komokgillaAvatar border
TS
komokgilla
"Cuma Menghidupi Anak Orang", Sebuah Kisah Nyata Yang Sedang Berlangsung
Halo agan-sista semua… semoga sehat semuanya… di sini saya hanya ingin berbagi pengalaman pernikahan yang sudah berlangsung 4 tahun dan juga secara tidak langsung curhat untuk ngurangin tekanan kepala, tentang pernikahan saya dengan istri saya yang saya sayangi, ga tau juga sebaliknya, hehe..
 
Sedikit background saya dan istri saya.. Saya Ardi (nama pengganti) anak ke 4 dari 5 bersaudara , berasal dari keluarga sederhana, Bapak saya keturunan tionghoa (muslim KTP), ibu saya keturunan sunda (muslim lumayan taat).. nilai-nilai yang ditanamkan kepada saya adalah kemandirian, kejujuran, dan kerja keras. Dari kecil kami hanya hidup pas-pasan, untungnya bapak saya masih memiliki kemampuan usaha dengan membuka bimbingan belajar di rumah (masih berlangsung sampai sekarang, umur 70 tahun), sehingga semua anaknya berhasil lulus sarjana (Teknik semua). Semenjak SMP saya sudah diminta ngekost supaya bisa mandiri. Saya bukan muslim yang taat, tapi shalat minimal setahun 52x ditambah 2 yang pertahun, minimal tapi, ada kalanya saya juga shalat wajib, hehe.
 
Istri saya Ida (nama pengganti) anak pertama dari 3 bersaudara, (berdasarkan observasi saya, jadi ini persepsi saya, bisa salah) berasal dari keluarga berkecukupan, Bapak dan Ibunya keturunan Sunda (muslim idealis, tapi praktik hidupnya banyak kontradiksi dengan ajaran agama).. Nilai-nilai yang ditanamkan kepadanya adalah kebersamaan, ketaatan pada agama. Saya tidak tau betul sejarah keluarganya, yang saya lihat, dari kecil (sepertinya) istri saya memang selalu dituruti keinginannya (fakta), selalu didukung mimpi-mimpinya, tidak pernah dimarahi (fakta). Semua anak-anaknya dikuliahkan, istri saya sudah selesai (dokter), kedua adiknya sedang kuliah (dokter, dan Teknik). Istri saya muslim yang kontradiktif juga, kalau bicara kehidupan seringkali ada nama Allah disebut, dikaitkan dengan takdir dan rejekinya, shalat di depan orang tuanya, absen kalo lagi sama saya, wkkwk.
 
 Saat ini umur saya 29, dan istri saya 28. Awal mula cerita kami terjadi jauh saat kami masih SMA, dulu kami satu kelas, kami sempat dekat namun tidak sampai pacaran.. kami ketemu lagi saat saya baru lulus kuliah, istri saya waktu itu masih koass.. kami awalnya cuma ketemu aja sama teman-teman lainnya, karena pada saat itu juga saya masih punya hubungan dengan mantan pacar saya (putus karena mantan saya terlalu fokus dengan materi, dan prinsip saya adalah materi bukan segalanya, karena bahagia berdasar dari dalam diri sendiri melalui rasa bersyukur, yang sampai saat ini masih saya jadikan prinsip dan masih saya pelajari karena memang sulit sekali untuk bersyukur)… istri saya, sejak SMA tidak pacaran lagi sampai akhirnya ketemu dengan saya, saya putusin pacar saya, dan saya serius dengan istri saya. Dulu 2 tahun pacaran dengan dia (dari awal 2016-2018, setelah putus dengan mantan, saya tidak nembak istri saya, saya hanya jalani serius saja, anggap saja pacaran ya) dia sangat perhatian, sangat ingin dengan saya, sampai saya yang agak risih awalnya.. tapi setelah dipikir-pikir, saya ingin pasangan yang seperti ini, orangnya juga dulu gak materialistis (mungkin karena berasal dari orang berada), karena itu saya mau serius dengan dia. Pokoknya saya mau sama istri saya karena sifatnya, cinta saya juga ke dia hanya berdasarkan keyakinan kalau saya pada akhirnya akan mencintai dia karena rasa nyaman yang dia beri, karena dia akan ngikutin kehidupan saya, susah atau senang. Oya, awal ketemu dulu saya masih pengangguran, baru lulus kuliah, tapi ada perempuan yang mau sama saya segitunya, ini juga yang ngebuat saya yakin dia akan selalu ada untuk saya ketika situasi sulit. Setelah 4 bulan pacaran dan nganggur, akhirnya pertenganan 2016 saya diterima kerja di persuahaan yang udah cukup lumayan, walaupun lokasi kerjanya terpaut 3 zona waktu alias jauh, saya tetap ambil karena saya harus mandiri, ga enak juga sama orang tua kelamaan nganggur.. sejak saat itu lah saya LDR dengan dia, satu setengan tahun pacaran jarak jauh, dan akhirnya menikah di awal 2018. Waktu LDR sih beberapa kali saya bilang ke dia kalau saya pasti ga akan lama di perusahaan ini, karena terlalu jauh, kerjaannya gak sesuai ekspektasi dan saya ingin dekat dengan dia,,, respon dia waktu itu selalu mengiyakan, biar dekat. Singkat cerita, setelah menikah, sedikit demi sedikit semua berubah, berubah karena diri kami masing-masing + keluarganya..
 
Awal mula kami menikah sebetulnya diwarnai oleh orang tuanya yang minta menyegerakan, padahal saya berencana mau menyiapkan semuanya dulu, terlebih saya masih graduate program di kerjaan saya.. saya Cuma ingin keuangan keluarga kecil saya stabil nantinya, karena saya tau banget seperti apa kebutuhan dalam berkeluarga.. di saat itu belum ada persiapan matang acaranya seperti apa, karena minta disegerakan, dan jadwal saya pulang juga masih setahun 2x (karena masih graduate program), alhasil yang dilaksanakan adalah akad dulu (walaupun bagi saya itu sudah termasuk resepsi, karena ada tenda, banyak tamu undangan, seperti pernikahan pada umumnya yang dilakukan di rumah). Posisi tabungan saya waktu itu hanya sekitar 40 juta, tapi Ketika saya mau ikut menyumbang, orang tuanya menolak (pada dasarnya mereka sangat baik), dan akhirnya uang itu kami gunakan untuk honeymoon, aseek. Resepsi masih menggantung saat itu...
 
 Di awal pernikahan, saat itu istri saya melanjutkan studi kedokterannya dengan melaksanakan Internship di Rumah sakit di luar kota, jadi awal pernikahan itu, istri saya ngontrak rumah di kota tersebut sendirian.. walaupun LDM (long distance marriage), awalnya kami bahagia, dengan pertengkaran-pertengkaran kecil kami yang wajar, sudah lupa sih dulu ngeberantemin apa aja, yang pasti ini ga berlangsung lama.. hari demi hari kami masih berkomunikasi jarak jauh, saya belum cinta-cinta amat sama istri saya, tapi saya belajar mencintai dia apa adanya. Di pertengahan 2018, akhirnya saya dapat kontrak permanen dari perusahaan saya, dan saya bisa lebih sering cuti (setahun 6-7x), mulai saat itu saya merasa butuh dengan pekerjaan saya walaupun saya sebetulnya tidak nyaman dan ingin pindah, tapi apa mau dikata, kebutuhan rumah tangga yang ga habis-habis, kami yang masih boros, membuat saya bertahan, berkali-kali curhat dengan istri, kami hanya bisa sabar…
 
Pada suatu cuti setelah jadi karyawan permanen, saya pulang tidak bilang-bilang… malam hari saya sampai di rumah kontrakan istri saya, disaat itulah saya tau betapa ga teraturnya hidup istri saya. Ketika saya dibukakan pintu, saya melihat “kapal pecah” (kiasan orang tua saya jaman dulu, haha). Mukena di atas tempat sampah, pembalut bekas yang sudah membusuk ada di sudutan kamar dan kamar mandi, mau jalan juga harus lompat-lompat supaya ga nginjak barang-barang, cucian piring sampai busuk berjamur.. karena capek, akhirnya saya terima dulu apa adanya, dan ikut bantu beresin walaupun saya sambil ngedumel.. Ga cuma itu, besoknya saya lihat ke dalam mobil, ibarat mobil sampah, semua barang jadi satu, dokumen penting, sampai sisa-sisa makanan ngumpul di situ.. semakin pusing saya lihat hal-hal seperti itu.. yang ada dalam pikiran saya, “kamu urus diri sendiri tanpa harus urusin suami aja masih belum bisa, gimana kamu mau rawat anak kalau seperti ini”. Cuti itu saya sering ngedumel biar istri saya ga seperti itu lagi, dan dia bilang iya… saya waktu itu belum tau “iya”nya dia itu ternyata cuma biar saya ga ngedumel terus.. akhirnya cuti saya habis, saya pun balik ke jobsite… di komunikasi kami, saya selalu ngingetin dia untuk hidup lebih teratur, merawat diri, merawat yang kami punya.. tapi seringkali cuma dijawab “iya” tanpa dilakukan.. hal ini membuat saya harus negasin ke istri saya, dan saat itulah kesalahan terbesar di pertengkaran kami terjadi, saat itu saya bilang ke dia “kalo kamu cuma iya-iya saja tanpa dilakukan, untuk apa kita menikah, ga ada Kerjasama, sama saja saya cuma menghidupi anak orang kalau seperti ini”. Analogi saya tersebut jelas bukan tanpa alasan, saya kerja jauh, dia ga perlu ngurusin saya, bahkan di rumah pun Ketika saya cuti, saya yang selalu bersih-bersih, cuci baju, cuci piring, dan pada akhirnya saya merasa tidak menemukan kontribusi istri saya dalam pernikahan ini. Namun di sisi lain, istri saya menanggapi ucapan saya dengan begitu sakit hatinya, sejak saat itu juga saya sudah mulai merasa istri saya makin jauh dari saya dan cenderung selalu memilih keluarganya ketimbang saya. Tapi waktu itu karena dia masih tinggal di luar kota dan jauh dari orang tua, keadaan jadi terasa biasa-biasa saja, komunikasi juga masih baik.
 
Karena saya yang sudah tau dia kalau diingatkan cuma “iya” saja, semenjak itu juga saya suka “menghukum” istri saya dengan cara mendiamkannya, karena saya tidak tau harus gimana supaya istri saya mau kerja sama,, dan ternyata dia begitu tersiksa dengan saya yang menghukum dia dengan diam. Namun alih-alih melakukan perubahan supaya saya tidak kecewa, dia tetap sama, masih belum bekerja sama.. sampai akhirnya saya capek sendiri ngedumel terus, setiap cekcok selalu dengan topik yang sama….
 
Singkat cerita, ¾ akhir 2018 saya cuti lagi, orang tuanya sudah mulai menanyakan kapan resepsi, jadi resepsi atau nggak, mau resepsi dimana, dllllll, yang bikin saya stress sendiri karena saya belum punya tabungan.. FYI, sebelumnya pada saat melamar istri saya, Bapaknya sempat berkata : “Akad akan jadi tanggung jawab saya, resepsi nanti tanggung jawab ardi”. Hal itu menempel di benak saya, karena saya yang harus bertanggung jawab. Berkali-kali diskusi dengan istri, menyarankan daripada kami resepsi, mending uangnya buat beli rumah,, awalnya istri saya masih belum bisa nentuin, tapi karena pertanyaan orang tuanya yang terus menerus keluar, istri saya memilih untuk resepsi.
 
Akhirnya setelah berfikir keras bagaimana caranya dapat uang ini, saya berdiskusi meminta tolong ke orang tua saya, kebetulan orang tua saya punya rumah yang tidak terpakai, dibeli orang tua saya dari uang pensiun ibu saya.. saat itu dealnya adalah menjual belikan rumah tersebut dari orang tua ke anak menggunakan KPR, jadi uang yang cair yang harusnya seluruhnya milik orang tua saya, saya pinjam Sebagian untuk biaya resepsi, saya masih ingat persis, harga rumah 300jt, DP tipu-tipu 60jt, pokok pinjaman 240jt, cicilan 5jt perbulan selama 5 tahun, lunas akhir 2023.. jadi dari 240jt yang dicairkan, 120jt diambil orang tua saya, 120jt saya pinjam untuk resepsi. Oktober 2018 saya confirm ke keluarga istri saya bahwa resepsi akan dilaksanakan desember 2018 dengan mengirim uang 120jt ke istri saya. Saya mengingatkan ke istri saya, bahwa ini adalah hutang yang harus kita bayar..
 
Resepsipun dilaksanakan, dengan uang seadanya, tapi ternyata istri saya sangat kalap Ketika memilih vendor, semua dia ingin yang terbaik, sampai MUA saja pakai yang terkenal dari bandung, yang dipakai lesti kejora dan risky bilar, gokil gak tuh… usut punya usut, biaya resepsi meledak di atas 300jt, saya ga tau detilnya karena saya juga malas tau, yang pasti sejak itu saya merasa ada hutang materi besar ke orang tua istri saya. Saya tipe orang yang sama sekali ga mau punya hutang ke orang, kalau punya hutang, saya harus ganti, namun disaat yang sama, saya tidak bisa ganti sebanyak itu, ditambah sudah ada cicilan KPR. Semenjak itu, saya semakin tidak mau menerima apapun dari orang tua istri saya.
 
2019 pun tercapai, di bulan januari saya mendapat info kalau istri saya hamil, senang sekali rasanya, betul-betul mulai merubah saya walaupun secara perlahan, saya mulai sedikit demi sedikit menahan dumelan ke istri saya, dan lebih fokus ke kandungan.. masih ada cekcok, saya masih suka dumel, saya juga menyesal sih dulu seperti itu.. kasihan juga istri saya hamil harus sendirian, diomel terus lagi, walaupun intensitas sudah berkurang… sampai saat ini saya masih belum tau kalau sakit hatinya istri saya terus mendalam yang dimulai dengan ucapan “cuma menghidupi anak orang”. Perlahan-lahan istri saya mulai membangun tembok..
 
September 2019, anak saya lahir, bahagianya saya dan istri saya, merasa semua akan membaik setelah adanya anak yang sangat kami cintai… tapi ada hal yang membuat saya sakit hati kepada orang tua istri saya, ketika keluar rumah sakit, saya disuruh untuk membawa mobil sendiri, sepanjang 1.5 jam perjalanan saya menangis di dalam mobil kenapa bukan saya yang membawa istri dan anak saya pulang? Sampai saat inipun, Ketika saya membuat tulisan ini, saya masih menangis, masih sangat jelas merasakan sakitnya diperlakukan seperti itu. Sekeras apapun menerima maksud dari mertua saya agar kalau istri saya butuh bantuan, ada ibunya yang bisa membantu,,, terus kenapa ga ibu mertua saya aja yang ikut ke dalam mobil yg saya kendarai, dan bapak mertua saya yang bawa mobil sendiri? Kenapa harus seperti itu? This is when I started to hate them, walaupun pada dasarnya mereka baik, tapi mereka secara tidak sadar terlalu banyak masuk ke keluarga saya, menjauhkan istri saya dari saya.
 
Anyway,, perlahan-lahanpun saya mulai mencintai lebih kepada istri saya, terlepas dari harapan-harapan saya thd istri saya yang tidak terpenuhi, cinta saya tetap bertumbuh.. tapi sayangnya tidak bagi istri saya… semenjak internshipnya selesai, saat hamil besar istri saya sudah tinggal di rumah orang tuanya lagi. Setelah melahirkan sampai saat ini dia masih tinggal dengan orang tuanya. Padahal, saya sudah bilang kalau rumah yang tadinya pura-pura dibeli untuk pinjam uang itu akan betulan saya beli dari orang tua saya, waktu itu uang penggantinya sudah mulai saya kumpulkan, dan pada akhirnya di 2020 saya membelikan mobil untuk orang tua saya seharga 180jt untuk menggantikan sisa uang pembelian rumahnya (total 300jt harga rumahnya) yang saya lakukan dengan mencicil 5jt perbulan sampai akhir 2023. Tapi istri saya menanggapi itu dengan berbeda, dia merasa saya memberi lebih banyak ke orang tua saya daripada ke dia. Padahal, saya sudah memberikan modal resepsi ditambah rumah untuk ditinggali, tapi sepertinya dia tidak bisa mikir sejauh itu.. saya pun sudah bilang, ciicilan2 ini akan berakhir di 2023, setelah itu kita bisa menikmati hidup… tapi itu tidak digubris, dan dia pun semakin menjauh..  Sejak saat itu, setiap ada masalah antara saya dan dia, dia cenderung ga mau menghadapinya, dia merasa nyaman dengan orang tuanya… saya semakin stress karena semua masalah kecil menggantung begitu saja tanpa ada solusi.. hari demi hari istri saya hanya fokus dengan anak kami, bukan hal yang salah, tapi dia meninggalkan saya sendiri di tempat yang jauh..
 
Lalu datanglah pandemi covid di maret 2020, istri saya yang saat itu merawat anak saya yang berumur 6 bulan pun menderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang menyangkut kebersihan.. semua permukaan barang dia anggap kotor, dia tidak keluar rumah selama berbulan-bulan, anak sayapun jarang sekali menikmati udara luar meskipun hanya di halaman rumah orang tuanya, karena istri saya yang tidak mau kotor. Berbotol-botol alkohol dan hand sanitizer habis dipakai setiap harinya untuk menyemprot dan melumuri permukaan-permukaan barang dimanapun dia berada.. Ketika saya cutipun saya harus betul-betul higienis untuk masuk kamar, higienis dalam arti yang sangat-sangat berlebihan, 2020-2021 menjadi mimpi buruk bagi saya.. walaupun saya tau istri saya sangat menderita dengan OCDnya, tapi tidak ada yang tau betapa menderitanya saya hidup dengan pasangan yang memiliki OCD.. berkali-kali saya ajak dia untuk ke psikiater karena hidupnya sudah di luar normal, berkali-kali juga kami bertengkar hebat.. dia lebih mementingkan karir dokternya, karena dia takut histori Kesehatan mental dia akan menghambat karir dokternya.. di posisi saya waktu itu, semua serba salah, berkali-kali ingin menyerah, diapun sama..
 
Dengan OCDnya, hingga saat ini, saya sulit sekali menjalin komunikasi.. pertama, sebelum istri saya kerja sangat sulit dihubungi karena hidupnya tidak teratur,,  saya berusaha memaklumi karena istri saya capek merawat anak.. kedua, HP istri saya seringkali kehabisan baterai, dan setiap kehabisan baterai, HPnya hampir pasti susah dicharge, karena istri saya pasti melumuri HPnya pakai alkohol/hand sanitizer, jadi port chargingnya selalu basah,, HPnya mati rekor bisa sampai 2 hari, rata-rata 1 hari.. ketiga, di tempat saya kerja berbeda 2 jam dari di rumah, jam 7 pagi di tempat saya mulai kerja, di sana masih jam 5 subuh, istri saya rata2 bangun jam 8-9, itupun sekarang langsung kerja, dia pulang kerja jam 21.00, saya di sini udah tidur karena udah jam 23.00 malam, begitu terus setiap hari. Di hari dia off pun, bangunnya siang, hp baru dinyalain siang.. cape hati membangun komunikasi, lama-lama saya merasa dia sengaja melakukan ini untuk menghindari percakapan dengan saya. Keempat, Ketika sudah vcall atau telpon, cenderung mengalihkan ke anak, anak saya masih baru bisa ngomong, harus ngomong apa saya disuguhin anak terus, sekarang malah kalau vcall, anak saya suka ditinggal sendiri dengan saya, dan karena anak saya juga suka sibuk main sendiri, ya saya udah cukup seneng sih bisa dengar anak walaupun cuma bisa ngeliatin plafon rumah karena hp cuma ditaro begitu aja.. tapi lama-lama cape hati juga.. tapi bisa apa, kalau saya nuntut, pasti berdebat ujungnya..
 
Semua diperburuk dengan semakin memburuknya hubungan saya dengan orang tuanya, saya keluar dari grup-grup whatsapp keluarga besar mertua saya yang entah kenapa saya dimasukkan ke situ, sayapun keluar grup keluarga istri saya, karena saya sangat-sangat stress akan keadaan keluarga saya, keadaan istri saya yang lebih memilih dengan orang tuanya ketimbang saya. Bapak mertua saya marah besar, tapi saya sudah tidak peduli, karena yang saya mau dari dia cuma anaknya. Tapi seakan-akan harapan makin menipis, rumah yang saya belipun jadi tidak berguna karena tidak pernah ditempati istri saya.. kata-kata perpisahan sudah mulai keluar dari ucapan2 kami, yang semakin membuat saya putus asa..
 
Akhir 2021, istri saya mulai membaik, dia sudah mulai berani keluar rumah dan akhirnya mendapat pekerjaan yang lokasinya cukup jauh, setiap hari dia menghabiskan waktu 2-3 jam untuk PP, karena dia merasa tempatnya bekerja lebih dipandang daripada yang di kotanya sendiri. Berkali-kali saya ingin resign, tapi jawaban istri saya sekarang sudah beda, “jangan, nanti kita ga cukup”. Usut punya usut, setelah sekian banyak pertengkaran kecil, saya tau istri saya bekerja karena merasa apa yang saya kasih tidak cukup, padahal sebetulnya, tinggal sesuaikan aja lifestylenya, kalau ikutin lifestyle orang tuanya, ya jelas ga cukup lah… tapi istri saya ya begitu, belum bisa berubah untuk mengatur detil kehidupannya..
 
Komunikasipun makin memburuk… berantem pun masih di hal-hal yang sama… sampai di awal 2022 ini, hubungan kami makin di ujung tanduk, saya coba komunikasi lagi dengan orang tuanya, terutama Ibunya, tapi dasar Namanya anak sendiri, selalu dibela, saya yang harus terus ngalah, saya yang harus membuat dia nyaman… Ketika ngobrol itu juga, saya akhirnya sadar, saya ga akan bisa sejalan dengan pikiran orang tuanya. Asal agan sista tau, beliau bicara seperti ini : “ Ida itu kerja siang malam, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ida juga ga pernah cerita ke Ibu, karena Ida ingin menutupi kekurangan suaminya, supaya suaminya ga malu.. Ibu tau ardi banyak tanggungan, tapi dahulukan lah istri (tanggungan ini yang dimaksud adalah karena saya beli mobil untuk orang tua saya, padahal itu mobil jadi rumah dan modal resepsi untuk jagain gengsi keluarganya)”, dan saya terkedjhoet dalam hati, what the hell was she talking about????
 
Lanjut di bawah.....
Diubah oleh komokgilla 13-09-2022 09:48
ren.nezaust455Avatar border
gembogspeedAvatar border
rinandyaAvatar border
rinandya dan 27 lainnya memberi reputasi
28
11.6K
160
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan