lonelylontong
TS
lonelylontong
Kala Cinta Kembali Berbunga
"Tak ... tak ... tak ...." Suara sepatu Tamara berdetak berirama mengetuk-ngetuk trotoar. Gadis itu berlari-lari ke arah sebuah kafe kecil. Tiang lampu hias bergaya ala Eropa abad pertengahan menghiasi bagian depan kafe itu. Terlihat menawarkan kehangatan dan privasi, di tengah kota yang bersiap menyambut malam. Matahari sudah lama beristirahat, sementara guruh sesekali terdengar di atas sana dan udara mulai terasa lembab.

Dalam ricuh hatinya, gadis itu berharap mendapatkan tempat untuk bersembunyi dari semua orang.

Sampai saat ini pun, Tamara masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi hari ini. Pagi tadi dia masih tertawa, bersama seorang pria yang akan menjadi suaminya. Matahari belum juga tenggelam, ketika pria yang sama memutuskan untuk menikah dengan wanita lain.

Kakinya sudah penat berlari. Matanya lekat memandangi kafe yang semakin dekat. Tamara hanya berharap bisa duduk di sudut ruangan dan dibiarkan sendiri.

Ketika akhirnya dia sampai di depan kafe kecil itu, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terhenyak.

Lampunya memang masih menyala, tetapi sebuah papan kecil bertuliskan "CLOSED", tergantung dan mengayun-ayun dengan riang di pintu kacanya.

"Oh ... great ...," desis gadis itu. Tak ada nada kemarahan, hanya lelah dan pasrah.

Badannya baru saja berputar untuk mencari tempat meneduh yang lain, ketika tetes-tetes pertama hujan di malam itu menyapa dirinya. Rintik-rintik kecil hinggap di rambutnya yang bergelombang dan tebal. Malu-malu mereka mendarat di tubuhnya. Satu dua tetes air, mengalir lincah menuruni hidungnya yang mancung.

"You got to be kidding me ...," desah Tamara. Habis sudah sedikit kemauan yang membuat dia masih berjalan. Dengan perasaan lelah dan kalah, gadis itu menyandarkan tubuhnya di tiang lampu itu. Memejamkan mata dan membiarkan tetesan air hujan perlahan membasahi bajunya. Untung hujannya hanya rintik-rintik kecil saja, tak sampai membuatnya basah kuyup.

Justru tetesan air yang menghiasi rambut dan wajahnya, tampak seperti butiran mutiara di bawah pendar lampu yang kekuningan itu.

******

Langkah kakinya terayun berat. Kerudung jaketnya dia tarik dalam-dalam, menyembunyikan matanya yang masih sedikit sembap. Bisingnya suara kota dan gemerlap lampu di malam hari, justru membuat hatinya terasa makin sepi. Melihat kemesraan pasangan yang terlihat di kejauhan, dalam dadanya terasa ngilu.

Hatinya yang sempat hangat sekejap saja, sekarang kembali dingin.

Cinta pertamanya dan satu-satunya cinta sejatinya, sebentar lagi akan menikah dengan pria lain.

Seperti area perkemahan yang baru saja ditinggalkan pengunjungnya. Hanya tersisa bekas-bekas kehidupan di antara batang-batang rumput yang patah terinjak. Kayu yang sudah hangus terbakar, dengan abu dan tanah yang kehitaman. Diselingi suara tiupan angin, menyanyikan senandung lagu sendu dan rindu yang tak pernah tersampaikan.

Tak ada percikan kemarahan atau kebencian.

Rasa hatinya sudah benar-benar padam. Langkah kakinya berdetak-detak, seperti bandul jam dinding kuno di sebuah rumah kosong. Sekedar menjadi penanda bahwa waktu masih berjalan, tanpa ada arti lebih pada eksistensi dirinya.

"Untuk apa menanti esok hari?" Bahkan pertanyaan bernada putus asa itu pun, saat ini tak terlewat lagi dalam benak Sandi. Otaknya kosong melompong, dia berjalan seperti tubuh yang tak berjiwa. Hanya mengikuti kebiasaan yang terpatri dalam keseharian.

******

Perlahan Tamara membuka matanya. Jauh di atas sana, dia tahu ada banyak bintang-bintang. Sayang, cahaya mereka tak pernah menembus terangnya lampu-lampu di kota.

Sekejap itu, saat dia memejamkan mata dan membiarkan dirinya larut dalam kesenduan, sebuah nama terlintas dalam benaknya.

"Sandi."

"Sandi ...," bisiknya dalam hati.

"Surya memang bukan milikku dan tak pernah jadi milikku. Beruntung dia bertemu dengan kekasih yang dia cintai sebelum kami menikah," gumamnya dalam hati.

Tamara menghela nafas panjang-panjang. Rindu itu ternyata masih berbunga, tak pernah mati dalam hatinya. Dengan senyuman ikhlas dia mengambil ponselnya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menghiasi layar notifikasinya. Dengan perasaan bersalah, Tamara buru-buru membalas pesan dari ibunya, "Aku baik-baik saja. Sebentar lagi aku akan pulang."

Setelah mengirimkan pesan itu, dia berpikir sejenak dan menambahkan pesan berikutnya, "Jangan kuatir. Aku sudah berdamai dengan hatiku. Jangan salahkan Surya, karena dalam hatiku, aku juga memendam cinta pada pria yang lain. Semuanya akan aku ceritakan di rumah nanti."

Ketika jarinya menekan tombol untuk mengirim, hatinya tiba-tiba terasa ringan. Meski masih ada sendu yang tersisa dan pertanyaan yang tak terjawab, "Sandi ... akankah kita seberuntung Surya dan Santi ...?"

Namun kesenduan dan pertanyaan itu tidak menghantui hatinya.

Ikhlas, sebuah kata yang tak pernah terucap dan tak pernah terlewat dalam benak Tamara saat itu. Hatinya hanya terasa lapang dan ringan. Tak ada kemarahan dalam hatinya pada Surya dan Santi. Tak ada rasa iri dan cemburu. Meski tetap ada sendu dan rindu. Seperti bau melati yang samar-samar tercium di bawah rintiknya hujan, Tamara merasakan keindahan dalam kerinduan hatinya.

"Jangan-jangan aku punya bakat jadi masochist," bisikTamara pada dirinya sendiri, diiringi tawanya yang renyah dan manja.

Langkah kakinya ringan, seakan-akan menari-nari, saat dia beranjak pergi. Meninggalkan halaman kafe yang ingkar janji. Tak sedikit pun dia melihat, sesosok pemuda berjaket kerudung yang berjalan seperti mayat hidup. Kehilangan jiwa dan arah tujuan.

******

Sandi berdiri menatap pintu kafe dengan mata nanar. Papan kecil bertuliskan "CLOSED" masih berayun-ayun dengan riang.

"Buat apa aku ke sini?" gerutu pemuda itu dalam hati. Berdiri termangu-mangu, karena prosedur yang menjalankan dirinya terhenti oleh kejadian di luar dugaan. Mestinya dia membeli segelas kopi americano yang panas. Berjalan pulang ke kost-nya sambil menghisap-hisap cairan pahit itu. Cairan yang akan membuat matanya masih terbuka lebar sampai jauh malam, ketika dia mengerjakan proyek sampingan untuk menambah pundi-pundi tabungannya.

"Untuk apa ...?" bisik Sandi dengan senyum masam.

"Mengapa aku lupa?" tanyanya pada diri sendiri. Dahulu dia berniat menaikkan derajat ekonomi keluarganya, supaya dia punya keberanian untuk menemui Tamara Winata. Gadis lincah dengan suara renyah dan manja. Gadis yang dipanggilnya Chiyo. Awalnya dia hanya menggoda gadis itu, karena kegemarannya pada sebuah manga. Lama kelamaan nama itu melekat padanya.

Kemudian entah bagaimana, perlahan Sandi lupa pada impiannya itu.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menyingkirkan bayangan gelap dalam masa lalunya.

"Tidak! Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini aku akan tetap setia, meski sekarang cintaku bertepuk sebelah tangan," desis Sandi pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba kegelapan dari hatinya terusir pergi. Ketika tanpa dia sadari dia menemukan tujuan yang baru. Menjaga cinta pertama yang tak pernah terwujud. Menunggu, meski waktu tak berjanji akan menemukan dia dengan cintanya.

"Ya ... bukankah cinta tak harus memiliki?" gumam Sandi dalam hatinya. Di padang yang tandus dan kosong itu, sebuah tunas perlahan tumbuh. Seakan menjadi pusat dari semestanya.

Sandi mengacungkan jari tengahnya ke arah papan kecil bertuliskan "CLOSED" itu. Senyumnya yang setengah mengejek dan menantang kembali berkembang.

"Ga ada kamu, aku cari kopi instan," serunya pada kafe yang kosong itu, sebelum berbalik dan pergi.

******

"Aduuh ... jatuh di mana ya?" gumam Tamara yang berjalan menyusuri kembali tempat-tempat yang sempat dia kunjungi. Matanya mencari-cari di sudut-sudut gelap sepanjang trotoar.

"Kok bisa siih ... perasaan tadi masih di saku," keluhnya.

"Apa jatuh waktu aku mengambil HP ya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba langkahnya terhadang oleh sepasang kaki.

"Chiyo ...?" Gema suara dari masa lalunya seakan menembus waktu, melemparkan Tamara dalam lamunan, terhanyut dalam kerinduan.

"Chiyo? Ini kamu kan?" Suara itu kembali terdengar, kali ini menggugahnya terbangun, dan menariknya pada realita. Jantung Tamara berlompatan di dalam dadanya. Tubuhnya terasa berdesir-desir oleh denyar yang tak dia mengerti tapi dia nikmati.

"Sandi?" tanya Tamara, matanya yang bulat seperti anak rusa bernama Bambi dalam film Disney itu, melekat erat pada sosok laki-laki yang ada di hadapannya.

******




Hujan rintik-rintik itu tak juga berhenti. Seakan ingin menyirami benih-benih cinta di antara mereka berdua. Benih-benih cinta yang lama terkubur di bawah tanah yang tandus.

Malam itu, sepasang pria dan wanita itu berjalan berdampingan. Tawa mereka terdengar seperti lonceng yang berdentang-dentang dengan riang. Mereka bahkan tak bergandengan tangan, karena Sandi belum tahu bahwa Tamara tak jadi menikah dengan Surya. Tamara sendiri belum berani mengungkapkan perasaannya.

Mereka hanya bercakap-cakap, tentang masa lalu, tentang hujan, dan tentang bintang yang terhalang oleh riuhnya lampu kota.

Hati mereka dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran.

Cinta akan membuatmu bahagia, cukup hanya dengan berjalan bersama, berbagi cerita kehidupan.



Quote:


Puisi oleh @uliyatis : Menepi pada Satu Hati



 
---------------------- T A M A T ----------------------
Diubah oleh lonelylontong 28-06-2022 08:49
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
24
2.8K
143
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan