Istri Brigjen (Purn) Pol Mangisi Situmorang, Mutiara, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Bogor terkait dugaan penganiayaan 17 pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di rumahnya di Kompleks Duta Pakuan, Jalan Danau Matana Blok C5/18, Kelurahan Tegallega, Bogor.

"Sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny F Sompie di Jakarta, Minggu.

Ronny akan segera memeriksa Mutiara dan 18 saksi lainnya, termasuk di luar para pembantu rumah tangga tersebut. "Siapa saja keterangan saksi dan pembantu rumah tangga yang mana, saya belum tahu karena itu sama-sama dengan Pusdokkes," katanya.

Polresta Bogor juga akan mendalami dugaan keterlibatan Mangisi Situmorang, Ronny mengatakan sementara fokus masih kepada Mutiara.

Ia menjamin penyidik tidak akan berpihak atau melakukan diskriminasi terhadap kasus tersebut. "Yang jelas, kita jamin penyidikan ini tidak berpihak atau ada diskriminasi, kita profesional dan proporsional. Bagaimana perkembangan hasil penyidikan dan bagaimana alat bukti yang diperoleh, siapa yang jadi tersangka, sangat tergantung penyidikan," katanya.

Kasus ini terungkap saat seorang pembantu di rumah Mutiara, Yuliana Lewer (19) melapor ke Polresta Bogor karena merasa mendapat perlakukan tidak manusiawi dari majikannya. Ia mengaku mendapat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak digaji selama tiga bulan.

Yuliana melarikan diri dan sempat terlantar di jalan selama dua hari dan ditemukan warga yang kemudian dipertemukan dengan keluarga yang langsung melapor ke Polresta Bogor. Namun, menurut Mangisi, kekerasan yang dituduhkan Yuliana, adalah konflik internal antara para pembantu tangga di rumahnya.
Sumber

Udah 9 tahun sejak para aktivis mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) perlindungan hak PRT ke Senayan tapi belum juga menunjukan titik cerah. Bagi para wakil rakyat mereka beralasan, RUU ini berpotensi merusak tatanan kekerabatan yang telah mengakar di masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, peraturan ini lebih pantas ditujukan untuk penyedia jasa PRT, bukan keluarga.

Sedangkan, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT), Lita Anggraini justru membantah. Dengan tegas ia berkata, PRT menjadi korban untuk menjaga stabilitas ekonomi negara. Untuk membuka mata masyarakat tentang segala jenis penindasan ketenagakerjaan, RUU PRT harus disahkan, menurut Lita.
Sumber

RUU PRT sudah diajukan ke DPR RI. Namun terdepak dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR beberapa kali.

Konferensi perburuhan internasional, ILO, menyetujui konvensi yang menetapkan perlindungan bagi pembantu rumah tangga di seluruh dunia. Konvensi baru tersebut akan menjadi landasan untuk menjamin pekerja rumah tangga mendapatkan kondisi kerja setara dengan yang diperoleh pekerja di sektor lain.

Konvensi mengenai Pekerja Domestik tersebut mengharuskan pemerintah memastikan para pembantu rumah tangga mengerti hak-hak mereka. Namun, di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT yang tak kunjung disahkan. Perjuangan hak-hak PRT dimulai. “Kalau tidak ada peraturan, itu perbudakan namanya,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal beberapa waktu lalu.

DPR mulai serius membahas RUU PRT.

RUU ini rampung dibahas di komisi dan dilanjutkan ke Badan Legislasi (Baleg). Di sini lah, ada kemacetan pembahasan. Iqbal mengatakan, “pemerintah belum merativikasi karena pengusaha tidak setuju.”

Sembari mendesak pengesahan RUU, berbagai organisasi yang menampung aspirasi PRT terus berkembang, sebut saja Aspek Indonesia dan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).

Wakil Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Gibson Sihombing mengatakan, pihaknya sedang gencar merekrut PRT menjadi serikat pekerja. Hal ini dilakukan agar ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perekrutan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Medan, sudah dilakukan.