Pertamax :goyang Ah elah gagal :batabig Wkwkwk...pejwan buat tees kiyut dan cakep dongs :ultahhore:wagelaseh
Saat kau kelopak bunga yang mekar, Aku kilau cerah cahaya fajar. Saat kau relung laut paling dalam, Aku kapal tua yang karam.
Saat kau rekah merah langit petang, Aku siluet lampu jalan yang mulai memanjang. Saat kau sepasang mata yang tertidur, Aku akar-akar mimpi yang tumbuh subur.
Saat kau bocah laki-laki yang riang, Aku gurat senyum penuh kemenangan. Saat kau kota yang ditinggalkan, Aku satu-satunya pohon yang bertahan.
Saat kau merah nyala api, Aku kayu kering yang membakar diri sendiri. Saat kau puncak menara kesedihan, Aku tangis air mata yang tertahan
Saat kau rimbun pepohonan rindang, Aku kicau burung yang riang. Saat kau debur ombak lautan, Aku tanjung penuh bebatuan. Saat kau gelap malam yang pekat, Aku pelukan sunyi yang erat
Delapan puluh lima anak tangga, delapan puluh enam, delapan puluh tujuh, delapan puluh delapan, langkahku sampai di sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu. Di lantai dekat kakiku berdiri, sebuah pesan memberitahuku. Tertulis, pilih teman seperjalananmu.
Padahal kesendirian adalah cara terbaik untuk mengenali diri sendiri, mencintai tanpa berbagi. Kebebasan terbesar tanpa ada yang mengkahimi.
Juga kegelapan, yang menyelimuti dalam kedamaian. Mengapa, banyak orang yang takut dalam kesendirian?
Dalam kemesteriusannya, aku mulai menyukai bangunan ini. Seperti aku menyukai sendiri dan kesendirian. Kata-kata yang tersimpan dan tidak perlu diucapkan
Sebuah cerita, yang akan menjadi pembelajaran atau peringatan di kemudian hari, tapi tidak bisa diulang lagi.
Setiap langkahku mengandung kepastian dan ketidakpastian. Ketidakpastian dalam kepastian, kepastian dalam ketidakpastian. Tapi bukankah setiap detik dari hidupku dan hidup semua orang adalah dua hal itu? Setiap yang aku lakukan menyimpan dua kemungkinan, satu dan nol, ya dan tidak, hal yang pasti...
Aku mengambil lilin dan mulai melangkah naik didorong oleh rasa penasaran. Satu anak tangga, dua anak tangga, tiga anak tangga.
Langit-langit ruangan tidak tampak, cahaya lilin hanya sanggup menerangi beberapa jengkal diatas kepalaku dan selebihnya aku tak mampu melihat apa-apa. Tangga spiral memutari sebuah batang pohon besar yang berada di tengah ruangan, pijakanya dipenuhi kata-kata.
Rasa penasaran memaksaku untuk mencari tahu lebih dalam. Mengitari ruangan, sunyi menjadi pengeras suara yang membuat suara langkah kakiku terdengar lebih keras
Di dinding kutemukan banyak kata-kata, kumpulan kata-kata, memenuhi tembok bata. Seluruh ruangan ini diselimuti kata-kata. Di dinding, di lantai yang awalnya aku kira motif keramik ternyata adalah kumpulan tanda baca.
Kegelapan menyelimuti ruangan tempatku berdiri. Temaram sinar hanya berasal dari tatakan lilin yang diletakkan di sebuah pijakan tangga. Sepi. Sunyi. Tidak ada orang lain yang tampaknya ada disini selain diriku
Pelan-pelan aku mendorong gerbang besar didepanku, kali ini ringan dan akhirnya membuka jalan masuk ke apapun yang akan kutemui dibaliknya. Dari dalam, sesorot cahaya samar menyibak dari celah gerbang saat aku membukanya. Meninggikan bayanganku yang ragu-ragu melangkah ke balik pintu.
Sampai aku teringat sebuah mantra dari buku fantasi anak-anak, sebuah mantra untuk membuka kunci. Dalam hati aku mengucapkannya, kemudian aku mendengar bunyi klik pelan dibalik gerbang yang akhirnya terbuka. Berhasil