Kawah Sibanteng

Sibanteng terletak di Desa Dieng Kulon. Kawah ini pernah meletus freatik pada bulan Januari 2009 (15/1), menyebabkan kawasan wisata Dieng harus ditutup beberapa hari untuk mengantisipasi terjadinya bencana keracunan gas. Letusan lumpurnya terdengar hingga 2km, merusak hutan milik Perhutani di sekitarnya, dan menyebabkan longsor yang membendung Kali Putih, anak Sungai Serayu.

Kawah Sibanteng pernah pula meletus pada bulan Juli 2003.

Kawah Sikidang

Sikidang adalah kawah di DTD yang paling populer dikunjungi wisatawan karena paling mudah dicapai. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter inilah namanya berasal karena penduduk setempat melihatnya berpindah-pindah seperti kijang (kidang dalam bahasa Jawa).

Kawah Sileri

Sileri adalah kawah yang paling aktif dan pernah meletus beberapa kali (berdasarkan catatan : tahun 1944, 1964, 1984, Juli 2003, dan September 2009). Pada aktivitas freatik terakhir (26 September 2009) muncul tiga celah kawah baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter.

Kawah Sinila

Sinila terletak diantara Desa Batur, Desa Sumberejo, dan Desa Pekasiran, Kecamatan Batur. Kawah Sinila pernah meletus pada pagi hari tahun 1979, tepatnya 20 Februari 1979. Gempa yang ditimbulkan membuat warga berlarian ke luar rumah, namun mereka terperangkap gas racun yang keluar dari Kawah Timbang akibat terpicu letusan Sinila. Sejumlah warga (149 jiwa) dan ternak tewas keracunan gas karbondioksida yang terlepas dan menyebar ke wilayah pemukiman.

Kawah Timbang

Timbang adalah kawah yang terletak di dekat Sinila dan beraktivitas sedang. Meskipun kurang aktif, kawah ini merupakan sumber gas CO2 berkonsentrasi tinggi yang memakan ratusan korban pada tahun 1979. Kawah ini terakhir tercatat mengalami kenaikan aktivitas pada bulan Mei 2011 dengan menyemburkan asap putih setinggi 20 meter, mengeluarkan CO2 dalam konsentrasi melebihi ambang aman (1.000 ppm, konsentrasi normal di udara mendekati 400 ppm) dan memunculkan gempa vulkanik. Pada tanggal 31 Mei 2011 pagi, kawah ini kembali melepaskan gas CO2 hingga mencapai 1% v/v (100.000 ppm) disertai dengan gempa tremor. Akibatnya semua aktivitas dalam radius 1 km dilarang dan warga Dusun Simbar dan Dusun Serang diungsikan

Komplek Candi Pandawa : Foto diambil pada kisaran Tahun 1928. Sekitar candi masih berupa rerumputan dan rawa dangkal

Warga Belanda kala itu sedang berwisata di Dieng, Mereka berpose di Depan Candi Arjuna. Foto diambil pada kisaran Tahun 1921

Seorang Warga Belanda Berfoto di Lokasi Kawah Sikidang.

Seorang Warga Belanda sedang berkuda di Areal Wisata Telaga Warna. Tampak Dari Foto Kondisi Telaga waktu itu sangat berbeda dengan sekarang.

Seorang Warga Belanda menaiki Kuda di Sekitar Desa Sembungan. Foto di ambil sekitar Tahun 1914

Warga Desa dan Anak-anak Dieng berkumpul di depan Rumah Tradisional Joglo. Tampak Beberapa anak Rambut Gimbal didalam Foto

Taktala Dieng disebut, harum tanah yang pernah saya sambangi datang membawa kerinduan, wanginya khas tanah subur dan lembab, bila basah saya pun tak mampu melupakan aromanya. Berada di dataran tinggi Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, kawasan Dieng adalah tempat dimana hawa dingin tak pernah pergi. Saya pun meyakini bahwa Dieng diciptakan taktala Tuhan sedang tersenyum.

Disebelah barat lembah-lembah terlihat jelas hijau dan berbukit-bukit, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing tegak berdiri. Tak jauh mata memandang, puncak Sikunir menebarkan pesonanya. Dikelilingi bukit dengan kontur berbukit-bukit kawasan ini adalah favorit para wisatawan yang menyukai detik-detik matahari terbit. Bila datang kesini saya akan menanti hingga langit berubah biru dan kabut pergi dengan sendirinya.

Menjelajah pedesaan di kawasan Dieng apalagi bila dilakukan dipagi hari sapa ramah penduduk yang tengah berangkat bertani dan berladang sungguh menyejukkan hati, suatu hal yang tak pernah ditemui di kota besar seperti Jakarta. Masyarakat Dieng banyak berprofesi sebagai petani, ketika pagi datang mereka semua beranjak ke lahan pertaniannya dan yang menarik pakaian yang mereka kenakan adalah jaket tebal , balaclava (kupluk) juga sepatu boot untuk berkebun.Biasanya warga berangkat ke ladang-ladang mereka dengan menumpang mobil pick up.

Perkebunan di Dieng tertata rapi, sayangnya kini banyak lahan yang berbukit pohonnya ditebangi dan berganti dengan barisan tumbuhan kentang dan wortel yang tumbuh subur. Dari tanaman-tanaman inilah masyarakat Dieng hidup.

Bila ingin sedikit berpetualang dan mengakrabkan diri dengan pemandangan yang luar biasa dan hawa dingin yang menusuk tulang, mendirikan tenda adalah satu hal yang menarik dan saya pun akan memilih opsi ini. Bila malam tergeletak di rerumputan bersih dan menghadapkan wajah kelangit adalah hiburan tersendiri, langit malam yang bersih menyuguhkan kerlap-kerlip bintang yang menakjubkan.

Namun bila ingin menyatu dengan masyarakat, percayalah penduduk di kawasan Dieng begitu ramah. Rumah-rumah di Dieng bertingkat-tingkat, maklum saja kontur tanah yang berbukit memaksa bangunan bangunan berdiri bertumpuk. Yang asik bila singgah di rumah masyarakat, bila pintu terbuka maka langit biru menjadi hiasan dan perkebunan menjadi hamparan, hawa dingin pun tetap mendekap.

Pagi buta saran terbaik memang mendatangi Bukit Sikunir yang menjadi tempat terbaik menikmati matahari terbit. Bila berencana datang ke tempat favorit para traveller waktu terbaik adalah pukul 03.30. Baju hangat dan jaket yang tebal juga senter adalah perlengkapan yang wajib untuk dibawa, bila tidak silahkan nikmati tulang 'dihajar' hawa dingin yang luar biasa. Dari tempat parkir menuju Bukit Sikunir kurang lebih memakan waktu 30 menit trekking santai dan saya pastikan lelah dan rasa kantuk pasti terbayarkan oleh ' Golden Sunrise' yang luar biasa.

Menikmati matahari di Bukit Sikunir saya pastikan adalah yang tak akan terlupakan, empat gunung menjulang menjadi 'bonus' panorama yang memikat. Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro berdiri berbaris menakjubkan di sapu tinta langit berwarna oranye melekat di mata. Saat itu saya menikmatinya sambil mereguk kopi susu yang panasnya sudah tidak terasa karena saking dinginnya.

Sungguh Dieng adalah swargaloka tempat bersemayam dewa dan dewi kayangan. Dibawah Pegunungan hijau dan langit biru membentang, candi-candi berdiri kokoh dengan lukisan inding yang menyampaikan cerita. Candi Arjuna adalah candi yang terbesar di Kompleks Percandian Arjuna, Dieng. Di kompleks ini juga terdapat Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi-candi Hindu ini berada di ketinggian 2000 mdpl, pertama kali ditemukan oleh tentara Inggris yang tengah berwisata, kala itu candi-candi ini tergenang oleh air telaga.

Setelah menikmati keeksotisan candi-candi yang memikat, satu lagi panorama yang menakjubkan harus dinikmati. Tak jauh dari Candi Bima berjalanlah selama 20 menit, maka sebuah tanah bercampur belerang yang menguning terhampar berbatu. asap-asap vulkano dari letupan-letupan air panas silih berganti berpindah-pindah letak, jangan takut suhu panasnya hanya 98 derajat celcius, banyak wisatawan yang datang percaya bahwa air panas yang mengandung sulfur itu adalah obat bagi banyak penyakit kulit. Tempat ini bernama Kawah Sikidang, banyak wisatawan percaya air panas yang mengandung sulfur dari kawah Sikidang mampu mengobati penyakit kulit.

Dieng memang kaya akan pesona, berada di kecamatan Kejajar, Wonosobo, Telaga Warna adalah satu yang wajib dikunjungi. Warna airnya yang memantulkan warna langit menjadi satu tempat favorit bagi para 'perenung'. Airnya beraroma belerang, dasarnya berwarna putih, suhu airnya hangat, untuk mencelupkan kaki selutut saja tak apalah namun untuk berenang disini saya tidak menyarankan. Air telaga yang tenang di baliknya masih terdapat gas beracun yang mematikan.

Hingga kini di benak saya Dieng adalah 'Swargaloka' dunia. Keyakinan akan Tuhan tersenyum saat menciptakan Pegunungan Dieng begitu melekat. Tak salah bila masa liburan ini untuk sejenak kembali ke alam, mereguk hawa segarnya dan mencium wangi tanahnya. Dieng adalah pilihan bagi pencari keheningan dan sedikit petualangan.