Asa bisa melintas sekejap mata Membawamu kesamudra mahkota Tapi sanubari tak bisa melintas sedemikian rupa
Melihat kota pada kidul Tak bisa di pandang Kerlap-kerlip suluh bintang Pada sudut perumahan Yang bisa di pandang di malam petang Di ambang batas dermaga yang jadi saksi bisu Pada perihal itu
Sebab mencintaimu adalah sufi Bisakah engkau menjadi kekasihku? Kini aku hanya mengharap jawabanmu Yang selaras dengan sajakku serta menanti seluruh tubuhmu berpolitik pada tubuhku :sekarang aku sekat kamrat dalam kemarau yang mananti hujan darimu
Jika rindu di ranting tubuhku bisa di timbang akan ku lakukan Biar kau tau padamu aku merindu Senyum ranum di bibirmu terkatung-katung di mahkotaku Yang semakin membara hingga menjadi pelipur lara
Hitam manis kulitmu membuatku jadi pecandu Pada tubuhmu yang sahdu Segala resah hilang begitu dalam Menjelma banyangan Gairahku bertunas darimu Sehingga terlena-lena dengan kebijakanmu
Hai, Jangan salurkan rasa pada wanita Jika untuk bermain rasa Karena rasa itu tak kunjung pergi Hai, Wanita Rasa akan berhenti, putus dan pergi Ketika rasa lain datang Menyalurkan, mengecap dan membekas Mengganti rasa yang tak kunjung pergi Memberi rasa baru yang semoga tak berniat pergi
Kehadiranyapun selalu dinanti Hilang, Rasa itu hilang lenyap Ada apa, dimana, kenapa Rasa? Hilang, tak lagi terrasa Memutuskan rasa yang mengecap, membekas Rasa ini tak kunjung pergi Karena wanita itu perasa
Wanita itu perasa Bukan rasa coklat, stroberi atau vanila Yang hilang ketika tak dirasa Tetapi rasa dalam hati Rasa yang sulit tergambarkan Rasa itu berhasil menyentuh Rasa itu mampu mengecap, membekas
Itulah pilihanmu, menjadi orang bodoh atau tidak !!! Dan ku memilih untuk berhenti menjadi orang BODOH…
Sehingga ku bertanya, Adakah kepastian disana ? Atau jangan –jangan yang terpahit, keberadaanku pastikah untuknya? Haruskah ku menunggu? Haruskah dia yang kutunggu?
Hingga satu kenangan melintas dan Jawabanya karena kata “Pasti”. Kata pasti yang kutunggu dan ditunggu selama ini tak terucap, tak terdengar hingga saat ini
Lalu pikiran ini mulai aktif kembali, Kenapa kata pasti mengikuti keduanya? Disinilah pikiran bersama hati mulai mencari dan menggali, mencari hal-hal, menggali kenangan atau momen yang relefan untuk menjawabnya
Menunggu atau Ditunggu? Apalah artinya menunggu jika yang ditunggu tak pasti. Apalah artinya ditunggu jika yang menunggu abai dan tak pasti. Benar! kata – kata “Pasti” keluar mengikuti keduanya
Karena yang kamu tunggu itu pasti. Matahari mampu memberikan kepastian untukmu akan adanya hari esok yang kau tunggu. Yah, benar Kepastian…
Tersadar, sebodoh inikah kita? Hingga satu jawaban cukup membuat diri ini sadar. Tidak, kamu tak bodoh. Kenapa?
Kepala ini mulai aktif mencari-cari, seperti ada yang kurang logis, Mengapa kita mau menjadi orang bodoh yang mengabaikan keberadaan matahari tetapi menunggunya setiap hari?
Mataharipun mulai tergelincir dan senja datang, saatnya pulang kerja, istirahat dan makan malam kamu…