Quote:
Pukul sepuluh malam...
Mata Rissa nyalang menatap perempuan yang tubuh kurusnya terbaring di hadapannya dengan dua tangan terbelenggu tali tambang yang simpulnya terikat erat di besi ujung ranjang. Perempuan itu tertidur begitu lelap sampai mendengkur keras sekali. Mungkin kelelahan setelah sore tadi mengamuk hebat di tengah proses pemeriksaan yang dilakukan Dokter Hermawan. Bahkan keningnya kini tampak terbalut perban putih yang mulai memerah di bagian tengahnya.
Masih jelas terekam di ingatan Rissa, bagaimana Yuli menjerit histeris dan meronta-ronta mencoba lepas dari ikatan setelah menghitung nama-nama asing entah untuk yang ke berapakalinya. Tubuhnya memberontak sambil memaki semua orang yang ada di dalam kamar. Bahkan Amsal dan anak-anak yang lain sampai melupakan oleh-oleh dari Dokter Hermawan dan ikut berlari mendekat ke arah keributan.
"Rissa, bocah-bocah kon bubar!" (Rissa, anak-anak suruh bubar!)
Suara lantang Ibu Sari yang menyadari bahwa anak-anak berbaris rapi di depan pintu sambil menyaksikan dirinya dan Dokter Herlambang yang tampak kepayahan menenangkan Yuli, masih terngiang di telinga Rissa hingga sekarang.
Rissa ingin menuruti perintah itu. Tapi di tengah jalan, dia terjebak kepanikan. Di satu sisi dia memang harus menjauhkan anak-anak dari pemandangan yang seharusnya tak mereka saksikan, tapi di sisi lain Yuli semakin menggila dan sepertinya Ibu Sari dan Dokter Herlambang memerlukan bantuannya.
"Arrghh!! Arrghh!! Tak jangkepi lakonku!! Bakal tak jangkepi lakonku!!" (Arrghh!! Arrghh!! Ku genapi peranku!! Akan kugenapi peranku!!)
Dan pada akhirnya, Rissa gagal menunaikan perintah itu. Alih-alih berhasil mengusir anak-anak pergi menjauh, dia malah bengong seperti orang bodoh ketika Amsal dan Nuel dengan sigap menghambur masuk ke dalam dan ikut membantu menahan tubuh Yuli ketika perempuan gila itu mulai membentur-benturkan kepalanya sendiri ke tembok kamar.
"Suuuuu!! Mambu wedhus!!!" (Njiiiing!! Bau kambing!!!)
Semuanya bahkan menjadi makin berantakan ketika Amsal keceplosan berkata kotor -salah satu hal yang paling dibenci Ibu Sari- sambil menjauhkan muka walaupun kedua tangannya tetap menahan tubuh Yuli. Tapi seakan tak ingin menyerah begitu saja, semakin keras orang-orang itu berusaha menahannya, semakin brutal juga Yuli meronta dan membenturkan kepala ke tembok.
Dug! Dug! Dug!!
Bercak-bercak berwarna merah pekat mulai tampak di tembok putih yang baru di cat ulang oleh Mas Joyo seminggu lalu. Semuanya seperti tak akan bisa terhentikan, semuanya seperti tak akan bisa dikendalikan. Bahkan lantunan doa-doa pengobat amarah dan pengampunan yang diucapkan Ibu Sari tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Sampai...
"Mandeg! Tak ewangi njangkepi lakonmu, tapi mandeg saiki!!" (Berhenti! Akan kubantu menggenapi peranmu, tapi berhenti sekarang!!)
Rissa tak tahu bagaimana bisa kalimat itu meluncur deras dan lantang dari mulutnya. Dia tak tahu bagaimana kata-kata itu tersusun di kepala di tengah kekalutan yang menderanya. Entahlah, mungkin karena dia memiliki perasaan bahwa jiwa Yuli begitu dipenuhi dendam kesumat dan tanpa Rissa sadari, hanya dialah yang memahami perempuan itu.
Tapi apapun alasan di baliknya, seperti mukjizat yang maha ajaib, di saat itu juga Yuli berhenti meronta dan membenturkan kepala. Dia menolehkan kepala ke arah Rissa, memandanginya tajam dan melemparkan senyum mengerikan yang ingin Rissa lupakan seumur hidupnya.
"Ojo goroh kowe!" (Jangan bohong kamu!)
Rissa mendengar Yuli mendesis. Dan di saat itu pula Rissa sadar bahwa baru saja mereka berdua terikat dalam sebuah janji.
"Iyo, tapi saiki kowe leren." (Iya, tapi sekarang kamu istirahat.)
Seperti kepatuhan anjing kepada majikannya, Yuli terkekeh bahagia dan kembali tenang. Bahkan meminta dimandikan sebelum tertidur lelap seperti sekarang ini.
"Tapi bagaimanapun, aku menyarankan agar dia dibawa ke Rumah Sakit Jiwa saja. Biar bisa dirawat oleh profesional, Bu." Begitulah saran Dokter Hermawan kepada Ibu Sari, sebelum dia pamit pulang dengan sedikit tergesa tadi menjelang maghrib. Seperti Dokter Hermawan tidak mau berlama-lama di Panti ini.
Rissa mendukung saran itu sepenuhnya. Namun sayang, Ibu Sari menolak. Dan alasannya terdengar sangat naif dan membuat Rissa jengkel setengah mati. Katanya, dia dan Rissa masih bisa merawat Yuli. Lagipula, masih ada Mas Joyo yang bisa mengajak kawan-kawannya yang lain untuk berjaga di Panti ketika malam tiba.
Dan setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri, Rissa memutuskan untuk melakukan perlawanan. Dengan satu helaan nafas, dia berdiri dari duduknya dan keluar dari kamar Yuli. Melangkah mantab menuju ruang makan, dimana di sana Ibu Sari tampak termenung sendirian sambil memandang lekat foto mendiang suaminya.
"Bu, kulo badhe matur..." (Bu, saya mau bicara...)
Rissa merasa memang sekaranglah dia harus mengatakannya. Selain karena keberadaan Yuli terbukti membahayakan, Rissa juga mulai merasa kalau dia telah melakukan kesalahan fatal dengan ucapannya tadi sore. Dia tahu apa yang dia ucapkan, dan dia tahu Yuli mengerti apa maksudnya. Tidak terbantahkan! Perempuan itu harus segera pergi dari Panti Sosial Kasih Bunda.
Ibu Sari menoleh dengan mata sembab, dan meletakkan bingkai foto itu ke atas meja sebelum memberi Rissa jawaban bahkan sebelum ia mengajukan pertanyaan. "Aku ndak bisa Riss kalau kamu minta aku menuruti saran Dokter Hermawan. Aku sudah janji sama Melia dan teman-temannya."
Quote:
"Ibu sendiri yang bilang sendiri kalau Ibu ndak terlalu kenal sama Melia, apalagi teman-temannya itu! Terus kenapa permintaan mereka jadi begitu penting sekarang?!"
Ibu Sari tak menjawab. Bukan karena dia tak punya jawaban, tapi rasa perih yang menghangat di dadanya itu membuat lidahnya kelu seketika. Tak pernah, tak pernah sekalipun, perempuan muda yang dipungutnya dari selokan kotor di tengah pasar sapi 17 tahun yang lalu itu berbicara sekeras dan selantang ini kepadanya.
Hati Ibu Sari terluka. Dia memalingkan wajah dari Rissa dan menatap kosong ke arah jendela yang berembun oleh kabut yang kian menebal.
"Bu, jenengan jangan diam saja! Ibu sudah pirso (lihat) sendiri bagaimana Yuli mengamuk tadi sore. Anak-anak ketakutan, dan Dokter Hermawan sudah memberikan saran. Ibu mau mengabaikan saran dari dokter jiwa profesional??" Sepertinya, Rissa belum menyerah. Dia tak menurunkan nada suaranya, dan bahkan berjalan mendekat. Duduk bersimpuh di kaki Ibu Sari.
"Ibu ingat tiga tahun lalu, waktu aku mencegah Ibu buat berangkat ke Semarang? Ndak lama, ada kecelakaan tepat di seberang Panti kita. Semua itu datang dari firasat, Bu! Firasat yang aku rasain! Ibu mungkin ndak percaya, tapi alam seperti memberi aku tanda-tanda. Dan sekarang, tanda-tanda itu datang lagi. Firasatku bilang kalau Yuli harus segera pergi dari sini!"
Aku tak bisa, Rissa! Batin Ibu Sari menjerit. Dia benar-benar tak bisa membiarkan Yuli pergi dari dirinya. Ada hal lain yang jauh lebih personal tentang semua ini. Sesuatu yang tak akan dan mungkin tak pernah bisa ia ungkapkan kepada siapapun.