Interaksi dengan para TKW itu mengingatkan saya pada lagu itu. Seharusnya para guru TK dan orang-orang tua mengajarkannya lebih sering.
Entah inspirasi darimana ibu Soed menciptakan lagu "Nenek moyangku seorang pelaut", rasanya darah keberanian itu menurun di generasi-generasi berikutnya, termasuk di darah kita juga.
Meskipun perjalanan masih panjang, karena saya harus tidur lagi di bandara, dan terbang lagi ke Surabaya keesokan harinya.
Menggunakan email surat keterangan negatif Covid-19 yang disediakan pemerintah UK, saya lolos dari antrian karantina, dan diijinkan masuk konter imigrasi dan mengambil bagasi.
Tapi kebijakan karantina bagi WNI dari luar negeri yang tidak membawa health certificate bebas Covid-19 itu tidak bisa ditawar, untuk keamanan kita sendiri.
Bukan hanya seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, mereka telah terpisah dari keluarga selama hitungan tahun.
Agak stress mendengar mereka yang harus masuk karantina, dengan berat hati harus menelepon keluarganya yang telah jauh-jauh menjemput.
Ya Tuhan, hati saya mencelos, spontan sedih. "At least her children will have a proper education and will not be illiterate because her mom working as TKW." Batin saya.
Setelah 8 jam di udara, pesawat kami mendarat, dan kami harus antri untuk cek kesehatan di Soekarno Hatta airport.
Tekanan dan tantangan hidup membuat mereka berani merantau mencari nafkah keluar negeri, meskipun dengan segala keterbatasan.
Kupikir, "Wow. They don't even know where to find their passport number, unable to speak English, but had spent 2 -3 years working abroad!"
Bahkan mereka tak tahu, dimana mereka harus mencari keterangan tentang nomor paspor, nomor penerbangan, dan nomor tempat duduk.
Yang aku agak kaget, ketika kami diberikan formulir health card dari Kemenkes dan custom clearance sebagai syarat masuk Indonesia, mereka berdua tak paham cara mengisinya.
Selama 8 jam perjalanan, saya memanfaatkan waktu dengan tidur, dan sesekali mengobrol dengan bangku sebelah kiri dan kananku.