Ya, bukit Penyesalan. Demikianlah mereka menyebutnya. Mungkin orang-orang yang memutuskan untuk kembali ke rumah akan menyesal jika hanya sampai di bukit ini. Karena sudah menghabiskan bekal dan tenaga, tapi malah urung melanjutkan perjalanannya hingga klimaks.
Pos tiga sudah terlewati. Pemandangan ilalang yang terhampar luas sebentar lagi akan berganti dengan bebukitan yang ditudungi beberapa pohon pinus. Yang berarti juga telah melewati beberapa bukit. Tinggal satu bukit lagi untuk mencapai Pelawangan . Bukit Penyesalan namanya.
Sekarang mereka berdua tengah menyusuri sebuah sungai kering yang tertutup hamparan batu. Sebuah batu vulkanik yang telah membeku. Ia tampak seperti permadani hitam yang dihamparkan dari singgasana raja hingga gerbang istananya. Dan singgasananya itu adalah pucuk Rinjani.
Tafsir Qur’an, itulah jurusan yang diambilnya. Dan Ahmad sekarang adalah seorang hafidz. Sedangkan Husen hanyalah seorang awam Madinah. Meski demikian, keawamannya tidak bisa disamakan dengan orang Indonesia kebanyakan.
Ia anak pemilik kost yang ditempati Ahmad saat di Madinah dulu. Meski orang Arab, pemahaman agamanya masih kalah dibandingkan Ahmad yang memang hijrah ke sana untuk mendalami agama.
iyo iki.. wedi ndak kumat tipese juga woh tak kiro acarane cah erye kui.. kok 1001, ora 1000 ya? :D -- sesuk awal juli bagi2 cendol gratis seluruh regional :genit iyo ojo ampe kumat maning :) iyo kang 1001 jumlah anak yatim :) biar berasa bukber di negeri 1001 malam :malus wah awal juli ya?
Senja mulai menyapa. Ahmad baru melewati setengah perjalanan menuju puncak. Laki-laki yang bersamanya adalah Husen Al-Madani. Sebagaimana orang Arab pada umunya, ia berperawakan tinggi dan besar. Tubuhnya kekar. Berkulit agak hitam, tidak seperti kebanyakan kulit perempuannya.
“Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal huzni wal ‘ajzi wal kasali wa a’udzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijal.” Ia mengangkat tangannya setinggi dada. Usai shalat rawatib ba’da Dzuhur. menundukkan wajahnya. Ia memohon kepad-Nya dengan penuh hidmat, untuk menghilangkan kecem
Semakin lama kecemasan itu malah menyeruak di dalam relung hatinya. Tak mau hengkang. Ia semakin gelisah. Tak terperikan. Melenyapkan konsentrasi dalam menjalankan pekerjaan rumahnya. Ia tak berdaya. Lunglai karena kecemasan yang menggerogotinya.
“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya. Jagalah suamiku, Ya Allah. Suamiku yang kucintai.” Ia membatin.
Tapi sore ini tiba-tiba hatinya gusar. Cemas. Tidak seperti kemarin ketika mau berangkat. Usai mengecup keningnya. Saat tangannya melambai sambil meninggalkan dirinya.
Sudah dua hari suaminya memuncak. Kemarin siang tepatnya. Bersama temannya yang dari Madinah. Teman karibnya yang katanya selalu membantunya selama kuliah di sana.
“Izinkan kami berlabuh ke tepian dengan selamat, Ya Allah….” Ia selalu memohon dalam rukuk dan sujudnya. Kepada yang Maha Menyelamatkan dirinya.
Mereka berusaha semaksimal mungkin agar menjadi nahkoda dan navigator yang professional. Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas kehidupan dan akhirat sebagai tujuan.
Di penghujung tugas, ia dilamar oleh seorang Ikhwan lulusan Univ Madinah, yang baru pulang ke kampung halaman beberapa bulan yang lalu. Namanya Ahmad. Ahmad Maulana lengkapnya. Dan baru sebulan ini keduanya melayarkan bahtera rumah tangganya.
Ia asli keturunan Jawa, Sragen tepatnya. Usai lulus dari pondok, ia ditugaskan di Lombok. Di Sembalun Lawang ini. Di Yayasan Amal Yaumi. Menjadi tenaga pengajar di Pondok Petani yang dikelolanya.
Tepatnya ia tak berdaya menggerakkan badannya. Dan ketika itu ia harus segera memakai berlapis kain, atau pergi ke dapur untuk sekedar duduk manis di depan tungku. Menghangatkan raganya.
Bagi Syarah, beberapa bulan tinggal kaki Rinjani sudah bisa dikatakan cukup untuk masa adaptasi. Tidak seperti ketika awal bertandang, ia bak sebongkah patung. Tak bisa bergerak.
Jika menunggu iqamat sambil berdiri, mereka akan menghangatkan kedua telapak tangannya di ketiak secara silang.
Menerobos hingga ke sumsum. Hampir membeku. Jika sempat berjamaah di salah satu masjid waktu shalat Maghrib dan Isya, pemandangan yang wajib kita lihat adalah para lelaki berjaket tebal dengan sorban yang menutupi kepalanya atau melilit di lehernya.