

TS
naimatunn5260
Menolong Janda
MENOLONG JANDA, MENELANTARKAN ANAK ISTRI
"Ayah mau menikahi, Aida, Mah." ujar Mas Raka, tanpa basa-basi.
Aku bergeming, meraba dada yang tiba-tiba terasa sesak.
"Ta-pi kenapa, Yah? Apa salah dan kurang Mamah?" tanyaku dengan suara terbata-bata. Lutut terasa lemas, genangan air membanjiri pelupuk mata.
Mas Raka menggeleng pelan, memalingkan wajah menghindari tatapan memelasku.
"Mamah tidak punya salah atau kekurangan." lirih suaranya.
"Lalu?" tanyaku dengan suara bergetar. Mas Raka hanya diam, nafas panjang terdengar dari mulutnya.
"Ada apa, Yah ... kenapa Ayah tega menyakiti hati, Mamah!" jeritku tak terkendali. Hati begitu perih, membayangkan ada sosok lain yang kini merebut perhatian suamiku.
Mas Raka terdiam, membeku ditempatnya.
"Bukankah, Aida itu mantan kekasih Ayah, yang sudah menghina bahkan merendahkan keluarga Ayah?" ucapku meyakinkan ingatan.
"Itu dulu, Mah. Sekarang berbeda, Aida sudah berubah. Dia tidak lagi mempermasalahkan harta." bantah Mas Raka, tidak terima aku mengungkit kebusukan mantan kekasihnya.
Aku terperangah, tak mengerti dengan jalan pikiran suamiku.
Aku masih ingat betul, bagaimana dia terpuruk saat ditinggal kabur oleh Aida dengan laki-laki lain.
Dahulu, Aida bahkan secara terang-terangan, hanya menjadikannya pelarian dan yang lebih fatal dia berani menghina kehidupan miskin keluarga, Mas Raka.
Tapi, sekarang apa ... setelah aku membantunya bangkit, dan mengorbankan segalanya. Dia mau memungut bangkai itu kembali?
"Aida sudah menjadi janda, dia memiliki dua anak yang masih kecil. Aku tidak tega melihatnya kesusahan mencari nafkah." ucap Mas Raka datar, tanpa perasaan.
Mendengarnya aku langsung terbahak-bahak, menjambak frustasi rambut kepala sendiri yang terasa panas.
"Lalu aku apa?" sentakku sambil membalik badan Mas Raka yang sejak tadi membelakangiku.
"Kamu tidak kasihan melihatku memeras keringat untuk keluarga kecil kita?" tanyaku dengan nafas menggebu-gebu.
"Mah, sudahlah. Jangan mempersulit keadaan." Mas Raka memelas.
"Kamu yang mempersulitku, Mas. Kamu pikir aku terima dengan kemauanmu!" suaraku naik satu oktaf.
"Usaha kita sudah maju pesat, aku akan adil dan tidak akan berubah." ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak setuju. Aku tidak rela kamu menikah dengan perempuan gatal itu." sentakku tak terima.
"Jaga bicaramu, Karin!" bentak Mas Raka, membuat aku berjingkat kaget.
"Dia bukan perempuan gatal. Aku mencintainya, dan saat ini, Aida sedang mengandung anakku!"
Jederrr!!
Aku langsung memegangi dada ... mendengar pengakuan suamiku itu rasanya teramat pedih. Seperti ada ratusan pedang yang menghunus jantungku secara brutal.
"Mengertilah, aku hanya ingin membantunya. Didalam agama pun tidak ada larangan, jika aku memiliki istri lebih dari satu." ucapnya lugas, tanpa dosa.
Aku hirup oksigen dengan rakus, menormalkan detak jantung yang berdetak dengan ngilu.
"Jangan pernah membawa agama, sementara perbuatanmu sudah di awali dengan perbuatan hina!" ujarku berapi-api.
"Terserah, apapun pikiranmu itu. Yang penting aku sudah memberi tahumu. Masalah menerima atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas aku akan tetap menikah dengan, Aida." sahut Mas Raka sambil melibaskan tangan diudara, lalu melangkah begitu saja meninggalkan segala luka yang berhasil dia goreskan.
Tubuh lemas ini luruh begitu saja, aku menjerit sekuat tenaga mencoba lepas segala sesak yang kini menghimpit rongga dada.
Kembali aku menarik rambut ini, berharap sakit yang ada dihati teralih oleh rasa panas dan perih yang menjalar dikulit kepala.
