- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gestur Aneh Siswa SMAN 72 Sebelum Ledakan
TS
mpat
Gestur Aneh Siswa SMAN 72 Sebelum Ledakan

CCTV memperlihatkan gestur mencurigakan siswa SMAN 72 sebelum ledakan. Polisi mengungkap akar masalah psikologis dan sosial di balik aksinya. (Foto: IDN Times/Irfan Fathurohman)
Tragedi ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11/2025), meninggalkan pertanyaan besar mengenai kondisi mental dan sosial remaja masa kini. Berdasarkan keterangan dari Polda Metro Jaya, siswa pelaku yang berstatus anak berhadapan dengan hukum (ABH) terekam dalam sejumlah CCTV sekolah sebelum melakukan aksinya.
Gestur-gestur yang terekam itu, ternyata menggambarkan dinamika psikologis yang cukup kompleks, mulai dari sikap tertutup, perasaan terisolasi, hingga ketertarikan terhadap kekerasan.
Detik-Detik Sebelum Ledakan
Menurut Dirreskrimsiber Polda Metro Jaya Kombes Roberto Gomgom Manorang Pasaribu, rekaman CCTV memperlihatkan siswa tersebut datang ke sekolah pukul 06.28 WIB dengan membawa dua tas, masing-masing berwarna merah dan biru. Ia mengenakan seragam lengkap dan berjalan menuju koridor ruang kepala sekolah.
Menjelang waktu salat Jumat, sekitar pukul 11.43 WIB, siswa itu terlihat kembali melintas menuju masjid dengan tas merah di punggungnya. Ia berjalan tanpa alas kaki dan sudah tidak memakai celana luar seragam. Dalam keterangan Roberto, pelaku tampak memantau situasi di sekitar masjid sebelum akhirnya masuk membawa tas tersebut.
Sekitar pukul 12.05 WIB, kamera merekam perubahan signifikan. Siswa itu melepas seragam sekolahnya, mengenakan kaus putih dan celana hitam, serta terlihat menenteng senjata mainan. "Anak tersebut tampak mengarahkan senjata mainan ke arah masjid sebelum muncul cahaya merah dan asap putih dari dalam masjid," kata Roberto dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya.
Sosok Tertutup dan Terisolasi
Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menjelaskan, pelaku dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan jarang bergaul. Ia lebih banyak menghabiskan waktu sendirian dan memiliki ketertarikan terhadap konten bernuansa kekerasan.
"Berdasarkan keterangan yang kami himpun, ABH yang terlibat dikenal sebagai pribadi tertutup, jarang bergaul, dan tertarik pada konten ekstrem," ujar Asep.
Sementara itu, Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menambahkan bahwa aksi pelaku didorong oleh perasaan kesepian mendalam. Ia merasa tidak memiliki tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di rumah maupun di sekolah. "Dorongannya berasal dari rasa sendiri, merasa tidak punya tempat untuk bercerita di lingkungan keluarga maupun sekolah," jelasnya.
Dendam dan Pengaruh Dunia Maya
Penelusuran lebih jauh dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri. Menurut AKBP Mayndra Eka Wardhana, pelaku mulai menunjukkan tanda-tanda keresahan sejak awal tahun 2025. Ia menyimpan dendam terhadap perlakuan orang-orang di sekitarnya dan mulai mencari konten kekerasan di dunia maya.
"Yang bersangkutan merasa tertindas dan kesepian, lalu mencari tahu tentang kematian dan kekerasan. Ia bahkan bergabung dengan komunitas yang mengagumi tindakan kekerasan di media sosial," ungkap Mayndra.
Dalam grup tersebut, pelaku menemukan validasi semu. Setiap pelaku kekerasan yang diunggah ke komunitas itu dianggap sebagai sosok heroik. Kondisi ini memperkuat rasa ingin diakui dan membentuk pola pikir ekstrem pada remaja tersebut.
Menariknya, pada senjata mainan yang dibawanya, pelaku menulis enam nama pelaku penembakan terkenal di luar negeri. Di antaranya Alexandre Bissonnette (penembakan Quebec City, 2017), Luca Traini (Macerata, 2018), dan Brenton Harrison Tarrant (penembakan masjid Selandia Baru, 2019). Tindakan ini menunjukkan adanya identifikasi simbolik terhadap pelaku kekerasan ekstrem, sesuatu yang sering ditemukan pada kasus radikalisasi remaja di dunia digital.
Krisis Identitas dan Minimnya Ruang Ekspresi
Kasus SMAN 72 memperlihatkan bahwa fenomena kesepian di kalangan remaja bukan sekadar masalah pribadi, tetapi cerminan dari krisis sosial yang lebih luas. Minimnya komunikasi di lingkungan keluarga, tekanan sosial di sekolah, serta paparan konten ekstrem di media sosial dapat menciptakan kombinasi berbahaya.
Banyak remaja merasa kehilangan ruang untuk mengekspresikan diri secara sehat. Ketika hal itu terjadi, dunia maya sering menjadi pelarian, tetapi justru memperkuat siklus isolasi dan distorsi realitas. Dalam kasus ini, rasa dendam yang tidak tersalurkan dan pencarian makna diri melalui kekerasan menjadi titik ledak tragedi.
Para ahli psikologi sosial menilai bahwa kasus seperti ini perlu ditangani melalui pendekatan lintas sektor: pendidikan, keluarga, dan penegakan hukum. Sekolah harus lebih peka terhadap tanda-tanda perubahan perilaku siswa, sementara orang tua perlu membangun komunikasi yang hangat dan terbuka di rumah.
Fenomena ini juga menyoroti pentingnya literasi digital, agar generasi muda mampu membedakan antara konten yang menginspirasi dan yang menyesatkan.
Referensi: TrenMedia.co.id
0
195
10
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan