p03tr48un95uAvatar border
TS
p03tr48un95u
Biar Lambat Asal Selamat??


Quote:


Sebelumnya: SEMOGA TIDAK REPOST

Spoiler for No Repost:


Spoiler for Tabrakan:



Biar lambat asal selamat VS Cepat dan finish duluan dengan selamat


“Kenapa kita harus lambat hanya karena ingin selamat”? selama cepat dan tepat namun kemudian selamat masih memungkinkan?. Kenapa anda merasa sudah terlambat dan kemudian memilih mengeluhkannya dan mengeluhkannya? Kenapa kita tidak berpikir bahwa kalo orang lain sudah start duluan, kenapa tidak kita lakukan percepatan agar finish duluan? “

Saya masih ingat betul, prinsip ayah saya. Tertanam diotak saya sejak SD hingga kelak kemudian memberontak dan melawan pepatah itu ketika saya sudah memasuki Sekolah menengah atas, ketika saya sudah bisa berpikir analis. Bahwa kemudian saya banyak menemukan doktrin-doktrin yang ditanamkan oleh orang generasi diatas saya dan merasa ada yang salah dengan itu dan ada yang tidak bisa digunakan di generasi saya dan anak saya bahkan cucu saya. Saya kemudian memutuskan untuk memutus rantainya. Membalikkan cara berpikir dan membalikkan doktrin-doktrin itu. Doktrin doktrin itu based on masa lalu mengesampingkan apa yang bisa terjadi kedepan, didasarkan pada kemungkinan terburuk, dan lebih mengutamakan pikiran negatif dan pesimis. Impactnya kemudian malah mejadi pertakut dan kemudian berefek kepada ketakutan untuk melakukan sesuatu sekaligus sebagai pematah semangat api yang sudah membara.

Ketika SD, saya bersekolah jauh dari tempat tinggal saya. Jarak antara sekolah saya dengan Rumah sekitar 5 Km lebih. Terlalu jauh untuk anak berumuran 6-12 tahun yang harus bersekolah dengan menggunakan angkot. Pertimbangannya adalah, SD itu berjarak 500 M arah barat dari tempat bekerja ayah, sementara dari tempat ibu saya bekerja berjarak 1 KM kearah utara. Jangan anda bayangkan kalo keluarga saya mempunyai mobil dengan pertimbangan cerita saya diatas. Keluarga saya sedehada, hanya punya satu kendaraan yaitu Piaggio Vespa PX tahun 1986. Ya hanya satu Kadang digunakan oleh ayah saya, dan kadang digunakan oleh ibu saya secara bergantian dengan peraturan pemakaian secara random. Bahkan sampai saat inipun, saya tidak tahu kenapa kadang dipake ayah, kenapa kadang dipake ibu saya.

Sepulang sekolah, saya dan adik saya, Kicik, yang kebetulan hanya tua 1 tahun, satu SD. Sepulang dari sekolah, saya dan kicik mempunyai 3 opsi untuk pulang ke rumah. Pertama, menggunakan angkot. Kedua, ikut ayah saya. Ketiga ikut ibu saya. Tergantung piaggio vespa itu dipake oleh siapa.

Mari kita exlude kan angkot telebih dahulu. Mari Kita ikut lupakan wajah sopir angkotnya. Pilihannya kemudian Cuma dua. Ayah saya atau ibu saya. Sembari menikmati perjalanan diatas vespa kesayangan itu, ada yang begitu berbeda dengan cara berkendara atau lebih tepatnya prinsip berkendara ayah dan ibu saya.

Ayah saya, punya prinsip hebat menurut beliau, setidaknya menurut beliau. Bekendara dengan kecepatan 30 km/jam, stabil dan statis. Terkadang pernah sampai 40 km/jam. Dan itu adalah rekor tertinggi kecepatan yang pernah dicapai sepanjang hidup beliau dalam berkendara roda dua. Mau jalan belok ataupun jalan lurus. Tidak perduli lagi macet atau bahkan jalanan sepi dan sangat sepi. Tetap memegan teguh prinsip dan tidak mau menyesuaikan diri.

Saya tidak ingat umur saya waktu itu, namun ketika saya tanyakan kepada beliau kenapa?. Jawabannya selalu sama, “biar lambat asal selamat”. Dan itu terus diulangi dan diulangi lagi yang berbanding lurus dengan berapa banyak pertanyaan saya terhadap keanehan itu. Bahkan sampai saya memutuskan untuk tidak pernah lagi nebeng berkendara dengan beliau. Jawabanya tidak pernah berubah, selalu sama.

