Kaskus

News

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Kisah Anak Muda Sapta Darma: Mempertahankan Agama Minoritas di Tengah Mayoritas
Kisah Anak Muda Sapta Darma: Mempertahankan Agama Minoritas di Tengah Mayoritas

 Sirojul Khafid

 20 Juli 2025 - 09:37 WIB

Kisah Anak Muda Sapta Darma: Mempertahankan Agama Minoritas di Tengah Mayoritas

Para anak muda Sapta Darma di Jogja. Ist - Sapta Darma

Harianjogja.com, JOGJA—Puluhan tahun tidak diakui negara, penghayat kepercayaan sering dianggap 'kafir' lantaran bukan agama mayoritas. Ini kisah anak muda penghayat kepercayaan menjalani agama minoritas di tengah mayoritas.

Bagaimana awal mula kamu mengenal agama? Kalau agamamu berasal dari warisan orang tua, maka sama dengan Erlyana Candrika Dewi, Bagus Tri Kuncoro, dan Anung Purdian Nugrahajati. Berawal dari mengenal agama orang tua, mereka kini juga merupakan penghayat kepercayaan Sapta Darma.

Sejak Erly kecil, orang tua sudah mengajarinya untuk sujud, ibadah dalam Sapta Darma. Sujud Sapta Darma berbeda dengan Islam. "[Awalnya kayak mikir] ngapain sih ngelakuin ini? Belum mengerti apa tujuan sujud," kata Erly, Senin, (12/5/2025).

Namun perlahan, Erly semakin belajar Sapta Darma. Agama ini sudah ada sejak tahun 1952. Awal mulanya, Panuntun Agung Sri Gutama atau Hardjosapuro, yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, mendapatkan wahyu. Sapta artinya tujuh dan Darma adalah kewajiban suci. Penganut Sapta Darma menjalankan tujuh kewajiban untuk mendapatkan kesempurnaan diri dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Hal yang sama, mengenal Sapta Darma dari orang tua, juga berlaku untuk Bagus. Dari kecil dia beribadah secara Islam. Barulah pada usia kelas 5 SD, dia melihat orang tuanya sujud secara Sapta Darma. Bagus penasaran, kenapa sujud orang tuanya berbeda dengan Islam.

Kemudian Bagus mengikuti ibadah orang tuanya. "Rasakan lebih ayem.... Rasanya lebih plong, lebih tenang," kata laki-laki berusia 18 tahun asal Sleman ini.

Anung juga sama, mengenal Sapta Darma sejak kecil dari orang tuanya. "Namanya orang berohani, beragama, pasti kan diajarkan dari kecil. Kebetulan orang tua juga penghayat semua, ya mau gak mau," katanya. "Akhirnya secara terus menerus, sampai sekarang masih Sapta Darma juga."

Tak Selalu Baik

Indonesia terdiri dari ribuan suku bangsa. Masing-masing berpotensi melahirkan penghayat kepercayaan. Namun pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan itu yang kemudian hari membuat Indonesia "punya agama resmi", yang berasal dari agama mayoritas seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dampaknya, penghayat kepercayan, salah satunya Sapta Darma, dianggap sesat oleh sebagian orang.

Bagus pernah mendapat caci maki hingga anggapan ateis dari tetangganya. Pernah juga dia dikucilkan oleh para pemuda di kampungnya, lantaran kepercayaan yang berbeda. "Kamu ngapain ikut bapakmu sujud (Sapta Darma)? Itu enggak diakui negara," kata Bagus, menirukan ucapan tetangganya.

Tinggal di perkampungan yang mayoritas Islam, juga membuat Erly merasa tetangga banyak membicarakan keluarganya yang Sapta Darma. Saat masuk SD, Erly juga terpaksa masuk Islam. Dia dipaksa oleh guru untuk praktik salat, meski dia penghayat kepercayaan. Kala itu, negara masih belum mengakui penghayat kepercayaan.

Paksaan itu membuat Erly tidak nyaman. Apalagi celotehan teman yang menyatakan apabila Sapta Darma penyembah Matahari dan sebagainya, itu membuatnya, "Ngerasa sedih banget sih," kata Erly, perempuan asal Pati yang sedang kuliah di Universitas Sanata Dharma Jogja.

Perbedaan perlakuan juga Anung rasakan saat sekolah. Temannya yang beragama Kristen dan Katolik memiliki guru agama dan soal ujian khusus. Namun dia yang penghayat tidak mendapatkan fasilitas yang sama. Anung merasa ada perbedaan perlakuan, meski sama-sama warga negara Indonesia.

Namun berbeda dengan Erly dan Bagus, kehidupan bertetangga dan sekolah Anung cenderung lebih lancar. Dia tidak mengalami perundungan, lantaran agamanya yang berbeda. Anung merasa keterbukaan dan hubungan sosial yang baik menjadi kunci agar masyarakat sekitar menerima agama yang berbeda.

Anung merasa bahwa minoritas juga perlu terbuka dan berbagi informasi tentang kepercayaannya. Apabila terlalu tertutup, orang bisa menganggap penghayat sebagai aliran sesat, sesuatu yang pernah juga Anung dengar dari orang lain.
"Tapi ketika kita udah terbuka, kita menceritakan, oh Sapda Darma itu seperti ini, akhirnya orang tahu ternyata Sapta Darma itu bukan aliran sesat," kata laki-laki berusia 24 tahun ini.

Memilih Mempertahankan

Saat SD, Anung memilih untuk masuk pelajaran agama Islam. Sementara saat SMP, dia masuk pelajaran Kristen dan SMA belajar Katolik. Kala itu, negara belum mengakui penghayat kepercayaan, sehingga belum ada pelajaran dan guru penghayat.

Meski tidak bisa belajar di sekolah sesuai kepercayaannya, di sisi lain Anung merasa beruntung. Dia bisa belajar banyak agama. "Bisa memahami, oh secara sudut pandang agama lain seperti ini," katanya. "Jadinya tahu, sebenarnya semua agama itu enggak ada yang jelek, semua agama itu bagus."

Untuk Erly, saat dia SMP, negara sudah mengakui penghayat kepercayaan. Sebelumnya, beberapa penghayat menggugat undang-undang tentang agama. Pada 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan itu. Singkatnya, sejak tahun itu negara sudah mengakui penghayat dalam administrasi kependudukan hingga pendidikan.

Erly merasa pengakuan negara dan hadirnya guru penghayat berdampak pada pandangan orang. Teman dan guru di sekolah, dari yang awalnya memandang dengan curiga, kini melihat penghayat dengan rasa penasaran. Banyak yang kemudian ingin tahu tentang penghayat.

Kenangan Erly yang kurang baik sebagai penghayat seiring waktu juga menemukan maafnya. Dia mencoba untuk memaafkan orang-orang yang dulu mencibir penghayat. "Kalau sekarang udah berdamai sih, baru-baru ini," katanya.
Sejauh ini, Erly masih mempertahankan Sapta Darma sebagai agamanya, termasuk identitas di kartu tanda penduduk (KTP). Di sisi lain, dia masih ingin belajar dan mengeksplorasi agama lain. "Jadi kayak penasaran dengan agama lain, cuman nambah-nambah ilmu doang sih," kata perempuan berusia 19 tahun ini.

Sementara Bagus masih mencantumkan Islam di kolom agama KTP-nya. Dia menjadikan penghayat sebagai bagian dari budaya. Segala pengalaman buruk dirinya sebagai penghayat, justru membuat Bagus semakin kuat mempertahankan agama Sapta Darma-nya.

Untuk Anung, dia sudah mencantumkan Sapta Darma dalam kolom agama KTP. Laki-laki lulusan Universitas Sanata Dharma Jogja ini tipe orang yang ingin mengenalkan penghayat pada orang lain. Hal ini dengan diskusi atau menulis tentang penghayat. Anung merasa penghayat kepercayaan, sebagai agama lokal dari Indonesia, masih jarang terekspos.

"Kenapa penghayat enggak ditonjolkan? Apalagi misalnya orang penghayat itu [ada yang] masuk dalam instansi pemerintahan, itu kan jadi sebuah gebrakan. Belum ada kan seorang presiden dari penghayat kepercayaan?" kata Anung.

https://m.harianjogja.com/jogjapolit...ngah-mayoritas

Jadi mayoritas aja udah hasil paksaan bukan atas keinginan sendiri

Kisah Anak Muda Sapta Darma: Mempertahankan Agama Minoritas di Tengah Mayoritas
Diubah oleh kutarominami69 Kemarin 12:03
raptordeltadunnAvatar border
akun.baruAvatar border
waloniAvatar border
waloni dan 4 lainnya memberi reputasi
5
172
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan