Tetapi, seperti yang kita ketahui, di negara yang memiliki empat musim, warna-warna daun kerap berubah. Apalagi ketika memasuki musim gugur. Warna hijau yang biasa menyejukkan mata berganti rupa menjadi gradasi kuning, oranye, dan merah. Cantik? Tentu saja.
Bagi kita yang hidup di daerah tropis seperti di Indonesia agak sulit untuk menemukan warna daun selain hijau. Ya, mungkin cokelat ketika daun tersebut telah mengering atau mati.
Penelitian ini dimuat dalam jurnal Proceedings of the Natural Academy of Sciences of the USA. Siapa sangka hal yang kelihatannya sepele seperti memasak ternyata bisa jadi kunci berkembangnya peradaban hidup manusia.
Energi yang ada bisa dimaksimalkan oleh tubuh untuk berakivitas. Sisanya diserap otak untuk berkembang. Ukuran otak yang besar kemudian menurut Herculano Houzel menjadi aset untuk manusia. Kemampuan kognitif, fleksibilitas, dan kompleksitas cara berpikir pun bertambah luas. Tak heran, hingga saat i
Beruntunglah nenek moyang kita kemudian menemukan proses mematangkan makanan atau memasak. Cara ini diketahui bisa meningkatkan kalori yang terkandung di dalam makanan secara drastis. Itulah mengapa walau kita makan dengan porsi dan waktu yang lebih sedikit dari gorila, otak kita lebih besar.
Padahal energi juga dibutuhkan tubuh untuk berkembang. Alhasil, seperti yang terjadi pada primata besar, energi yang mereka dapatkan dari makanan mentah hanya sedikit yang tersalurkan pada otak. Sebagian besar lainnya digunakan tubuh untuk mendukung aktivitas harian.
Padahal energi juga dibutuhkan tubuh untuk berkembang. Alhasil, seperti yang terjadi pada primata besar, energi yang mereka dapatkan dari makanan mentah hanya sedikit yang tersalurkan pada otak. Sebagian besar lainnya digunakan tubuh untuk mendukung aktivitas harian.
Profesor Suzana Herculano-Houzel dan Karina Fonseca-Azevedo dari Institute of Biomedical Sciences Federal University of Rio de Janeiro mencoba mengungkap alasan di baliknya. Menurut mereka, manusia memiliki strategi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuhnya tak seperti primata lain.
Bagi kita yang hidup di daerah tropis seperti di Indonesia agak sulit untuk menemukan warna daun selain hijau. Ya, mungkin cokelat ketika daun tersebut telah mengering atau mati.
Energi yang ada bisa dimaksimalkan oleh tubuh untuk berakivitas. Sisanya diserap otak untuk berkembang. Ukuran otak yang besar kemudian menurut Herculano Houzel menjadi aset untuk manusia. Kemampuan kognitif, fleksibilitas, dan kompleksitas cara berpikir pun bertambah luas. Tak heran, hingga saat i
Beruntunglah nenek moyang kita kemudian menemukan proses mematangkan makanan atau memasak. Cara ini diketahui bisa meningkatkan kalori yang terkandung di dalam makanan secara drastis. Itulah mengapa walau kita makan dengan porsi dan waktu yang lebih sedikit dari gorila, otak kita lebih besar.
Otak merupakan bagian tubuh yang paling mudah "lapar". Sebanyak 86 neuron di dalamnya selalu berteriak minta asupan bahan bakar berupa energi. Sayang, makanan mentah harus dicerna tubuh dengan sangat lambat. Butuh waktu makan 9 jam atau lebih sehari untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Profesor Suzana Herculano-Houzel dan Karina Fonseca-Azevedo dari Institute of Biomedical Sciences Federal University of Rio de Janeiro mencoba mengungkap alasan di baliknya. Menurut mereka, manusia memiliki strategi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuhnya tak seperti primata lain.
Otak, Alat Pikir yang Haus EnergiYa, ternyata bentuk badan gorila yang jauh lebih besar ketimbang manusia tidak berbanding lurus dengan besar otak yang dimilikinya. Otaknya tak sebesar yang dimiliki kita. Mengapa demikian?
Otak, Alat Pikir yang Haus EnergiYa, ternyata bentuk badan gorila yang jauh lebih besar ketimbang manusia tidak berbanding lurus dengan besar otak yang dimilikinya. Otaknya tak sebesar yang dimiliki kita. Mengapa demikian?
Ternyata proses masak memasak tak hanya berguna untuk mengenyangkan perut semata. Sebab, proses ini juga membantu tubuh untuk menumbuhkembangkan otak. Ya, andai saja dahulu hingga sekarang kita masih mengonsumsi sayur atau daging secara mentah, alhasil otak kita tak akan bisa menjadi sebesar seka...
Siapa suka menonton tayangan kuliner atau masak-memasak seperti Master Chef? Hidangan yang terekam dalam televisi tampak begitu menggiurkan. Tak jarang kita jadi tergiur untuk mencicipinya.
Siapa suka menonton tayangan kuliner atau masak-memasak seperti Master Chef? Hidangan yang terekam dalam televisi tampak begitu menggiurkan. Tak jarang kita jadi tergiur untuk mencicipinya.