***Ofd.
Berhari-hari aku menangisi permintaan g1la suamiku, hati dan jiwa begitu memberontak tidak terima dengan keputusannya.
"Ma--mih ..." ucapku serak saat melihat perempuan yang melahirkan aku berdiri tegak didepan daun pintu.
"Mamih sudah tahu semuanya," jelas Mamih datar, sambil melangkah maju memasuki kamar.
"Ta-hu apa?" tanyaku gelagapan.
"Apa lagi?" Mamih menatap lekat bola mata ini.
"Kalau bukan tentang suamimu yang tidak tahu diri itu," sambung Mamih ketus, sambil menaruh pelan tas brandednya diatas nakas.
Aku menarik nafas, bersiap dengan segala rentetan yang akan keluar dari mulut Mamih. Sejak awal, Mamih yang paling menentang hubunganku dengan Mas Raka. Baginya Mas Raka tidak sepadan jika berdampingan denganku.
"Papih mu ada dilantai bawah, sedang berbincang dengan benalu itu dan calon istri barunya." jelas Ibu dengan wajah ketus.
Aku terperangah, mengusap pipi dengan kasar menatap Mamih dengan serius.
"Maksud, Mamih?" ucapku panas, tak menduga Mas Raka berani membawa perempuan itu memasuki rumah ini.
"Yah ... felling Mamih memang selalu benar, bukan?" Mamih mengangkat bahu. "Hal ini pasti akan terjadi," dengkus Mamih.
"Gembel seperti dia. Mengenal sedikit saja kesuksesan, pasti akan bertingkah." sambungnya kesal.
Aku terdiam, tidak ingin menyangkal ucapannya.
"Ayok turun, kita selesaikan masalah ini." ucap Mamih tegas, sambil berbalik badan dan mengayunkan langkah keluar kamar.
Aku yang masih linglung langsung menurut, mengekori langkah Mamih dengan dada berdebar-debar.
Aku duduk disamping Mamih dan Papih, sementara Mas Raka berada tepat disebrangku bersama, Aida.
"Menikah lagi?" tanya Mamih, mengulang ucapan Mas Raka yang meminta izin untuk menikahi selingkuhannya.
"Iya, Mih. Niat Raka sudah bulat, tidak ada yang bisa menghalangi." jawab Mas Raka penuh percaya diri.
Mamih dan Papih saling berpandangan, jantungku langsung bergenderang merasakan akan ada pertengkaran hebat dirumah ini.
"Loh ... bagus dong. Kamu sudah mapan, boleh saja jika ingin menambah istri."
Ucapan Mamih, sukses membuat aku terperangah. Mataku sampai mengejrap berulang kali, demi melihat seulas senyum yang terukir dari bibir Mamih.
"Kapan acaranya?" Mamih begitu antusias. Mas Raka bergeming, sepertinya dia tak kalah terkejutnya dengan diriku.
"Ehh--itu, minggu depan." jawab Mas Raka salah tingkah.
"Oh ya?" Mamih tersenyum manis, lalu menatap Aida yang sejak tadi duduk mematung disamping Mas Raka, dengan wajah berseri-seri.
"Rencananya, kami akan menikah sirih. Raka harap, Mamih dan Papih memberi restu." ucap Mas Raka tak tahu malu.
Aku mendecis, menatap tajam kearahnya.
"Loh, kenapa hanya menikah sirih. Resmikan saja, kami seratus persen menyetujui pernikahan kalian." sahut Mamih begitu manis ditelinga.
Tak tahan, sungguh aku muak. Bisa-bisanya keluargaku sendiri mendukung rencana b3jat suamiku. Aku kira Mamih datang akan membelaku, memarahi Mas Raka habis-habisan seperti biasanya.
Tapi ternyata, mengapa sebaliknya?
Saat aku ingin bangkit, tangan Mamih mencengkram jemariku. Mata Mamih menyipit sambil mengangguk penuh arti.
"Percaya sama, Mamih. Setelah ini, Raka akan menagis darah di kakimu." bisik Mamih dengan senyum menyerigai.
Aku tergagap, mencerna kata-kata Mamih.
***Ofd.
Next kilat tinggalkan like dan komennya.
Penulis : ovi_fadila
Judul : Menolong Janda
Klik link di bawah ini untuk bagian berikutnya.
https://read.kbm.id/book/detail/9c50...a-887f3e096d64
"Ayah mau menikahi, Aida, Mah." ujar Mas Raka, tanpa basa-basi.
Aku bergeming, meraba dada yang tiba-tiba terasa sesak.
"Ta-pi kenapa, Yah? Apa salah dan kurang Mamah?" tanyaku dengan suara terbata-bata. Lutut terasa lemas, genangan air membanjiri pelupuk mata.
Mas Raka menggeleng pelan, memalingkan wajah menghindari tatapan memelasku.
"Mamah tidak punya salah atau kekurangan." lirih suaranya.
"Lalu?" tanyaku dengan suara bergetar. Mas Raka hanya diam, nafas panjang terdengar dari mulutnya.
"Ada apa, Yah ... kenapa Ayah tega menyakiti hati, Mamah!" jeritku tak terkendali. Hati begitu perih, membayangkan ada sosok lain yang kini merebut perhatian suamiku.
Mas Raka terdiam, membeku ditempatnya.
"Bukankah, Aida itu mantan kekasih Ayah, yang sudah menghina bahkan merendahkan keluarga Ayah?" ucapku meyakinkan ingatan.
"Itu dulu, Mah. Sekarang berbeda, Aida sudah berubah. Dia tidak lagi mempermasalahkan harta." bantah Mas Raka, tidak terima aku mengungkit kebusukan mantan kekasihnya.
Aku terperangah, tak mengerti dengan jalan pikiran suamiku.
Aku masih ingat betul, bagaimana dia terpuruk saat ditinggal kabur oleh Aida dengan laki-laki lain.
Dahulu, Aida bahkan secara terang-terangan, hanya menjadikannya pelarian dan yang lebih fatal dia berani menghina kehidupan miskin keluarga, Mas Raka.
Tapi, sekarang apa ... setelah aku membantunya bangkit, dan mengorbankan segalanya. Dia mau memungut bangkai itu kembali?
"Aida sudah menjadi janda, dia memiliki dua anak yang masih kecil. Aku tidak tega melihatnya kesusahan mencari nafkah." ucap Mas Raka datar, tanpa perasaan.
Mendengarnya aku langsung terbahak-bahak, menjambak frustasi rambut kepala sendiri yang terasa panas.
"Lalu aku apa?" sentakku sambil membalik badan Mas Raka yang sejak tadi membelakangiku.
"Kamu tidak kasihan melihatku memeras keringat untuk keluarga kecil kita?" tanyaku dengan nafas menggebu-gebu.
"Mah, sudahlah. Jangan mempersulit keadaan." Mas Raka memelas.
"Kamu yang mempersulitku, Mas. Kamu pikir aku terima dengan kemauanmu!" suaraku naik satu oktaf.
"Usaha kita sudah maju pesat, aku akan adil dan tidak akan berubah." ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak setuju. Aku tidak rela kamu menikah dengan perempuan gatal itu." sentakku tak terima.
"Jaga bicaramu, Karin!" bentak Mas Raka, membuat aku berjingkat kaget.
"Dia bukan perempuan gatal. Aku mencintainya, dan saat ini, Aida sedang mengandung anakku!"
Jederrr!!
Aku langsung memegangi dada ... mendengar pengakuan suamiku itu rasanya teramat pedih. Seperti ada ratusan pedang yang menghunus jantungku secara brutal.
"Mengertilah, aku hanya ingin membantunya. Didalam agama pun tidak ada larangan, jika aku memiliki istri lebih dari satu." ucapnya lugas, tanpa dosa.
Aku hirup oksigen dengan rakus, menormalkan detak jantung yang berdetak dengan ngilu.
"Jangan pernah membawa agama, sementara perbuatanmu sudah di awali dengan perbuatan hina!" ujarku berapi-api.
"Terserah, apapun pikiranmu itu. Yang penting aku sudah memberi tahumu. Masalah menerima atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas aku akan tetap menikah dengan, Aida." sahut Mas Raka sambil melibaskan tangan diudara, lalu melangkah begitu saja meninggalkan segala luka yang berhasil dia goreskan.
Tubuh lemas ini luruh begitu saja, aku menjerit sekuat tenaga mencoba lepas segala sesak yang kini menghimpit rongga dada.
Kembali aku menarik rambut ini, berharap sakit yang ada dihati teralih oleh rasa panas dan perih yang menjalar dikulit kepala.
***Ofd.
Berhari-hari aku menangisi permintaan g1la suamiku, hati dan jiwa begitu memberontak tidak terima dengan keputusannya.
"Ma--mih ..." ucapku serak saat melihat perempuan yang melahirkan aku berdiri tegak didepan daun pintu.
"Mamih sudah tahu semuanya," jelas Mamih datar, sambil melangkah maju memasuki kamar.
"Ta-hu apa?" tanyaku gelagapan.
"Apa lagi?" Mamih menatap lekat bola mata ini.
"Kalau bukan tentang suamimu yang tidak tahu diri itu," sambung Mamih ketus, sambil menaruh pelan tas brandednya diatas nakas.
Aku menarik nafas, bersiap dengan segala rentetan yang akan keluar dari mulut Mamih. Sejak awal, Mamih yang paling menentang hubunganku dengan Mas Raka. Baginya Mas Raka tidak sepadan jika berdampingan denganku.
"Papih mu ada dilantai bawah, sedang berbincang dengan benalu itu dan calon istri barunya." jelas Ibu dengan wajah ketus.
Aku terperangah, mengusap pipi dengan kasar menatap Mamih dengan serius.
"Maksud, Mamih?" ucapku panas, tak menduga Mas Raka berani membawa perempuan itu memasuki rumah ini.
"Yah ... felling Mamih memang selalu benar, bukan?" Mamih mengangkat bahu. "Hal ini pasti akan terjadi," dengkus Mamih.
"Gembel seperti dia. Mengenal sedikit saja kesuksesan, pasti akan bertingkah." sambungnya kesal.
Aku terdiam, tidak ingin menyangkal ucapannya.
"Ayok turun, kita selesaikan masalah ini." ucap Mamih tegas, sambil berbalik badan dan mengayunkan langkah keluar kamar.
Aku yang masih linglung langsung menurut, mengekori langkah Mamih dengan dada berdebar-debar.
Aku duduk disamping Mamih dan Papih, sementara Mas Raka berada tepat disebrangku bersama, Aida.
"Menikah lagi?" tanya Mamih, mengulang ucapan Mas Raka yang meminta izin untuk menikahi selingkuhannya.
"Iya, Mih. Niat Raka sudah bulat, tidak ada yang bisa menghalangi." jawab Mas Raka penuh percaya diri.
Mamih dan Papih saling berpandangan, jantungku langsung bergenderang merasakan akan ada pertengkaran hebat dirumah ini.
"Loh ... bagus dong. Kamu sudah mapan, boleh saja jika ingin menambah istri."
Ucapan Mamih, sukses membuat aku terperangah. Mataku sampai mengejrap berulang kali, demi melihat seulas senyum yang terukir dari bibir Mamih.
"Kapan acaranya?" Mamih begitu antusias. Mas Raka bergeming, sepertinya dia tak kalah terkejutnya dengan diriku.
"Ehh--itu, minggu depan." jawab Mas Raka salah tingkah.
"Oh ya?" Mamih tersenyum manis, lalu menatap Aida yang sejak tadi duduk mematung disamping Mas Raka, dengan wajah berseri-seri.
"Rencananya, kami akan menikah sirih. Raka harap, Mamih dan Papih memberi restu." ucap Mas Raka tak tahu malu.
Aku mendecis, menatap tajam kearahnya.
"Loh, kenapa hanya menikah sirih. Resmikan saja, kami seratus persen menyetujui pernikahan kalian." sahut Mamih begitu manis ditelinga.
Tak tahan, sungguh aku muak. Bisa-bisanya keluargaku sendiri mendukung rencana b3jat suamiku. Aku kira Mamih datang akan membelaku, memarahi Mas Raka habis-habisan seperti biasanya.
Tapi ternyata, mengapa sebaliknya?
Saat aku ingin bangkit, tangan Mamih mencengkram jemariku. Mata Mamih menyipit sambil mengangguk penuh arti.
"Percaya sama, Mamih. Setelah ini, Raka akan menagis darah di kakimu." bisik Mamih dengan senyum menyerigai.
Aku tergagap, mencerna kata-kata Mamih.
***Ofd.
Next kilat tinggalkan like dan komennya.
Penulis : ovi_fadila
Judul : Menolong Janda
Klik link di bawah ini untuk bagian berikutnya.
https://read.kbm.id/book/detail/9c50...a-887f3e096d64
0
1.2K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan