Dayak Orung Da’an adalah subsuku Dayak yang mendiami daerah di hulu Sungai Mandai. Kadang mereka disebut juga sebagai Dayak Ulu Ai’ (Hulu air). Dayak Orung Da’an jarang dikenal oleh orang luar. Mereka hanya disebut oleh Anton Willem Nieuwenhuis, seorang antropolog berkebangsaan Belanda,di buku yang menceritakan ekspedisinya tahun 1894 ke pedalaman Kalimantan, yaitu In Centraal Borneo.
Dayak Orung Da’an masih memegang tradisi yang mereka sebut Adat. Sebagai Ketua Suku atau Kepala Adat, mereka memilih satu orang yang disebut sebagai Temenggung. Dibawah Temenggung terdapat Ketua Adat Desa. Tiap desa mempunyai 1 Kepala Adat. Ketemenggungan Orung Da’an mempunyai 4 desa yaitu Rantau Bumbun, Nanga Raun, Tapang Da’an, dan Nanga Lebangan. Selain struktur adat terdapat pula struktur pemerintahan yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun, Ketua Rukun Warga, Ketua Rukun Tetangga, dan Badan Permusyawaratan Desa. Struktur adat untuk mengelola tatacara dan perselisihan adat, sedangkan struktur pemerintahan untuk mengelola pemerintahan desa.
Akses menuju pemukiman Dayak Orung Da’an memang cukup jauh dari ibukota kecamatan, yaitu Kalis. Dibutuhkan sekitar 5 jam berperahu motor atau 3 jam melewati jalan tanah untuk mencapai pemukiman mereka. Kalis sendiri merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu, sekitar 16 jam perjalanan darat dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Tim Ekspedisi Hello Borneo Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) Yogyakarta melakukan penelitian antropologi untuk mengetahui lebih jauh tentang Dayak Orung Da’an agar pengetahuan mengenai bangsa Indonesia tak hanya bisa didapat dari peneliti luar.
Pada saat panen padi atau Nugal, biasanya ada kegiatan gotong-royong yang dilakukan oleh penduduk desa. Kegiatan ini dilakukan biasanya untuk pemilik ladang yang mempunyai keperluan tertentu hingga tak dapat memanen ladangnya sendiri. Ketika tim Hello Borneo Mapagama baru tiba di Dusun Tilung, Desa Nanga Raun, tim langsung diajak untuk gotong-royong di ladang Pak Alon, guru SD yang hendak pergi ke Pontianak untuk urusan tertentu. Setelah nugal selesai, dilanjutkan dengan makan bersama di ladang. Khusus untuk tim Hello Borneo yang mayoritas muslim, penduduk yang mayoritas Katholik menyediakan ayam agar tim juga dapat makan bersama penduduk, sebab pada acara adat seperti ini penduduk memang biasanya menyembelih babi.
Pada masyarakat Dayak Orung Da’an terdapat prosesi adat Kumek Dahak atau secara harfiah berarti minum darah, yaitu upacara pengangkatan saudara atau orangtua dengan prosesi adat yang kompleks. Jangan dibayangkan bahwa yang diminum memang segelas darah, melainkan hanya beberapa tetes yang dicampurkan pada minuman. Untuk yang lebih sederhana, gelang juga dapat menjadi simbol pengangkatan saudara. Tim Hello Borneo Mapagama mendapatkan gelang dari keluarga Pak Alon sebagai simbol bahwa mereka sudah menganggap tim Hello Borneo sebagai saudara mereka.
Upacara adat pernikahan yang dilakukan secara sederhana. Pengantin didudukkan diatas gong yang ditutupi kain. Ayam akan dipotong kemudian dikibaskan diatas kepala mereka untuk keselamatan. Darah ayam diteteskan di gelang yang kemudian akan dipakaikan ke pengantin. Darah ayam yang dingin melambangkan keselamatan. Pengantin akan memegang kayu bakar diatas tungku kemudian kusen pintu untuk kesejahteraan. Kemudian mereka akan meminum beram, minuman fermentasi dari beras ketan, dan harus dilakukan dalam sekali minum tanpa putus.
Pada saat ada anggota masyarakat yang meninggal maka akan diadakan upacara yang bisa berlangsung dari 3 hari hingga 1 bulan. Bagi yang meninggal akan diikutsertakan barang-barang kesayangan maupun barang-barang yang mereka pakai sehari-hari seperti piring, gelas, dayung, dll sebagai bekal di alam berikutnya yang mereka tuju. Masyarakat yang lain juga akan datang untuk menyumbang keluarga yang ditinggalkan. Sumbangan akan digunakan lagi untuk acara adat yang akan dilakukan.
Salah satu dapur masyarakat Orung Da’an. Mayoritas masyarakat masih menggunakan tungku dan kayu bakar untuk kegiatan memasak. Pada foto terlihat Pulut, masakan masyarakat Orung Da’an yang biasa disajikan pada upacara adat. Pulut terbuat dari beras ketan yang dimasukkan ke dalam bambu muda kemudian dimasak/dipanggang.
Sumbangan berupa beras akan digunakan untuk hidangan bagi penduduk desa. Ketan akan ditumbuk menjadi tepung sebagai bahan pembuatan kue Lamak, yaitu kue khas Dayak Orung Da’an yang terbuat dari beras ketan, gula, dan air.
Kue lamak yang terbuat dari beras ketan, air, dan gula sedang digoreng untuk hidangan pada saat acara adat. Kue Lamak memang hanya dibuat untuk acara adat, dan tidak dibuat untuk konsumsi sehari-hari. Bentuk kue Lamak ada dua, yaitu berbentuk perahu dan paruh burung enggang. Kue Lamak yang berbentuk paruh burung biasanya dihidangkan khusus untuk tamu dan hanya dibuat sejumlah tamu yang datang.
Perahu merupakan transportasi utama pada masyarakat Dayak Orung Da’an. Mereka menggunakannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari seperti pergi ke ladang, ke sekolah, atau mencari ikan. Untuk jarak jauh mereka menggunakan perahu bermotor, tetapi tak semua orang mempunyai mesin perahu. Kendaraan seperti sepeda motor hanya dipunyai oleh sebagian kecil masyarakat, itupun baru muncul ketika jalan darat dibuka sekitar 12 tahun lalu.
Sebagai simbol telah dilakukan acara Buang Pantang, maka didirikan sebuah tiang yang terbuat dari kayu belian atau kayu ulin yang dinamakan Toras. Toras tidak dapat dipindahkan dari tempat pertama ia didirikan. Toras berukir biasanya dipasang jika keluarga yang meninggal melakukan acara pemotongan sapi. Sapi yang dipotong ini akan dimasak bersama-sama dan menajdi makanan bagi masyarakat selama acara kematian berlangsung.
Prosesi terakhir dari upacara kematian bagi Dayak Orung Da’an adalah acara Buang Pantang. Masyarakat akan melakukan Neriak atau melakukan tarian bersama-sama mengelilingi hewan kurban. Ketika jenazah sudah dikuburkan maka akan berlaku pantangan bagi keluarga dan masyarakat, misalnya tidak boleh memakai pakaian adat, tidak boleh membunyikan gong, tidak boleh bepergian jauh, dll. Buang Pantang berarti melakukan upacara yang mengakhiri pantangan tersebut. Acara Buang Pantang biasanya sangat meriah, sebab seluruh masyakat hadir dan menari bersama. Mereka juga membawa minuman khas Dayak, yaitu beram, dan yang diberi minum wajib meminumnya.
Untuk menghormati tamu yang baru datang, Dayak Orung Da’an biasa menghidangkan Rangkup atau hidangan untuk menjamu tamu yang terdiri dari pinang, kapur, daun sirih, dan rokok atau tembakau. Hidangan ini sama seperti kebiasaan nyirih pada masyarakat Melayu. Pinang dan kapur dibungkus dengan daun sirih kemudian dikunyah. Hidangan yang telah jadi ini bernama Sipak.
Mayoritas Dayak Orung Da’an adalah peladang. Mereka melakukan penanaman padi sekali dalam setahun. Penanaman ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan terdiri dari beberapa tahapan adat. Pertama mereka akan mengamati bulan dan melakukan musyawarah untuk memulai prosesi penanaman yang disebut sebagai Behaum. Mereka akan mencari lokasi, membersihkan lokasi, dan kemudian mulai Menugal, atau menanam benih. Upacara adat berikutnya adalah Berlyapi Alop, atau memakan padi baru. Setelah itu prosesi adat akan dilakukan lagi ketika masa panen. Keseluruhan prosesi ini mengikuti masa tanam hingga panen padi yangbiasanya dimulai bulan Mei dan berakhir bulan Februari hingga Maret.
Selain Rangkup, hidangan wajib untuk menjamu tamu adalah kopi. Tuan rumah akan merasa senang jika kita menghabiskan kopi, sebab itu menandakan bahwa kita mau menerima hidangan sederhana dari mereka.