Bahkan rindu yang menggebu runtukan malammu ibaratnya. Harapanku, jadilah malam kau sebagai mana semestinya. Jangan biarkan malam ibaratnya hilang, Tanpa air yang mengkikis gelapmu perlahan.
Tanpa kejujuran, hati itu gelap seperti tidak tersiram ibaratnya Namun nikmati saja, masamu masih ada beberapa jam lagi. Ku anggap malam yang alami sudah terbiasa tanpa air. Dan kau layak dilupakan dalam siangku,
Dimana bekal itu yang tidak dimiliki siapa pun, Dengan perasaan begitu kuat, dengan semua tanda kacau terlihat. Menyinari ku begitu terang dengan kabut hitam. Malam, kau ibaratnya ladang bunga yang mati untukku,
Karena tenang kau saja sudah cukup bagiku ibaratnya. Lemah ku, terlalu berharap waktu menerangkan bumi dengan malam, Meski sadar sepenuhnya, Tuhan sudah menyiapkan bekal untukku.
Malam, bantu aku menjadi malam ibaratnya, Aku tidak mau masuk dan terpesona olehmu. Aku ingin biasa saja menikmatinya, tanpa hujan atau angin kencang.
Seakan kias yang begitu gelap berubah mempesona. Dimana kias hitam kau yang bercahaya, Membuatku semakin yakin akan kecewa. Karena aku tahu, semua itu tertuju bukan untuk terik sepertiku.
Indah kau malam ini sangat menakjubkan, Indah hitam kau yang memancar begitu suci. Apa aku boleh menikmatinya sedikit saja? Aku butuh malam kau malam ibaratnya. Dengan ketenangan suci yang terhias rapih,
Hey malam, bintang terlihat membosankan dihadapanku, Apakah kau dengannya baik-baik saja? Ku dengar kau sibuk mengumpulkan tenaga, Apakah kau baik-baik saja? Malam kau itu indah, bahkan menurutku bintang itu tiada pun Kau tetap indah.
Kami, perempuan-perempuan yang menjejak hari hari kebebasan insafkan diri untuk menghargai perbedaan Jernihkan hati untuk menghayati kodrat panggilan sejati Cerahkan pikir untuk mencipta generasi yang menghirup aroma kesetaraan yang harmoni
Karya perempuan-perempuan negeri Ketika perempuan bicara kebebasan Ada gaung yang menyengat ke dada yang resah tapi kuntum pesona semakin merekah Menjadi penyeimbang suara-suara miris
Kami kebaskan jurai rambut mengurai kebebasan Meraih berjuta harap tentang riak hidup Yang menanti juang tanpa kekang dan jurang pun semakin menyempit Hingga langkah beralih loncatan menjadi gilang
Tandas pada detik terakhir engkau mendekap mimpiku Ombak itu kamu, di pantai hatiku Di lautan kasih kita Pekatkan ruang khayal dalam irama petikan yang rendah Aku muak dengan renyah usik kerap menderu Karamkan cemburu yang membunuh binar kelopak hatiku Bertalu menghingar gerai jejak manis itu dan a
Ombak itu kamu, menimpali pantai hatiku Membungahkan letupletup cinta yang lekat Aliran darah pun segemuruh laut pada musim pancaroba Ombak itu kamu, membuatku berselancar Dalam ayunan lepas penuh kebebasan Terkadang terjatuh menelan buih amukanmu
Bayang yang selalu menghampiriku bersama rindu yang terus mengiba Bahkan, terkadang ia menjelma bahagia namun bisa pula duka nestapa Apa selama ini hadirmu memang semu? Pasrah aku pada sebuah pengharapan akan kebahagiaan, yang tak berkesudahan meski telah berkali-kali aku semogakan
Kali ini malam merangkak tanpa bintang Hanya bersenandung ria bersama sunyi Angin berbisik lirih perihal hati yang terkoyak sepi Terjebak aku diruang khayal Berhalusinasi pada sosok yang tak kukenal Lelah aku menerawang; namun nyatanya ia hanyalah sebuah bayang
Tren meluncur ke dalam jam pasir, seperti roda kotak muzik di genggamku berputar mimpi menyelinap keluar dan terbang, aku tidak dapat pulang. Aku, balerina hilang sepatu berdansa untuk melukakan kakiku. Wardah Puteh ytjJnoDCF_c
Kaki-kaki mancis bergeser menyalakan sumbu matahari aku melipat tiket mimpi menyisip perlahan ke dalam dada. Stesen melepaskan desah kota. Dalam kepala, bidakbidak catur bergerak aku memijak kata-kata yang berselerak bergegas ke tangga, menerjah gerabak.
Kotak-kotak kehidupan terisi halwa matahari, mencair dan melekat di jemari. Dingin kelabu membasah pintu, kotaku sujud memohon kunci. Wardah Puteh