cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Kenapa WHO Gagal Membendung Corona?


Cangkeman.net - Ketika artikel ini ditulis, sebanyak 210 juta warga dunia terinfeksi virus Covid19. 4,41 juta diantaranya meninggal dunia. Dengan pengalaman yang dimiliki WHO dalam menangani berbagai gejolak kesehatan dunia, kenapa dia bisa sampai kelabakan menangani COVID 19?
Yuk bahas tipis-tipis.

Organisasi Kesehatan Dunia yang dibentuk tahun 1948 ini menjalin kerjasama antar negara dalam bidang kesehatan dan kebersihan. Sebagai badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, WHO punya posisi yang penting. Peran WHO melalui jalan panjang dan sulit dalam mengurusi bidangnya tersebut. PBB yang awalnya lebih fokus pada pengkondisian perdamaian dan pasca perang, akhirnya sadar bahwa sejarah menunjukkan penyebaran penyakit telah membunuh lebih banyak manusia dibandingkan dengan peperangan. Penyakit menular seperti kolera, tifus, campak dan masih banyak lagi terus memakan korban yang tidak sedikit.

Di tahun 1918, sebuah penyakit flu yang sering disebut sebagai Flu Spanyol menyebar ke seantero Eropa dan Amerika, yang kemudian meluas ke seluruh dunia. Virus ini memakan korban tidak kurang dari 50 juta jiwa sampai akhir perang dunia pertama. Korban perang dunia pertama bahkan tidak sampai setengahnya dari korban virus flu tersebut. Padahal, korban belasan juta akibat perang dunia pertama saja dirasa sangat tragis dan begitu banyak. Namun ternyata dari sebuah virus yang dianggap sepele saja bisa menelan korban yang hampir 3 kali lebih banyak dari perang dunia pertama.

Belajar dari hal tersebut, pada tahun 1922 Liga Bangsa-Bangsa kemudian membentuk League of Nations Health Organization (LNHO) dengan tujuan untuk mengontrol dan mencegah peyebaran penyakit di kemudian hari. Saat itu, sistem kerja mereka adalah membuat sistem peringatan dini, ketika ada salah satu negara anggotanya yang terjangkit sebuah penyakit menular, mereka dapat mengabari LBB, dari sini kemudian LBB memberi tahu negara anggota yang lain tentang cara bagaimana mereka dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi penyakit tersebut. Sukur-sukur mencegahnya masuk.

LBB juga biasanya mengirim bantuan teknis dengan mengirim tim ahli. Di balik itu, LNHO melakukan riset dan menjalin kerjasama dengan institusi pemerintahan maupun non pemerintahan untuk mencari obat atau penanggulangan dari penyakit yang ada. Nah WHO yang sekarang ada dapat dikatakan adalah lanjutan dari LNHO. Dengan sistem early warning tersebut, WHO hanya mengandalkan komitmen dan keterbukaan anggotanya. Misal ada salah satu negara yang menutupi kasus penyakit menyebar di negaranya, maka WHO otomatis tidak bisa memberikan peringatan dini kepada negara lain di waktu yang tepat.

Tahun 2003, Kementerian Kesehatan China melaporkan penyebaran kasus Pneumonia yang kemudian dinamakan sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tapi dalam mengklasifikasikan potensi pandemi dari penyakit ini otoritas China memakan waktu yang terlalu lama. Setelah berjibaku, WHO mengkoordinasikan Global Outbreak Alert and Response Network, WHO dengan sinergi beberapa negara kemudian dapat memberhentikan penyebaran SARS dalam waktu 4 bulan. 

Dari kasus SARS ini WHO sadar kalau mengandalkan kejujuran dan komitmen dari negara anggota saja tidaklah cukup, apalagi dalam kondisi genting yang mengancam nyawa banyak manusia. Akhirnya di tahun 2005 dibuatlah regulasi yang pada intinya memberikan WHO lebih banyak kewenangan untuk memberi peringatan untuk negara anggotanya akan potensi penyebaran sebuah penyakit, sebelum mendapatkan persetujuan dari negara sumber penyakit itu. Untuk mencegah politisasi data oleh suatu pemerintahan sebuah negara, WHO juga berwenang menyelidiki potensi penyakit menyebar dari data non pemerintah yang dianggap kredibel. 

Dengan regulasi ini, sangat membantu ketika kasus 2015 di mana kantor WHO Afrika mendapat laporan penyebaran virus Ebola di Guinea. WHO menjadi lebih leluasa mengirimkan asetnya ke negara sekitar untuk mencegah penyebarannya meluas. Meskipun masih banyak celah penyebarannya, dan WHO di sini mendapat kritik atas penanganan Ebola, tapi setidaknya WHO berhasil membendung penyakit tersebut.

Bagaimana dengan COVID 19?

Semenjak didirikan, misi WHO semakin berkembang dan meluas dari sekadar mencegah penyakit hingga sampai mencakup isu seperti obesitas, kecanduan dan perubahan iklim, sampai kecelakaan. Dengan misi yang semakin meluas tersebut, fokus dan prioritas WHO menjadi semakin tidak jelas.

Ditambah lagi, Direktur Jenderal WHO memilih untuk lebih mengutamakan peningkatan akses kesehatan di atas dari kapasitas WHO dalam merespon sebuah wabah penyakit. 
Misi ambisius ini berjalan mulus sampai akhirnya menemui masalah genting ketika anggaran belanja yang ada tidak dapat mengakomodir banyaknya misi WHO ketika kondisi pandemi datang.

Dari mana sumber keuangan WHO?
Pertama, dari iuran wajib seluruh anggotanya, dana iuran wajib ini dapat digunakan WHO sesuai kebijakan prioritas sang Direktur Jenderal. 
Kedua, dari dana sukarela. baik itu aktor negara, yayasan, perusahaan, dan organisasi internasional lain. Dana sukarela ini hanya boleh digunakan dalam aktifitas yang disetujui oleh donatur. Di sinilah permasalahannya.

Semenjak krisis finansial 2008, WHO justru semakin bergantung pada dana sukarela daripada iuran wajib, bahkan kontribusi iuran wajib dari negara anggotanya hanya 20% dari keseluruhan budget WHO. 80% sisanya berasal dari dana sukarela. Nah loh!

Dengan sistem ini memberikan organisasi atau anggota yang menjadi donatur pengaruh yang signifikan dalam prioritas WHO. Misal Bill & Melinda Gates Foundation, dana sukarela dari mereka sebagian besar ditujukan untuk memberantas penyakit polio. Apalagi yayasan ini merupakan penyumbang terbesar kedua yang menjadikan prioritas utama WHO mengikuti prioritasnya. 26,5% dari dana operasional WHO wajib dialokasikan untuk memberantas polio. Sedangkan untuk merespon wabah tertentu anggarannya hanya sekitar 6% saja.  

Dengan sistem ini pula, sejak tahun 1980 negara anggota WHO lebih memilih untuk memberikan sumbangan sukarela dibanding iuran wajib karena bisa meluaskan pengaruh politiknya. 

Minimnya dana, kurangnya independensi, dan permainan politik antar donatur sangat menghambat WHO dalam menangani COVID 19, ditambah lagi kepemimpinan WHO yang dinilai banyak kalangan cenderung lambat membuat organisasi ini tidak begitu dapat diandalkan kinerjanya.

Kemudian sebuah kisah berasal di Januari 2020, Tiongkok sudah melaporkan kepada WHO mengenai sebuah kasus pneumonia yang masih misterius di Wuhan, Provinsi Hubei. Berdasarkan media nasional setempat, penyakit ini mempunyai kemungkinan menular dari manusia ke manusia. Harusnya, WHO mengirim peringatan ke dunia akan potensi penyebaran penyakit ini. WHO justru mengklaim pada tanggal 12 Januari 2020 bahwa mereka menerima data yang menunjukkan tidak ada kasus yang ditakutkan tersebut. 

Sebelum itu, pada penghujung tahun 2019 Singapura, Taiwan dan Hongkong telah melakukan langkah preventif dengan memperketat pengawasan di bandara masing-masing. WHO justru mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Bahkan hingga akhir Januari 2020 WHO masih membuat penyataan bahwa upaya untuk menutup pintu kedatangan internasional tidaklah diperlukan. Ironisnya, China sendiri membatasi kedatangan warga asing di wilayahnya atas dasar mencegah penyebaran virus. Tapi kebijakan ini tidak mendapat kritikan atau respon dari WHO. 

Tidak adanya koordinasi dan sikap yang tidak tegas membuat banyak negara yang bertumpu pada sikap WHO menjadi bingung, Lha wong dalangnya bingung, apalagi wayangnya?

Presiden Amerika Serkat waktu itu, Donald Trump jadi frustasi karena efek COVID 19 ini sangat memukul negerinya, ia pun geram kepada WHO. Bahkan sampai mengancam akan mengurangi bantuan finansial AS kepada WHO. Di Amerika Serikat, jumlah korban jiwa akibat COVID 19 melebihi korban jiwa akibat perang Korea, Vietnam dan Iraq. 

Kalau Amerika benar-benar memangkas suntikan danannya kepada WHO, tambah sulitlah kondisi organisasi kesehatan dunia ini. Sudah dana operasionalnya cekak, ditambah 80% diantaranya harus mengikuti arahan donatur. 20% sisanya harus ikut arahan Direktur Jenderalnya yang lebih memilih untuk mengutamakan peningkatan akses kesehatan di masyarakat ketimbangan penanganan virus.
Belum lagi kalo ngomongin efek Jer*nx, makin pusinglah [s]kacung[/s] tim WHO.

Tulisan ini ditulis oleh Zen dan pernah tayang di cangkeman.net ( https://www.cangkeman.net/2021/08/kenapa-who-gagal-membendung-corona.html )[/url] pada tanggal 22 Agustus 2021.
Diubah oleh cangkeman.net 20-09-2021 15:05
emineminnaAvatar border
nurade247Avatar border
AraminaAvatar border
Aramina dan 9 lainnya memberi reputasi
10
5.3K
86
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan