Dengan akan datangnya masa PEMILU ada salah satu yang perlu masyarakat Indonesia hindari dan stop melalukan hal ini, dikarenakan inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya KORUPSI....
Coba deh agan2 liat sekitar agan2 dan ingat2 kembali dulu waktu masa PEMILU....
- Pasti banyak calon legislatif yang dateng ke daerah rumah agan untuk mengkampanyekan dirinya...
- Menurut pengalaman ane biasanya si calon ini dimintain duit atau disuruh nyumbang apa gitu yg lagi dibangun di tuh daerah... atau lagi mau ngadain kegiatan apa gitu...
- Biasanya bnyk yg memanfaatkan moment ini utk berbondong2 mengajukan proposal untuk di sponsori si calon utk kegiatannya...
- Ada hal yg ditakutkan si calon, kalau dia tdk memberi maka terancam tdk akan dipilih oleh warga daerah tersebut
- Dan pada hari H pemilihan harus memberikan uang kepada pemilih yg besarnya sekitar 20-50rb agar dipilih
- Belum lagi biaya utk buat kaos,spanduk,stiker,kalender DLL
Inilah kenyataan yang terjadi di negara kita tercinta
Coba agan2 hitung berapa Milyar uang yg harus dikeluarkan oleh si calon kalau ia mencalonkan sebagai anggota DPR-RI yang membawahi beberapa daerah pemilihan???
Kalau si calon terpilih menjadi anggota DPR-RI, okelah misal gaji tiap bulannya 50 juta apakah selama dia menjabat 5 tahun bisa balik modal???
Ya kalau dia hanya mengandalkan gajinya saja tidak akan pernah balik modal, ya jalan satu2
KORUPSI
Atau misal uang kampanyenya di sponsori oleh pengusaha,
APAKAH SI PENGUSAHA MEMBERIKAN DENGAN CUMA2 TANPA ADA MAKSUD??? Tentu Tidaaaaakkkk!!!! Pasti nanti ujung2nya si calon yg terpilih kelak harus mengembalikan dana tersebut dalam bentuk project / tender utk perusahaan si sponsor kampanye!!!
INILAH LINGKARAN SETAN
Politik Uang Makan Tuan
Menarik mencermati perpolitikan yang ada di kabupaten Tegal menjelang Pilbup tanggal 27 besok. Menarik karena banyak sekali dugaan politik uang yang dilakukan beberapa calon untuk menggaet suara masyarakat. Dan uniknya terkait dengan dugaan politik uang tersebut, rakyat sudah semakin pintar bagaimana menyikapinya.
Jadi begini ceritanya. Meskipun kampanye langsung baru dilaksanakan kurang lebih satu minggu lalu, tapi kemeriahan pengenalan para calon bupati sudah ramai sejak lebih dari sebulan lalu. Sudah sejak lebih dari sebulan lalu juga banner-banner para calon bertebaran di sepanjang jalan dan gang-gang desa.
Tidak hanya sebatas itu, kabarnya salah satu calon juga sudah ada yang mulai bagi-bagi uang dan mie instan. Nah pasangan yang dari dulu sudah bagi-bagi uang dan mie instan inilah yang kena batunya atau kena senjata makan tuannya.
Jadi mulai memasuki putaran kampanye, beberapa kali di beberapa tempat, kampanye terbuka yang dilaksanakan calon tersebut selalu gagal. Masyarakat yang hadir tak pernah lebih banyak dari petugas keamanan yang hadir. Masyarakat baru mau ikut kampanye kalau dikasih uang sama mie instan kaya dulu sebelum waktu kampanye. Dan terjadilah setiap kampanye pasangan terbuka pasangan calon tersebut sepi pengunjung. Dan kabarnya, diwaktu menjelang akhir masa kampanye, pasangan tersebut merubah strategi kampanye dengan mengajak masyarakat berekreasi ke salah satu tempat reksreasi yang calon tersebut miliki gratis tanpa dipungut biaya bahkan diberi uang saku.
Kambar ini sudah terdengar dimana-mana tapi entah kenapa KPU atau panwas sama sekali tidak bertindak, entah karena mereka belum mendengar atau mereka pura-pura tidak dengar karena kecipratan uangnya, saya juga kurang tahu.
Dengan perubahan strategi kampanye, peserta kampanye memang terlihat mulai banyak lagi, tapi sewaktu beberapa peserta kampanye saya tanyai, mereka bilang “saya sih terima uangnya saja, masalah coblosan nanti terserah hati nurani.”
Cerdas sekali warga-warga sekarang. Mau uangnya tapi tidak pasti memilihnya. Semoga semua warga masyarakat Indonesia bisa berpikiran seperti ini. Sehingga harapannya semoga para calon apapun baik bupati, caleg, presiden dll yang membagi-bagikan uang suap tidak terpilih. Karena jika jalan yang ditempuh untuk mencapai kekuasaan saja dilakukan dengan cara yang tidak barokah, ketika jadi pemimpinpun tidak akan membawa kebarokahan buat masyarakatnya. Mari terima uangnya, jangan pilih orangnya! (Amin)
Sumber :
http://regional.kompasiana.com/2013/...an-603053.html

MENJELANG pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah isu politik uang biasanya muncul. Sebuah berita di stasiun televisi swasta mengungkap bahwa politik uang ternyata masih eksis dan tetap menjadi salah satu senjata bagi para politikus untuk menarik suara sebanyak-banyaknya. Berita itu juga membahas berbagai upaya dalam melawan politik uang baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik melalui kampanye, seminar, sosialisasi hingga pelosok desa. Hampir semua (kalau tidak bisa dikatakan semua) menyerukan agar politik uang diberantas dan mengharamkan kita menerima segala bentuk politik uang. Mereka juga meminta para pemilih untuk tidak menerima pemberian calon-calon pemimpin yang akan dipilih. Namun, apakah hal tersebut realistis? Apakah hal tersebut efektif?
Apabila dua pertanyaan tersebut ditanyakan kepada penulis, penulis dengan tegas akan menjawab TIDAK.
Sebelum penulis membahas lebih lanjut, pengertian politik uang adalah segala usaha dan bentuk baik berupa uang, barang, atau jasa oleh pemberi yang merupakan politikus, yang diberikan secara gratis untuk menimbulkan simpati atau rasa suka terhadap pemberi dan menimbulkan keinginan bagi penerima untuk memberikan hak suara politiknya terhadap pemberi. Tidak perlu lagi penulis uraikan cerita kelam kehidupan masyarakat ekonomi golongan bawah. Jangankan berpikir mengenai sekolah, kesehatan, atau uang pensiun yang bersifat jangka panjang, berpikir untuk makan hari ini saja sudah merupakan suatu hal yang berat. Kemudian, ada “tangan-tangan malaikat” yang memberikan mereka sebuah bantuan, entah itu berupa uang, alat transportasi, bahan makanan sehari-hari, alat untuk bercocok tanam, dll. Bagaimana mungkin bisa kita meminta atau bahkan cenderung memaksa mereka untuk menolak pemberian tersebut, sekalipun pemberian tersebut menuntut balasan berupa memilih calon tertentu dalam pemilu atau pilkada. Realistiskah hal tersebut?
Bagaimana juga dengan pertanyaan kedua tentang efektivitas seruan-seruan untuk menolak politik uang? Pada kenyataannya, politik uang tetap eksis. Bahkan tidak menutup kemungkinan politik uang sama sekali tidak berkurang atau malah berkembang.
Bagaimana apabila seruan-seruan yang mengharamkan menerima segala hal berbau politik uang menjadi seruan untuk menerima politik uang? Bagaimana apabila kita mengampanyekan pada khalayak ramai agar menerima politik uang tersebut, namun menekankan agar tidak memilih si pelaku karena sudah dapat dipastikan orang yang melakukan politik uang bukan orang yang tepat untuk menjadi pemimpin? Menurut penulis, inilah cara terbaik dan paling realistis. Tentu keberhasilan tersebut hanya dapat dicapai apabila ada dukungan dari KPU yang memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menerima pemberian, namun tidak menjadikan pemberian tersebut sebagai alasan untuk memilih.
Dengan perubahan cara pandang tersebut, masyarakat dapat menerima tiga keuntungan sekaligus. Pertama, masyarakat dapat menerima segala bentuk politik uang, tentunya secara jangka pendek dapat memberi kemudahan dan kebahagiaan bagi mereka. Kedua, dengan cara ini, masyarakat dapat mengetahui pihak mana yang pantas untuk dijadikan pemimpin. Sederhananya, orang yang melakukan politik uang adalah buruk dan yang tidak adalah baik. Paling tidak pemilih tidak memilih berdasarkan pemberian tersebut. Ketiga, apabila seruan-seruan ini dapat diimplementasikan oleh masyarakat; mereka menerima politik uang, namun tidak memilih pemberinya, kita berharapan si pemberi akan “galau”. Apakah akan tetap melakukan politik uang atau tidak karena timbulnya keraguan efektivitas politik uang tersebut. Seperti kata pepatah, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.
Sumber :
http://kampus.okezone.com/read/2013/...-harus-ditolak