Saya sempat heran dahulu, kenapa saya tidak pernah melihat ibu saya mau untuk berbarengan dengan ayah saya dalam berkendara. Ternyata, bukan karena pertengkaran dan bukan juga karena malu. Rasa penasaran yang begitu kuat membuat saya bertanya pada ibu saya. “Kalo mama nebeng papa kamu itu, pergi jam 7 dari rumah, besoknya baru sampai tempat kerja”. Hahahha. Dramatisasi yang berlebihan itu tentunya disambut dengan tawa. Atau terkadang celetukan “ orang sudah sampe di amerika, papa kamu masih di arab saudi” menjadi makanan sehari-hari saya dan saudara saya.

Ibu saya memang begitu adanya. Ceplas-ceplos dengan tingkat permainan bahasa ironi yang tinggi. 180* derjat berbeda. Dan berbeda juga dalam prinsip berkendara. Selalu mau cepat tapi dengan perhitungan. Kapan harus berlari dan kapan harus menahan kecepatan. Kapan bisa menyalib kapan untuk tidak. Sesekali memang hampir terserembet mobil. Terkadang harus beradu argumen dengan pengendara motor lainnya. Tapi menurut beliau, itu adalah resiko berkendara. Kalo memang pengen selamat, kenapa tidak tidur dirumah saja.

Saya renungi pernyataan itu, memang benar adanya. Masih segar dalam ingatan saya, beberapa kali saya menemukan hal yang serupa ketika berkendara dengan ayah saya. Dengan kecepatan yang pelanpun, ayah saya juga pernah hampir terserembet mobil. Pernah juga hampir menabrak motor karena keragu-raguan beliau, atau keragu-raguan pengendara lain oleh sebab pelannya Vespa ayah saya.

Impactnya saya rasakan. Ibu saya bisa menghemat banyak waktu di jalan dan melakukan banyak hal dirumah. Sementara ayah saya tidak. Menghabiskan separuh harinya dijalan dan kemudian menjadi tidak lebih punya banyak waktu untuk melakukan hal yang lain.

Begitu pun jika kita bawakan dalam kehidupan. Kenapa kita lambat, jika cepat masih memungkinkan. Kenapa orang lain bisa finish duluan sementara kita yang lebih dahulu start. Kenapa orang lain hanya butuh 2 tahun untuk menjadi kaya sementara kita hidup sederhana sampai tua. Kenapa nun jauh di china dan korea sana tumbuh dan terus tumbuh berkembang dalam 1 dekade saja sementara negara lain butuh waktu yang lebih lama dan beberapa menjadi statis. sementara saya, anda dan semua orang punya waktu yang sama. 24 jam dalam satu hari. Punya jumlah tangan dan kaki yang sama. Punya otak yang sama fungsinya, untuk berpikir.

Kenapa? Karena cara kita yang berbeda. Baik itu cara berpikir ataupun cara menentukan prinsip. Kita yang sekarang adalah bagaimana kita menentukan prinsip. Bagaimana kita menyikapi pepatah dan doktrin dan kita semua selalu punya pilihan untuk menentukan prinsip mana yang kita pilih. Lambat asal selamat? Benarkah demikian? Mari kita cari pembandingnya.

Kita harus menyadari hidup di zaman sekarang ini jauh berbeda dengan zaman ayah atau kakek kita. Terpaan hidup antara saya, ayah dan kakek saya itu berbeda sejalan dengan kondisi pada saat itu, kemaren dan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dahulu mungkin percepatan tidak memungkinkan. Dan memang tidak memungkinkan. Ketika berkomunikasi dengan orang yang berada berpuluh-puluh KM atau bahkan ratusan KM dari kita menjadi sangat sulit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ketika surat yang anda kirimkan akan mendapatkan balasan seminggu kemudian. Atau ketika belum ditemukannya telepon genggam, sehingga saat anda ingin men-sharingkan masalah anda pada orang lain tidak bisa sesegera mungkin jika orang yang bersangkutan tidak berada dekat dengan telepon rumah atau kantornya.

Hari ini, tidak begitu kawan. Percepatan adalah sesuatu yang dengan sangat gampang kita ciptakan. Ingin menyurati orang pada saat ini, balasannya bisa anda dapat dengan kecepatan yang mungkin ayah saya tidak pernah bayangkan pada masanya. Atau saat anda ingin mendengarkan nasehat secara audio, anda bahkan tidak perlu memencet 11 digit No. Telpon untuk bisa kemudian mendapatkan input dan nasehat untuk kehidupan, bisnis dan cinta anda. Pun ketika anda tidak punya koneksi siapa siapa, kita hanya perlu kemudian mengetik beberapa kata dan google akan dengan senang hati menjawabnya dengan ribuan opsi. Jadi jika setelah membaca buku ini, dan masih ada orang bilang bahwa percepatan tidak memungkinan, sebaiknya anda siapkan sepatu yang lebih gampang di lepas, pukulkan berkali-kali ke orang itu supaya mereka sadar dari pikiran negatifnya.

Saya ingin menceritakan contoh kasus percepatan. Akan lebih baik jika dari pengalama yang saya alami sendiri. Sudah barang tentu, semua orang menginginkan lulus kuliah tepat waktu. Sebagian lainnya mengdiskon diri lulus diwaktu yang tepat. Meleset beberapa semester tapi kemudian langsung bekerja. Saya adalah mahasiswa di kategori pertama. Lulus tepat waktu… tepat sebelum DO. Hahhaa..

Jadi tak heran ketika saya lulus kuliah, saya tertinggal jauh dari temen2 temen saya yang lulus tepat waktu. sebagian diantaranya sukses dikarir masing-masing. Ada yang sudah menjadi Branch Manager, bahkan ada yang jadi head-head di bagian masing-masing. Saat itu saya sadar, bahwa saya baru memulai sementara yang lain sudah start duluan. Adalah sesuatu yang wajar jika saya kemudian berpikir bahwa sangat tidak mungkin mengejar mereka yang berlari duluan.

Entah kenapa saya ingin membalik cara berpikir saya dan cara berpikir mayoritas orang indonesia. Oke, fine, jika mereka start duluan, tapi saya yang harus finish duluan. Caranya memang sederhana, malah bahkan mungkin terlalu sederhana. Percepatan. Kalau mereka melakukan 2 kali dari kemampuan mereka, saya harus melakukan 10 kali lipat dari apa yang mereka kerjakan. Saya membaca lebih banyak buku, mengupdate knowledge, menambah koneksi, tidak membuang peluang dan memulai pekerjaan dari level yang tidak terlalu dibawah.

Hanya program ODP dan beberapa macam development program yang saya ajukan lamaran. Dan saya memilih tidak berkompetisi di perusahaann yang terlalu besar. Perusahan menengah yang berkembang tidak apa-apa. Asalkan Kompetitor saya tidak banyak, dan menjadi rising star diperusahaan itu lebih gampang. Saya perhatikan apa yang diinginkan oleh perusahaan itu terhadap Sumber Daya manusia dan kemudian saya berfokus menjadi orang yang dibutuhkan oleh perusahan itu.

Tidak butuh satu tahun, bagi saya bisa berpenghasilan sama dan bahkan lebih dari beberapa teman saya yang sudah 2 tahun lebih dahulu bekerja. Dalam hitungan bulan saya membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk percepatan mengejar sebahagian dari mereka, walaupun beberapa yang lainnya belum terkejar, melaju dan terus melaju.

Seorang sahabat SMA bernama Dian Firdaus melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Ketika saya dan sahabat SMAnya yang lain Kuliah, dia menjadi penjaga toko. Memilih untuk tidak kuliah, memutuskan hidup sebagai pelaku bisnis. 4 tahun berlalu, teman-temannya selesai kuliah dan memulai kehidupan sebagai pekerja. Dalam jangka waktu itu, dia jatuh bangun membangun kerajaan bisnis impiannya. Gagal, mencoba lagi dan gagal lagi. 2 tahun berlalu, dan beberapa temannya mendapatkan kemapanan semu dari semua pekerjaan, dia masih berjuang dan berjuang.

2009, dia memutuskan untuk pindah kota ke balikpapan. Hanya butuh 3 bulan, dengan modal 15 juta diawal kehadirannya, dia sudah bisa menyewa ruko. Saat ini, 2012, dia memiliki 4 kios dengan aset 1 M lebih dan sudah memiliki 3 ruko di usia 27 tahun. Luar biasa.

Kita tidak perlu menunggu tua untuk kaya. Kita tidak perlu menunggu rambut ubanan untuk mapan. Kita tidak perlu punya anak dahulu, hingga rezeki bisa dengan gampang datang. Banyak anak banyak rejeki, kata orang. Tanpa anak pun rejeki bisa datang. Saatnya sekarang Muda mapan atau muda kaya. Merry riana, Ippho Santosa dan Bong Chandra adalah bukti nyata.

Selamat berjuang, Sampai jumpa di puncak kesuksesan

===================================================================
Diharapkan komengnya agan2 sekalian. Kalau berkenan mohon emoticon-Blue Guy Cendol (L)dan emoticon-Rate 5 Star. Dan ane jangan di emoticon-Blue Guy Bata (L) coz nggak lagi bangun rumah.

Silahkan mampir juga di Thread ane yang lain


Quote:




SUMBER:
Biar lambat Asal Selamat??
Diubah oleh p03tr48un95u 28-01-2014 11:46
0
5.9K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan