terbitcomytAvatar border
TS
terbitcomyt
Kisah Sedih Rasulullah Saw Saat Berdakwah Di Thaif

Siksaan Quraisy terhadap Rasulullah saw semakin menjadi-jadi. Jiwa Nabi saw berada dalam bahaya. Karena itu, beliau mengambil sebuah keputusan sulit: pergi ke Thâ’if. Rasulullala saw tak ingin syiar Islam terhenti hanya karena kekejian yang semakin tak terkendali dari kaum Quraisy. Inilah kali pertama Rasulullah saw berdakwah di luar Makkah.

Thâ’if berjarak 63,45 km dari Makkah. Nabi saw pergi ke Thâ’if bersama Zaid bin Hâritsah. Pada masa itu, perjalanan dari Makah menuju kota Thaif di kelilingi pegunungan batu yang besar besar dan terjal. Mereka berjalan kaki tanpa menunggangi unta. Tujuannya agar Quraisy tak mencurigai perjalanan yang memakan waktu empat hari itu. Setelah melewati perjalanan yang berat dan melelahkan, Rasulullah saw tiba di Thâ’if. Peluh membasahi tubuh Rasul saw. Hari-hari penuh perjuangan mulai dilalui Nabi saw dan Zaid.

Al’ Udwâni, seorang periwayat yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw, menuturkan, “Aku melihat Rasulullah di Pasar ‘Ukâzh. Beliau menancapkan tongkatnya seperti ini dan menyandarkan tubuhnya pada tongkat itu. Beliau menyeru orang-orang pada kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.”

Lalu, lanjut ‘Udwâni, Nabi saw membaca firman Allah swt berikut.

Demi langit dan yang datang pada malam hari. (QS. ath-Thariq [86]: 1).

“Ketika berbicara, suara beliau memancarkan keagungan, pandangan matanya tajam, pidatonya berwibawa, dan nasihatnya menyentuh kalbu,” kata ‘Udwâni.

Rasulullah saw berada di Thâ’if selama 15 malam. Selama itu, Nabi saw mengunjungi sejumlah pasar dan tempat pertemuan. Setiap kali berjumpa dengan orang, beliau mengucap salam dan menyeru untuk mengikrarkan kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.

Jika bertemu orang-orang Yahudi, nabi Muhammad saw langsung mengenalkan ajaran yang dibawanya. Saat bertemu orang-orang Nasrani, Nabi saw melakukan hal yang sama. Begitu pula saat bertemu orang-orang musyrik.

Rasulullah saw dihujani Batu

Suatu saat, Rasulullah saw bertemu dengan penduduk Thâ’if. Beliau langsung menawarkan agama Islam kepada mereka, tapi ajakan tulus itu ditolak mentah-mentah.

“Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” kata salah satu di antara mereka.

Rasulullah saw tak memaksa mereka.

“Jika kalian menolak memberikan perlindungan dan masuk Islam, janganlah kalian mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk minta pertolongan.”

Di luar dugaan, permintaan itu juga ditolak penduduk Thâ’if. Akhirnya, Nabi saw mengajukan permohonan terakhir.

“Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” ujar Nabi saw dengan lembut.

“Demi Allah, engkau tidak akan bisa keluar sampai engkau dilempari dengan batu. Agar engkau tidak akan pernah kembali lagi ke sini, selamanya,” teriak mereka.

Dengan cepat, penduduk Thâ’if membentuk dua barisan. Sejurus kemudian, mereka membungkukkan badan untuk mengambil batu. Tangan mereka kini telah penuh dengan batu keras. Jumlahnya banyak. Setiap orang telah siap melempari Rasulullah saw dengan batu yang tergenggam di tangan.

Untuk beberapa saat, Nabi saw dan Zaid bin Hâritsah tak bergerak. Mereka tak menduga dengan situasi yang berubah cepat. Batu-batu mulai dilontarkan. Nabi saw dan Zaid berusaha lari.

Batu-batu itu beterbangan menuju tubuh Nabi saw dan Zaid. Keduanya terus berusaha menyelamatkan diri mencari tempat persembunyian, tetapi mereka kalah cepat. Batu-batu itu silih berganti mendarat di kepala dan sekujur tubuh mereka. Nabi saw tak dapat lagi mengelak. Zaid berusaha menggunakan tubuhnya untuk melindungi Rasulullah saw, tetapi sia-sia saja. Batu itu datang bak hujan deras yang turun dan langit, menghujam tubuh beliau tak kenal henti.

Mereka melempar batu yang diarahkan ke pembuluh darah di atas tumit Nabi saw sehingga kedua sandal beliau saw basah bersimbah darah. Darah segar mulai mengucur dari tubuh Rasulullah saw.

Manusia mulia itu rerus berlari menghindani amukan penduduk Thâ’if, hingga Rasulullah saw berlindung di balik tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putra Rabi’ah, yang terletak tiga mil dari kota Thâ’if.

Bertemu Budak Nasrani

Setelah merasa aman, Nabi saw menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk di sana. Di tempat itu, Rasulullah saw berdoa sambil menahan sakit yang mulai menjalar tubuhnya.

“Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu atas lemahnya kekuatanku dan sedikitnya usahaku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Tuhan semesta alam, Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan diriku. Kepada orang yang jauh yang menyerangku ataukah kepada Zat yang dekat yang mengatur urusanku. Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Aku berlindung terhadap cahaya wajah-Mu Yang menerangi kegelapan dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat, dan kemurkaan-Mu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah Yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya dan upaya selain dan Engkau.”

Nabi saw tidak menyadari bahwa gerak-geriknya diperhatikan dua putra Rabi’ah. Keduanya tak tega melihat pender itaan yang dialami Rasulullah saw.

Lalu mereka memanggil ‘Addâs, seorang hamba beragama Nasrani yang mengabdi pada mereka.

“Ambillah setandan anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut!” kata keduanya.

Anggur itu diberikan kepada Rasulullah saw yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian tersebut.

“Bismillah,” ucap Muhammad saw sesaat seusai menerima anggur itu dan lalu memakannya.

‘Addas terperanjat. Ia tidak pernah mendengar perkataan itu sebumnya.

“Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini.”

“Kamu berasal dan negeri mana? Dan apa agamamu?” tanya Nabi saw.

“Aku seorang Nasrani dan penduduk Nina-wy (Nineveh/Persia),” jawab ‘Addâs.

“Itu negeri seorang saleh bernama Yunus bin Matta,” kata Rasulullah saw.

‘Addâs semakin penasaran.

“Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”

“Dia adalah saudaraku, seorang nabi, demikian pula dengan diriku.”

‘Addâs tertegun. Ia terkejut mendengar jawaban itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung merengkuh kepala Rasulullah saw. Ia juga mencium kedua tangan dan kedua kaki Nabi saw. Sementara, kedua putra Rabi’ah menyaksikan adegan itu dengan penuh keheranan. Ketika ‘Addâs datang, keduanya berujar,

“Celakalah dirimu! Apa yang terjadi denganmu?”

“Wahai tuanku! Tiada sesuatu pun di bumi ini yang lebih baik daripada orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi,” jawab ‘Addâs.

“Celakalah dirimu, wahai ‘Addâs! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu! Sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua. (Ibnu Hisyâm).

Doa untuk Penduduk Thâ’if

Hari mulai gelap, malam menghamparkan tabirnya. Rasulullah saw dan Zaid keluar dari persembunyian, menahan lapar dan dahaga, merasakan kepedihan, kepenatan, dan duka lara.

Keduanya memutuskan untuk kembali ke Makkah. Rasa getir dan sedih mengiringi keduanya. Disiksa di Makkah, diusir dari Thâ’if, dan kini harus kembali ke Makkah. Namun, masuk Islamnya ‘Addâs, seorang budak Nasrani, membuat semangat keduanya kembali berkobar.

Keduanya tiba di Qarnul Manâzil saat derita dan nestapa mencapai puncaknya. Rasulullah saw menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya awan berarak, dan tiba-tiba Jibril menampakkan diri seraya menyampaikan salam. Allah mengutus Jibril bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu penintahnya untuk meratakan al Akhasyabain (dua gunung di Makkah, yaitu Gunung Abü Qubais dan yang di seberangnya, Qaiqa’ân) terhadap penduduk Thâ’if.

“Wahai Muhammad, Tuhan mengizinkanmu untuk menimpakan dua gunung itu pada penduduk Thâ’if.”

“Jangan. Siapa tahu Allah akan mengeluarkan seseorang yang mengucapkan (kalimat) Tiada Tuhan selain Allah dari rahim mereka,” jawab Rasulullah saw.

Peristiwa itu membuat hati Nabi saw menjadi tenteram. Perjalanan diteruskan hingga sampai ke lembah Nakhlah (pohon kurma). Selama beberapa hari, Nabi saw dan Zaid berdiam di sana. Di sinilah Nabi saw didatangi jin yang berasal dan Nusaybin.

Gumpalan awan kegetiran, keputusasaan, dan kesedihan yang tidak henti membebani Nabi saw sejak keluar dari Thâ’if perlahan sirna. Tekad beliau telah bulat: kembali ke Makkah untuk memulai langkah baru.

Namun, Zaid bin Hânitsah mempertanyakan keinginan Nabi saw itu.

“Bagaimana bisa engkau kernbali menemui mereka, sedangkan mereka telah mengusirmu?” tanya Zaid.

“Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan apa yang engkau lihat sebagai kemudahan dan jalan keluar. Sungguh, Allah akan menolong agama-Nya dan akan memenangkan Nabi-Nya,” beliau memberikan jawaban.

Kembali ke Makkah
Rasulullah saw meneruskan perjalanannya menuju Makkah. Saat telah hampir memasuki kota, Nabi saw memilih menetap di Hirâ’. Beliau kemudian mengutus seseorang dari suku Khuza’ah mendatangi Akhnas bin Syuraiq untuk meminta perlindungan.

“Aku ini adalah sekutumu, maka seorang sekutu tidak mernberikan suaka!” kata Akhnas menolak permintaan Sang Utusan.

Nabi saw lalu mengirim utusannya lagi menemui Suhail bin ‘Amth. Penolakan serupa dilakukan Suhail.

“Sesungguhnya Bani Amir tidak memberikan perlindungan kepada Bani Ka’ab.”

Terakhir, Rasulullah saw mengirim utusannya menemui al Muth’im bin ‘Adi. Berbeda dengan dua orang sebelumnya, kali ini permintaan Nabi saw diterima.

“Kami akan lindungi,” ujar al Muth’im.

Ia lalu mengambil senjata, mengajak anak-anak dan kaumnya untuk berangkat.

“Pakailah senjata dan diamlah kalian di sudut-sudut Baitullah! Karena sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad.”

A1-Muth’im lalu mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah saw. “Katakan pada Muhammad, temui aku sekarang,” kata al-Muth‘ im.

Rasulullah saw bersama Zaid bin Hâritsah segera pergi menemui al-Muth’im di Masjid al-Harâm. Itulah pertama kali Nabi saw masuk ke Makkah setelah pergi ke Thâ’if. Tampak al-Muth’im bin ‘Adi berada di atas tunggangannya. Ia sedang berteriak lantang kepada orang-orang Quraisy.

“Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan pada Muhammad, maka janganlah ada seorang yang mengejeknya!”

Rasulullah saw lalu dikawal sampai di Rukun Yamani (salah satu pojok Ka’bah). Nabi saw terharu. Cukup lama Ká’bah tidak disentuhnya. Sekarang ini, rumah Allah itu telah ada di hadapannya. Nabi saw lalu thawaf shalat dua rakaat, dan pulang ke rumahnya dengan kawalan al-Muth’im bin ‘Adi dan anak-anaknya. Mereka masih siap siaga dengan senjata hingga Rasulullah saw memasuki rumahnya.

Kebaikan al-Muth’im terus dikenang Rasulullah saw meski ia kafir.

“Demi Allah Yang jiwa ini berada dalam genggaman-Nya seandainya Muth’im bin ‘Adi masih hidup, lalu dia berkata kepadaku tentang para tawanan kafir dalam Perang Badar, niscaya aku akan ikuti perkataannya.” (HR. Bukhâri).
bintangdaratAvatar border
bintangdarat memberi reputasi
1
758
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan