- Beranda
- Komunitas
- Sports
- Soccer & Futsal Room
Pengelolaan Klub Berbasis Supporter


TS
agoy
Pengelolaan Klub Berbasis Supporter

Lets recognise supporters as an essential part of
the identity of clubs.
Michel Platini, election programme, The Future of UEFA
In an ideal world football clubs would be legally
structured and governed in ways that prioritise
sporting objectives above financial aspects.
Moreover, all clubs would be controlled and run
by their members e.g. supporters according
to democratic principles.
UEFA, strategy document
Quote:
Di sebagian negara yang diteliti terdapat beberapa perbedaan terkait dengan sikap fans atau suporter. Setelah diteliti hal ini terkait dengan kultur dari masing-masing kelompok fans yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa spektrum teranalisa bahwa fans di Italia dan Prancis menanggapi isu kepemilikan klub oleh suporter tidaklah begitu penting meski mereka memahami bahwa mereka bisa memiliki pengaruh yang besar untuk ikut serta dalam manajemen klub.
Meski begitu fans di Italia tidak serta merta menganggap bahwa semua tifosi enggan untuk ikut serta dan terlibat di dalam kepemilikan klub. Dalam rangkaian penelitian terdapat bukti bahwa kelompok ultras di Italia mengakui adanya manfaat dari keterlibatan suporter di dalam klub.
Di negara lain sering dibahas berbagai isu mengenai fans atau suporter seperti rasisme, ataupun seputar tur yang melibatkan para suporter tersebut. Meski demikian banyak kelompok yang memahami keuntungan untuk terlibat didalam kepemilikan klub secara resmi. Mereka juga melihat dengan adanya model kepercayaan dengan keterlibatan suporter pada klubnya seperti yang terjadi di banyak klub Inggris dan menjadi inspirasi mereka.
Dengan mengondisikan pada faktor hukum dan budaya, kebutuhan dan keinginan mereka dapat diatasi dengan adanya Supporters Direct seperti yang terdapat di Eropa. Beberapa negara bahkan telah mengadopsinya diantaranya:
Jerman

Di Jerman terdapat aturan 50%+1 yang memungkinkan suporter untuk memiliki klubnya. Aturan ini juga memberikan keuntungan kepada suporter untuk memberikan sumbangsih kepada klub dan mencegah terbentuknya perusahaan tertutup seperti yang terdapat di beberapa klub besar di Inggris.
Aturan 50%+1 ini memberikan pengaruh relevan kepada suporter diantaranya pada kepemilikan klub, penempatan wakil pada struktur klub, sumbangsih pada tata kelola klub, dan menguatkan budaya respek antara suporter dengan klub.
Keterlibatan suporter sendiri tidak memiliki model tunggal, artinya antara kelompok suporter di suatu klub dengan yang lainnya bisa berbeda-beda. Hal ini terkait dengan standar dan tingkat keterlibatan klub yang bervariasi. Ada kelompok yang bisa memberikan sumbangsih lebih kepada klub namun ada juga yang kurang. Hal ini terkait dengan sebagian kelompok suporter yang bekerja atas dasar sukarela untuk membantu klub namun kurang memiliki waktu untuk terlibat lebih jauh didalam mengembangkan klub. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi kita mengenai konsistensi dalam menjalankan aturan dan komitmen untuk klub.
Spanyol

Kepemilikan klub sepakbola di Spanyol mengalami perubahan signifikan pada tahun 1992. Hampir klub sepakbola profesional di negara matador tersebut memiliki neraca keuangan negatif. Suporter yang tidak puas dengan pengelolaan klub dan ingin meningkatkan transparansi manajemen klub dan mengorganisasikan diri dengan menjadi pemegang saham minoritas di klubnya.
Dua klub besar di Spanyol yang memberikan tempat kepada suporter untuk memiliki klub adalah Barcelona dan Real Madrid. Dengan model kepemilikan seperti ini klub bisa menjamin bahwa klub bukanlah sekedar entitas bisnis belaka dan menganggap suporter sebagai konsumen murni.
Klub seperti Barcelona memiliki kepemilikan yang bukan bersumber pada penyertaan saham melainkan membership yang berjumlah 170 ribu di tahun lalu dan lazim disebut sebagai socis. Delegasi dari membership ini memiliki wewenang tertinggi dalam menentukan wakil dalam struktur manajemen yang biasa dipilih beberapa tahun sekali.
Perubahan iklim La Liga yang drastis dan cenderung glamour beberapa tahun belakangan membuat klub mengeluarkan dana ekstra untuk berbagai kebutuhan. Tak ayal beberapa klub menanggung kerugian ratusan juta euro karena tidak hati-hati dalam mengelola keuangan klub. Barcelona adalah diantaranya. Meski mereka memiliki prestasi beberapa tahun belakangan ini namun tidak serta menjadikan keuangan klub dalam kondisi positif. Agaknya rasionalitas dalam mengelola keuangan klub perlu diperhatikan.
Selain dua negara di atas juga terdapat beberapa negara lainnya yang bergerak mengakomodir ide dari Supporters Direct diantaranya Inggris. Kebangkrutan Southampton yang sempat berganti enam pemilik dalam waktu enam bulan membuat publik ketar ketir akan adanya klub lain yang mendapat giliran serupa.
Manchester United (MU) dan Liverpool adalah dua diantaranya. Kehadiran Malcolm Glazers tidak serta merta mengubah jalan klub. Meski branding MU adalah salah satu yang terbaik dalam dunia sepakbola, namun kebijakan Malcolm Glazers yang mengalihkan utang pribadinya senilai ratusan juta poundsterling sebagai utang klub turut menghambat laju pergerakan klub di setiap tahunnya.

Analis mencatat bahwa setiap tahun puluhan juta poundsterling dari keuntungan klub digunakan untuk membayar bunga hutangnya Malcolm Glazers. Entah masih berapa tahun lagi hutang itu terbayar keseluruhannya, yang pasti suporter semakin gerah. Beberapa diantaranya menyuarakan agar Malcolm Glazers menjual sahamnya dan tawaran dari kelompok investorpun sudah beberapa kali mampir dan dianggap angin lalu. Kabarnya mereka menawar hingga 1 miliar poundsterling.
Banyaknya hutang yang ditanggung klub memaksa untuk mengeluarkan kebijakan yang tak populis. Dengan persetujuan Glazers selaku pemilik, klub menaikkan harga tiket masuk Old Trafford. Kebijakan ini diambil untuk menaikkan pendapatan Manchester United. Tahun lalu pendapatan klub dari sektor tiket masuk saja telah menyentuh lebih dari 100 juta euro.
Sekelompok suporter yang tak puas membentuk klub baru yang bernama FC United of Manchester. Klub ini dibuat untuk mengakomodir keinginan penggemar MU untuk menyaksikan pertandingan sepakbola dengan harga murah sekaligus sebagai bentuk protes dan simbolisasi bahwa suporter bisa memiliki dan mengelola klub dengan baik.
Meski begitu fans di Italia tidak serta merta menganggap bahwa semua tifosi enggan untuk ikut serta dan terlibat di dalam kepemilikan klub. Dalam rangkaian penelitian terdapat bukti bahwa kelompok ultras di Italia mengakui adanya manfaat dari keterlibatan suporter di dalam klub.
Di negara lain sering dibahas berbagai isu mengenai fans atau suporter seperti rasisme, ataupun seputar tur yang melibatkan para suporter tersebut. Meski demikian banyak kelompok yang memahami keuntungan untuk terlibat didalam kepemilikan klub secara resmi. Mereka juga melihat dengan adanya model kepercayaan dengan keterlibatan suporter pada klubnya seperti yang terjadi di banyak klub Inggris dan menjadi inspirasi mereka.
Dengan mengondisikan pada faktor hukum dan budaya, kebutuhan dan keinginan mereka dapat diatasi dengan adanya Supporters Direct seperti yang terdapat di Eropa. Beberapa negara bahkan telah mengadopsinya diantaranya:
Jerman

Di Jerman terdapat aturan 50%+1 yang memungkinkan suporter untuk memiliki klubnya. Aturan ini juga memberikan keuntungan kepada suporter untuk memberikan sumbangsih kepada klub dan mencegah terbentuknya perusahaan tertutup seperti yang terdapat di beberapa klub besar di Inggris.
Aturan 50%+1 ini memberikan pengaruh relevan kepada suporter diantaranya pada kepemilikan klub, penempatan wakil pada struktur klub, sumbangsih pada tata kelola klub, dan menguatkan budaya respek antara suporter dengan klub.
Keterlibatan suporter sendiri tidak memiliki model tunggal, artinya antara kelompok suporter di suatu klub dengan yang lainnya bisa berbeda-beda. Hal ini terkait dengan standar dan tingkat keterlibatan klub yang bervariasi. Ada kelompok yang bisa memberikan sumbangsih lebih kepada klub namun ada juga yang kurang. Hal ini terkait dengan sebagian kelompok suporter yang bekerja atas dasar sukarela untuk membantu klub namun kurang memiliki waktu untuk terlibat lebih jauh didalam mengembangkan klub. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi kita mengenai konsistensi dalam menjalankan aturan dan komitmen untuk klub.
Spanyol

Kepemilikan klub sepakbola di Spanyol mengalami perubahan signifikan pada tahun 1992. Hampir klub sepakbola profesional di negara matador tersebut memiliki neraca keuangan negatif. Suporter yang tidak puas dengan pengelolaan klub dan ingin meningkatkan transparansi manajemen klub dan mengorganisasikan diri dengan menjadi pemegang saham minoritas di klubnya.
Dua klub besar di Spanyol yang memberikan tempat kepada suporter untuk memiliki klub adalah Barcelona dan Real Madrid. Dengan model kepemilikan seperti ini klub bisa menjamin bahwa klub bukanlah sekedar entitas bisnis belaka dan menganggap suporter sebagai konsumen murni.
Klub seperti Barcelona memiliki kepemilikan yang bukan bersumber pada penyertaan saham melainkan membership yang berjumlah 170 ribu di tahun lalu dan lazim disebut sebagai socis. Delegasi dari membership ini memiliki wewenang tertinggi dalam menentukan wakil dalam struktur manajemen yang biasa dipilih beberapa tahun sekali.
Perubahan iklim La Liga yang drastis dan cenderung glamour beberapa tahun belakangan membuat klub mengeluarkan dana ekstra untuk berbagai kebutuhan. Tak ayal beberapa klub menanggung kerugian ratusan juta euro karena tidak hati-hati dalam mengelola keuangan klub. Barcelona adalah diantaranya. Meski mereka memiliki prestasi beberapa tahun belakangan ini namun tidak serta menjadikan keuangan klub dalam kondisi positif. Agaknya rasionalitas dalam mengelola keuangan klub perlu diperhatikan.
Selain dua negara di atas juga terdapat beberapa negara lainnya yang bergerak mengakomodir ide dari Supporters Direct diantaranya Inggris. Kebangkrutan Southampton yang sempat berganti enam pemilik dalam waktu enam bulan membuat publik ketar ketir akan adanya klub lain yang mendapat giliran serupa.
Manchester United (MU) dan Liverpool adalah dua diantaranya. Kehadiran Malcolm Glazers tidak serta merta mengubah jalan klub. Meski branding MU adalah salah satu yang terbaik dalam dunia sepakbola, namun kebijakan Malcolm Glazers yang mengalihkan utang pribadinya senilai ratusan juta poundsterling sebagai utang klub turut menghambat laju pergerakan klub di setiap tahunnya.

Analis mencatat bahwa setiap tahun puluhan juta poundsterling dari keuntungan klub digunakan untuk membayar bunga hutangnya Malcolm Glazers. Entah masih berapa tahun lagi hutang itu terbayar keseluruhannya, yang pasti suporter semakin gerah. Beberapa diantaranya menyuarakan agar Malcolm Glazers menjual sahamnya dan tawaran dari kelompok investorpun sudah beberapa kali mampir dan dianggap angin lalu. Kabarnya mereka menawar hingga 1 miliar poundsterling.
Banyaknya hutang yang ditanggung klub memaksa untuk mengeluarkan kebijakan yang tak populis. Dengan persetujuan Glazers selaku pemilik, klub menaikkan harga tiket masuk Old Trafford. Kebijakan ini diambil untuk menaikkan pendapatan Manchester United. Tahun lalu pendapatan klub dari sektor tiket masuk saja telah menyentuh lebih dari 100 juta euro.
Sekelompok suporter yang tak puas membentuk klub baru yang bernama FC United of Manchester. Klub ini dibuat untuk mengakomodir keinginan penggemar MU untuk menyaksikan pertandingan sepakbola dengan harga murah sekaligus sebagai bentuk protes dan simbolisasi bahwa suporter bisa memiliki dan mengelola klub dengan baik.
0
26.1K
Kutip
298
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan