lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Mengapa Matahari Bagiku Harus Jadi Luka Bagi yang Lain. (CoC SFTH 2022, Tema CLBK)
Quote:


Dikutip dari trit milik @dewisuzanna: Sebuah puisi dengan judul : Tak Akan Sama Lagi.



Mengapa Matahari Bagiku Harus Jadi Luka Bagi yang Lain.


"Aduh !" pekik Santi. Ujung jarum yang tajam menusuk jarinya. Darah yang merah segar dengan cepat mengembang. Seperti menonton adegan film yang diperlambat, Santi melihat titik merah kecil itu perlahan membesar. Detik berikutnya dia sadar, darah itu akan menetes ke atas baju yang sedang dia jahit.

Cepat-cepat Santi mengibaskan tangannya, menjauh dari baju yang sedang dia jahit.

"Ya Tuhan ... untung nggak kena ...," bisik Santi.

Matanya dengan cemas memeriksa kain-kain di sekitarnya. Tangan yang satu dengan cermat membalik-balik lembar-lembar kain itu. Sementara jari yang terluka, dimasukkannya ke dalam mulut.

Rasa asin dan anyir bau logam, menguar samar-samar dalam mulutnya. Sensasi itu mengingatkan dia pada satu peristiwa bertahun yang lampau. Tiba-tiba, seperti anjing-anjing yang lepas dari kerangkengnya, ingatan demi ingatan berkelebatan dalam benaknya.

Satu malam yang dingin dan hujan deras di luar. Panasnya dua tubuh telanjang, keringat, dan desahan. Bisikan manis di telinga, mengiringi manisnya cinta semalam. Sebuah janji terucapkan. Secarik kain bernoda darah, jadi bukti cinta. Cinta yang kemudian kandas karena keadaan.

Gbr diambil dr unsplash.com

Santi terhuyung mundur beberapa langkah. Tubuhnya limbung, kepalanya terasa ringan. Tangannya meraba-raba mencari pegangan. Saat punggungnya menyentuh dinding, dia bersandar, dan perlahan-lahan jatuh terduduk di atas lantai yang dingin.

Wanita yang selama ini selalu tampil tegar di depan keluarga dan teman-temannya itu, mulai terisak.

Masa lalu yang dia pikir sudah berhasil dia lupakan, bangkit dari kuburnya seperti zombie.

Isak tangisnya semakin keras.

Kesedihan, ketakutan, semua tetesan air mata yang selama bertahun-tahun tertahan, sekarang lepas seperti air bah. Entah berapa lama dia menangis. Sampai akhirnya bunyi alarm dari HP, menarik dia keluar dari pusaran kesedihan.

"Ah! Bayu ...." Setengah berbisik, nama itu melompat keluar dari bibirnya. Nama yang memberinya kekuatan. Wanita itu bergegas berdiri dan menghapus bekas-bekas air mata yang masih membasahi pipinya.

Isak tangisnya menghilang, seperti mendung yang ditiup angin.

Sebuah foto berbingkai sederhana, menggantung di dinding, menampilkan seorang bocah cilik dengan senyum lebar memamerkan dua gigi. Saat mata Santi melihat foto itu, seulas senyum menghiasi wajahnya, membentuk kontras dengan matanya yang sembab. Hampir tak terlihat bekas-bekas kesedihan yang tadi sempat melanda.

"Surya ... dia mirip sekali dengan Surya ...." Untuk sekejap, gurat kecemasan terlihat dari kerut dahi wanita itu.

Namun awan gelap yang hendak kembali, langsung terusir pergi oleh alarm dari HP-nya. Santi mengebaskan rambutnya yang ikal dan berbisik, "Aku harus cepat-cepat, kalau telat, nanti Bayu ngambek."

---------------

"Surya ... coba lihat baju pengantin yang ini, cantik kan? Harganya juga nggak terlalu mahal, masih masuk kok ke budget kita. Menurut kamu gimana?" Suara renyah Tamara yang sedikit manja, menari-nari memasuki telinga Surya dan menabuh gendang telinganya. Menggugah laki-laki itu keluar dari lamunannya.

"Huh? Ah, ok, kamu nemu pilihan yang kamu suka? Yang mana modelnya? Coba aku mau liat," jawab Surya dengan lembut. Dia mencondongkan badannya ke arah katalog besar yang ada di hadapan Tamara.

Mata Tamara yang bulat dan jernih, seperti mata tokoh rusa kecil Bambi dalam film keluaran Disney, diam-diam memandangi Surya lekat-lekat. Sampai sekarang pun Tamara masih setengah tidak percaya, laki-laki tampan di depannya ini akan menikahinya bulan depan. Apalagi perkenalan mereka terhitung sangat singkat. Baru tiga bulan yang lalu mereka berkenalan lewat sepupu Tamara. Dua bulan kemudian, Surya menemui orang tua Tamara dan menyatakan keinginannya untuk menikahi Tamara. 

Surya melihat baju yang ditunjukkan Tamara, hanya beberapa detik saja dan dia menganggukkan kepala, "Cantik, kamu akan terlihat cantik memakai baju itu."

Senyum terkembang di wajah Tamara, ucapnya riang, "Terima kasih sayang ...."

Keduanya saling berpandangan, entah apa yang mereka pikirkan.

"Sudah dapat pilihannya?" Suara yang ramah memutuskan lamunan sepasang pria dan wanita yang sedang bersiap untuk menikah itu. Seorang wanita setengah baya berjalan keluar dari ruangan yang lain.

"Sudah, Tante. Nih, yang ini nih." Tamara melompat berdiri sambil membawa katalog yang cukup besar itu. Baik Tamara maupun wanita setengah baya tadi, tidak ada yang melihat perubahan ekspresi pada wajah Surya.

Mata Surya membesar, tatapannya seakan terhisap pada satu titik di ruangan itu. Terhisap pada satu sosok wanita muda dengan wajah berhias kerutan halus. Kerutan yang datang terlalu cepat, tetapi justru menambah keanggunan dirinya. Rambutnya yang ikal dikuncir kuda. Membingkai wajah tirus dengan tulang pipi menonjol. Lekukan sepasang bibir yang lembut, bersanding dengan garis rahang yang kuat dan ujung hidung sedikit mencuat. Bajunya rapih tapi sederhana.

"Santi ...," bisik Surya tak terdengar siapapun.

Mata Surya perlahan bergeser ke samping wanita itu. Seorang bocah laki-laki menggelendot manja di tangan wanita itu. Mata bocah itu bergerak lincah menelusuri tiap sudut ruangan. Saat tatapan mata Surya bertumbukan dengan tatapan mata bocah kecil itu, jantungnya berdebar dengan keras. Surya tidak membutuhkan tes DNA, tidak membutuhkan kesaksian, atau pengakuan.

Dia tahu.

Seperti ledakan kembang api di langit malam tahun baru, hati Surya meluap dengan ribuan rasa yang tak bisa dia ungkapkan.

Perasaan yang selama ini dia relakan terkubur dalam-dalam, bangkit dari kuburnya. Hatinya yang selama ini sudah jadi gurun pasir yang dingin, seakan menerima siraman air hujan, dan bunga-bunga meledak bermekaran.

Samar-samar Surya mendengar suara wanita setengah baya itu berkata, "Oh, ya. Kebetulan yang nanti menjahit baju pernikahan kalian datang.

Ayo, aku kenalkan."

"Surya ...." Sayup-sayup suara Tamara memasuki telinganya.

Namun semua suara itu, seakan terkubur oleh gemuruh darah yang mengalir deras dalam tiap pembuluh di tubuh Surya. Surya bisa mendengar degup jantungnya sendiri, berdentum-dentum memenuhi isi kepalanya. Di matanya, hanya ada wanita itu.

Santi.

Wanita yang pernah dia cintai dan masih dia cintai. Wanita yang menghilang dari kehidupannya dan selalu dia cari. Wanita yang tiba-tiba muncul di depannya, tepat saat dia sudah menyerah dan menerima takdir.

Namun mungkin dia salah membaca takdir, karena takdir mempertemukan mereka berdua.

"Surya!" Suara Tamara yang keras, membangunkan Surya dari lamunannya.

Laki-laki itu memandang berkeliling. Menatap wajah-wajah yang ada di depannya. Wajah Tamara yang terkejut dan marah. Wajah pemilik butik yang bingung dan cemas. Wajah Santi yang memandanginya dengan mulut ternganga. Lamunan Surya buyar dan dia harus kembali pada realita.

Realita bahwa dia sudah melamar Tamara dan akan menikahi wanita itu bulan depan.

"Surya." Sekali lagi Tamara memanggilnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Matanya memancarkan pertanyaan yang tak terucapkan.

Jantung Surya masih berdegup keras, tetapi bukan lagi sekedar karena rasa bahagia. Laki-laki itu berdiri termangu di sana. Terdiam. Pikirannya pepat, penuh dengan berbagai pertimbangan. Mata Tamara masih lekat memandanginya, menuntut jawaban.

Perlahan mata Surya bergeser, memandang ke arah wanita dan bocah laki-laki itu. Dilihatnya Santi tersenyum lemah, sambil melangkah mundur beberapa langkah, seakan-akan berkata, "Lupakan aku, lanjutkan kehidupanmu, aku tidak pernah menyalahkanmu."

Rahang Surya mengeras, tangannya mengepal kuat. Di hadapan dua jalan yang terbentang ini, Surya menemukan siapa dirinya. Dalam hatinya berguruh suara hati yang terdalam, "Aku laki-laki. Meski seluruh dunia mencaci maki, tapi aku tahu laki-laki tak akan ingkar janji."

Matanya terlihat tenang dan pasrah, saat dia menatap Tamara. Dengan lambat-lambat dan jelas, dia menjawab, "Tamara, kamu ingat pengakuanku tentang satu-satunya cinta dalam hidupku yang hilang itu?"

Ruangan itu menjadi sunyi.

Langkah kaki Santi yang sedang berjalan hendak masuk ke ruang dalam, terhenti.

Tamara berdiri terpaku, seluruh anggota tubuhnya terasa kelu. Dia bisa merasakan jantungnya berlompatan. Isi perutnya seperti baju dalam sebuah mesin cuci yang sedang berputar.

Suara Surya yang berat, terdengar jelas, seperti petir membelah langit malam, "Hari ini ....
Aku menemukannya kembali."


------------ o ------------
Diubah oleh lonelylontong 24-06-2022 06:21
dewisuzannaAvatar border
prarigaAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 31 lainnya memberi reputasi
32
4K
204
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan