Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Langit di Atas Tanjung Duka
Langit di Atas Tanjung Duka

Di ujung Pulau Sumatera, ada sebuah desa nelayan kecil yang terlupakan waktu. Desa itu bernama Tanjung Duka, dinamai dari kisah lama tentang kapal karam dan hilangnya nelayan yang tak pernah kembali. Namun, bagi seorang anak laki-laki bernama Ilham, desa itu adalah seluruh dunianya.

Ilham adalah anak dari pasangan nelayan sederhana. Ayahnya, Pak Amin, adalah sosok pemberani yang selalu pergi melaut sebelum fajar, dan ibunya, Bu Rina, menjual ikan hasil tangkapan ayahnya ke pasar kecil di kota kabupaten. Ilham, yang baru berusia dua belas tahun, memiliki impian yang berbeda dari teman-temannya. Ia tidak ingin menjadi nelayan. Ia ingin menjadi seorang pelukis.

Setiap sore, saat teman-temannya bermain bola di pantai atau membantu orang tua mereka menyiapkan jaring, Ilham akan duduk di bawah pohon kelapa tua, menghadap ke laut, menggambar dengan pensil tumpul di buku bekas pelajaran. Ia menggambar perahu, camar, awan, dan terutama: langit. Ia terobsesi dengan langit Tanjung Duka yang selalu berubah warna dengan cara yang tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.

Namun impian Ilham dianggap aneh. "Pelukis nggak bikin perut kenyang," kata ayahnya suatu malam. "Laut ini yang kasih makan kita. Laut ini yang harus kau pahami, bukan kertas gambar."

Ilham hanya diam. Ia tahu ayahnya tak jahat. Ia hanya takut anak semata wayangnya tersesat di dunia yang tak pasti. Tapi Ilham tetap menggambar—diam-diam, saat semua sudah tidur, atau ketika ia pura-pura mengambil air di sumur dekat tebing.

Suatu hari, badai besar melanda. Langit Tanjung Duka menghitam lebih awal dari biasanya. Semua nelayan dilarang melaut, tetapi Pak Amin tetap berangkat, mengejar tangkapan terakhir sebelum musim paceklik datang. Ilham sempat menarik lengan baju ayahnya di dermaga, memohon, “Jangan pergi, Yah.”

Pak Amin hanya menatap anaknya dan berkata, “Kalau aku tak pergi, besok kita tak makan.”

Tiga hari berlalu, perahu Pak Amin tak kembali.

Desa mulai mengadakan doa bersama. Ilham duduk di sudut rumah, tak menangis, hanya menatap langit yang kelabu. Dalam diam, ia menggambar lagi dan lagi. Laut bergelora, kapal karam, dan di tengah ombak, wajah ayahnya yang tetap tenang, seolah berkata, “Lanjutkan hidupmu, Nak.”

Sebulan setelah kepergian ayahnya, sebuah komunitas seni dari kota datang ke desa. Mereka membawa program edukasi dan galeri keliling. Salah satu pengunjung melihat gambar-gambar Ilham dan tertegun. Mereka menawarkannya beasiswa untuk sekolah seni di kota. Ibunya ragu, tapi akhirnya mengizinkan.

Di kota, Ilham belajar banyak hal. Ia belajar teknik cat minyak, perspektif, pencahayaan, dan sejarah seni. Namun langit Tanjung Duka tetap menjadi inspirasinya. Ia melukis langit seperti orang lain menulis puisi: penuh emosi dan kenangan. Karya pertamanya yang terkenal berjudul *“Langit Tak Pernah Lupa”*—lukisan besar yang menggambarkan langit jingga, seekor burung camar, dan seorang anak yang menatap ke cakrawala.

Beberapa tahun kemudian, Ilham kembali ke Tanjung Duka, bukan sebagai anak nelayan, tapi sebagai pelukis muda berbakat yang karyanya terpajang di galeri-galeri ibu kota. Ia membangun sebuah studio kecil di tepi pantai dan mengajar anak-anak desa menggambar dan melukis. Ia tidak ingin anak-anak lain merasa impiannya salah hanya karena berbeda.

Setiap pagi, Ilham masih duduk di bawah pohon kelapa tua, menatap langit. Kadang ia tersenyum sendiri, membayangkan ayahnya berdiri di atas perahu, mengangkat tangan dari kejauhan. Dan Ilham akan membalasnya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan warna-warna di atas kanvas.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
29
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan