Kaskus

Story

thumb142Avatar border
TS
thumb142
Gadis Dari Dimensi Gelap
Gadis Dari Dimensi Gelap

Halo, Kaskuser! 👋

Quote:


Buat aku pribadi, nulis ulang cerita lama itu rasanya kayak buka album foto lama—
ada rasa hangat, sedikit nostalgia, tapi juga senyum kecil karena sadar betapa banyak hal yang udah berubah.
Ada emosi yang dulu belum sempat tersampaikan, sekarang akhirnya bisa kutuang lebih jujur.

Quote:


Jadi, ini bukan sekadar versi “baru”, tapi juga bentuk penghargaan buat versi lama yang pernah ada.
Semoga kalian bisa ikut hanyut lagi ke dalam kisahnya, entah dengan rasa yang sama seperti dulu,
atau mungkin dengan makna baru yang lebih dalam. 🌙


Selamat membaca, dan terima kasih udah mau nyempetin waktu buat mampir.
Semoga cerita ini bisa nemenin sore atau malam kalian dengan cara yang sederhana tapi berkesan. ☕💫


#SamNayaStories — karena setiap kenangan pantas diceritakan lagi 🌌


Prolog — Gadis dari Dimensi Gelap

#SamNayaStories

“Kadang, yang paling menakutkan bukanlah kegelapan di luar sana...
tapi bayangan yang diam-diam hidup di dalam diri kita sendiri.” 🌙


1. Visi Laut

Laut dalam mimpinya selalu tampak lebih hitam daripada malam.
Buihnya bukan putih, tapi kelabu — seperti abu dari sesuatu yang terbakar habis.

Tama berdiri di bibir pantai tanpa tahu bagaimana ia sampai di sana. Langit tanpa bulan, hanya satu bintang yang menggantung di tengah kabut. Angin berhembus dari segala arah, membawa suara lirih yang tak bisa ia mengerti.

“Tama…”

Suara itu seperti bisikan yang menetes dari langit. Lembut, tapi menusuk.
Ia menoleh — dan di tengah ombak yang terbelah, seseorang muncul.

Tubuh seorang gadis, terapung perlahan seperti diseret arus yang tak terlihat. Rambutnya pendek, tergerai ke segala arah, wajahnya nyaris tenang... tapi matanya kosong.
Cahaya merah samar berdenyut dari dadanya, seperti jantung yang menolak mati.

Tama ingin berlari, tapi kakinya tertanam di pasir.
Air laut menjalari mata kakinya, dingin seperti logam, lalu menelan suaranya sendiri.

Gadis itu melayang makin dekat. Bibirnya bergerak tanpa suara — namun Tama tahu, ia sedang memanggil namanya.

“Temukan aku…”

Lalu ombak besar datang, menelan semuanya.
Gelap. Sunyi.
Dan Tama terbangun dengan keringat dingin di pelipisnya.

2. Senja di Pantai

Sore itu, langit memerah seperti luka yang dibuka paksa.
Tama berjalan sendirian di sepanjang pantai setelah jam sekolah usai.
Teman-temannya sudah bubar, tapi ia belum ingin pulang. Entah kenapa, laut hari itu terasa berbeda — lebih sunyi, lebih berat, seolah menyimpan sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

Ia menendang pasir dengan malas.
Sepatunya basah oleh ombak kecil yang berlari ke tepi, lalu surut kembali.

“Anjir, sepi banget,”gumamnya.

Namun di sela debur ombak, ia mendengar sesuatu yang lain.
Samar.
Seperti seseorang sedang menyebut namanya dari kejauhan.

“Tama…”

Ia menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.
Cuma pasir, batu karang, dan laut yang memantulkan cahaya senja.

“Gue halu, kali,” katanya pelan. Tapi langkahnya berhenti saat melihat sesuatu di antara ombak — sesuatu berkilat hitam.

Ia berjalan mendekat. Ombak menyapu kakinya, dingin dan berat.
Benda itu terbawa arus, menyentuh sepatunya.

Sebuah kotak kecil — hitam, berat, dan berdebu seperti habis dikubur lama.
Di permukaannya, ada ukiran spiral yang berpusat pada satu titik menyerupai mata.

“Barang siapa yang ninggalin ini, punya selera aneh,” ujarnya, setengah bercanda.
Namun begitu ia menggenggam, hawa dingin menjalar dari ujung jari ke lengan.
Kotak itu bergetar pelan — seolah bernapas.

Tama menatapnya lama. Antara ingin melempar atau membawa pulang.
Tapi rasa penasaran menang.
Ia masukkan ke saku jaket, lalu berjalan cepat menuju motor.

Langit berubah jadi ungu tua.
Di belakangnya, jejak kakinya di pasir perlahan hilang — seperti dihapus oleh sesuatu yang tak terlihat.

3. Kotak Hitam

Malam datang seperti kabut — pelan tapi menyesakkan.
Jam menunjukkan pukul 11:47. Tama rebahan di kasur, lampu diredupkan.
Di luar, lolongan anjing bersahutan. Di meja, kotak hitam itu diam di samping foto ibunya.

Wajah ibunya tersenyum lembut dari bingkai.
Namun setiap kali menatapnya, dada Tama terasa berat.
Sudah dua tahun berlalu sejak kecelakaan itu, tapi rumah ini masih terlalu sepi.

Ia menarik napas panjang, mencoba tidur.
Tapi pikirannya tetap berputar.
Ada sesuatu dari kotak itu yang terasa… memanggil.

“Buka…”

Ia terlonjak.
“Siapa?”
Sunyi. Tapi suara itu datang lagi — kali ini lebih dalam, seolah muncul dari balik kulitnya.

“Darah membuka pintu yang tertutup…”

Tama bangkit, menatap meja.
Kotak itu diam, tapi bayangan di belakangnya… bergerak sendiri.

“Udah cukup, ini pasti efek ngantuk,” katanya gugup.

Tiba-tiba — PRAK!
Bingkai foto jatuh, pecah. Pecahan kaca menggores jarinya.

Setetes darah jatuh ke kotak hitam itu.

*Klik.*
Kotak itu perlahan terbuka, mengeluarkan cahaya merah samar.
Di dalamnya — sebuah cincin perak dengan batu merah yang berdenyut pelan.

“Cincin?”

Begitu jarinya menyentuh logam dingin itu, udara di kamar berubah.
Lampu berkedip. Angin bertiup dari arah yang tak ada jendelanya.
Dan dari cermin kecil di atas meja, ia melihat bayangan lain berdiri di belakangnya.


4. Darah dan Cermin

Bayangan itu bukan miliknya.
Rambutnya pendek, bahunya kecil, dan matanya kosong.
Ia berbalik — seorang gadis berdiri di sana.

Kulitnya pucat, bibirnya tipis, dan di dadanya berdenyut cahaya merah yang sama.

“Akhirnya… aku nemuin kamu, Tama.”

Suara itu — sama seperti di mimpinya.

Tama mundur satu langkah.
“Lo siapa? Gimana bisa masuk ke sini?!”

“Aku gak masuk… aku muncul.”

Tama tertegun. “Muncul dari mana?”

“Dari dalam kamu.”

Udara kamar jadi lebih dingin.
Desi — begitu ia memperkenalkan diri — menatap cincin di tangan Tama.

“Lo yang manggil gue waktu darah lo jatuh. Sekarang pintunya kebuka.”

Tama meneguk ludah. “Pintu apaan?!”

“Antara dunia lo… dan dunia gue.”

Kata-kata itu menggema lama di udara.
Lampu berkedip. Nafas Tama tercekat.

“Lo ngaco! Pergi dari sini!”

Desi justru melangkah maju. Tubuhnya tembus cahaya, bergetar merah samar.

“Kadang… orang gak sadar apa yang dia panggil waktu kesepian.”

Kepala Tama berdengung.
Ia ingin menutup telinga, tapi suara Desi kini di dalam pikirannya.

“Lo yang buka kotak itu. Lo yang kasih darah. Sekarang lo bagian dari perjanjian ini.”

“Perjanjian apaan?!”

“Perjanjian buat gak sendirian lagi.”

Tiba-tiba lampu padam.
Gelap total — hanya sinar merah dari cincin yang tersisa.
Saat ia menatap cermin lagi, Desi sudah menghilang.
Tapi bayangan di kaca tetap menatapnya balik.


5. Gadis dari Dimensi Gelap

Udara kamar berat seperti air laut.
Tama terduduk di lantai, napasnya memburu.

Petir menyambar di luar, menerangi sekejap —
dan di sela kilatan itu, Desi berdiri di luar jendela, menatapnya.

“Lo gak bakal sendiri lagi, Tama.”

Suaranya lembut tapi menggema, seperti datang dari dua dunia sekaligus.
Lalu ia lenyap bersama kilat.

Tama menatap jarinya.
Cincin itu kini melingkar sempurna. Ia mencoba melepas, tapi tak bisa.
Semakin ditarik, semakin terasa hangat — seperti nadi yang berdenyut.

Hujan turun pelan. Laut di kejauhan bergejolak.
Dan di dalam kamar, Tama tahu… sesuatu kini menatap balik,
melalui cincin yang berdenyut di jarinya.

Malam itu, hidupnya berhenti jadi miliknya sendiri.
Dan di antara dua dunia, Desi tersenyum —
seperti seseorang yang akhirnya pulang.

“Beberapa pintu tidak seharusnya dibuka — tapi rasa sepi selalu tahu cara memutar kuncinya sendiri.” 🌑
0
12
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan