tempat ini sudah tidak diisi lagi oleh pepohonan hidup. Hanya tersisa batang-batang pohon mati berwarna kehitaman yang mati gosong akibat dilalap abu vulkanik. Tanahnya pun berbatu dan mengandung belerang seperti tanah di jalur kawah. Berjalan di siang hari sudah dipastikan tersengat sinar matahari langsung.

Selepas melewati kawasan lembah mati, jalur akan kembali rimbun ditutupi pepohonan. Namun jalurnya ikutan berubah. Dari landai, tiba-tiba menjadi terjal dengan kemiringan sekitar 50 derajat. Kalau pernah ke Gunung Gede, seperti Tanjakan Rante/Setan selepas Kandang Badak. Untung saja, Jalur terjal tersebut tidak lama, singkat saja, sekitar 100 meter. Selepas tanjakan tersebut, jalur menjadi datar kembali, menembus hutan cantigi dan akhirnya memasuki Padang Edelweiss Tegal Alun.
0
11K
108
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan