Aku berserah pada sang waktu. Semoga mau bersedekah mengirimkan satu paket rindu beserta bumbu penyedapnya.
Terkadang, tidak ada pilihan lain untuk menghindar dari rindu yang menyakitkan, selain menjauh dan perlahan melupakan.
Pas kita ada di masa lalu, kita nggak sabar pengen lihat masa depan. Eh, pas udah di masa depan, kita bakal rindu sama masa lalu kita.
Bagiku, hujan menyimpan senandung liar yang membisikan 1001 kisah. Tiap tetesnya yang merdu berbisik lembut, menyuarakan nyanyian alam yang membuatku rindu mengendus bau tanah basah.
Penuh sesak. Rindu yang kutampung melebihi kapasitasnya. Berdesakan ingin keluar mencari pintu pertemuan.
Rumah. Sejauh manapun aku melangkah dan berlari, kepadanya juga aku kembali. Karena disanalah hati begitu nyaman berdiam. Ada rindu yang terus bernyawa. Membawa inginku selalu kembali kepadanya. Rumah itu kamu.
Rindu kesumat, merajalela di batas angkuh yang mengunci bibir untuk bertanya tentangmu, apakah kau mengecap rasa yang sama? Andai saja.
Rindu itu sunyi cuma kamu yang bisa meramaikannya. Rindu itu api, cuma kamu yang mampu memadamkannya. Rindu itu semena-mena, begitu terantuk di matamu, tak mau lari kemana-mana.
Di kilometer tanpa nama, tiba-tiba kuingat segalamu. Menghasut getar, menampar nalar, dan tepikan ingkar. Lalu terbitlah rindu.
Ada banyak kata yang ingin dirajut, tapi tak tersampaikan. Ada kisah-kisah yang ingin dibagi. Ada rindu yang ingin disalurkan. Namun, semua itu hanya bisa diwujudkan dalam bisikan semu di udara.
Tidak peduli seberapa lemah getar itu menyisir kalam hatiku. Aku hanya tahu ada rindu yang kujaga untukmu.
Bukankah kisah cinta selalu begitu? Di balik hangat pelukan dan panasnya rindu antara dua orang, selalu tersimpan bagian muram yang tak nyaman. Sementara, setiap orang menginginkan cinta yang tenang- tenang saja.
Jika nanti, semesta bercanda dan mempertemukan kita lagi. Segeralah menghindar, sebab bagiku kamu tidak lagi sesuatu yang menarik meski rindu tak sepenuhnya memudar.