lostcgAvatar border
TS
lostcg
Rentan Diskriminasi, Kolom Agama di KTP Mending Dihapus?


Rentan Diskriminasi, Kolom Agama di KTP Mending Dihapus?

Kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menjadi polemik. Ada yang mendukung tetap dipertahankan, ada juga yang menginginkan kolom ini dihapuskan saja karena tidak begitu berguna, dan malah berpotensi dijadikan alat diskriminasi pada pemeluk agama dan kepercayaan minoritas.

Sebelum 1965, ternyata kolom agama di KTP Indonesia tidak ada. Saat itu situasi politik Indonesia diwarnai oleh partai-partai Islam yang kuat seperti Masyumi, NU, PSII, dan Persis, maupun partai nasionalis, sosialis, dan komunis seperti PNI, PSI, PKI, Murba, dan lain-lain.

Namun, negara tidak ingin mencampuri urusan agama warganya melalui pencantuman di KTP. Yang penting saat itu ialah kohesi sosial tetap terjaga dan konsep kewarganegaraan lebih diprioritaskan, dilansir Kompas.

Pada 1965, isu agama mulai dicampuri oleh negara melalui UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. UU itu menjelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Keenam agama itu ditafsirkan oleh banyak masyarakat sebagai agama resmi yang diakui negara, buntut dari ketakutan bahaya komunisme yang dianggap tidak memiliki agama. Mereka yang tidak memiliki agama berpotensi ditangkap atau dihilangkan oleh pemerintahan Soeharto karena dianggap komunis, tulis Kompas.

Selain pengaruh doktrin bahaya komunisme yang tidak memiliki agama, di era itu juga mulai ada diskriminasi berbasis agama kepercayaan bagi orang Tionghoa.

Pada 1967, mereka dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Terlebih, kolom agama pada KTP mereka tidak boleh ada agama Konghucu. Nama yang digunakan orang Tionghoa juga harus menggunakan nama Indonesia, dan mereka kehilangan hak-hak sipil mereka di atas lempengan kartu bernama KTP, tulis Kompas.

Penulisan agama di kolom KTP juga berimbas pada pembedaan di sistem pemakaman berdasarkan agama.

Para penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan bahkan mengalami kesulitan, meskipun mereka kelak sudah tak bernyawa. Di pemakaman Kristen ditolak, di pemakaman Islam juga ditolak. Hal ini menjadikan mereka terpaksa menjadi bunglon agar urusan administratif yang membutuhkan kolom agama dapat selesai, catat Kompas.

Mereka yang didiskriminasi karena pengkotak-kotakan melalui kolom agama di KTP juga tidak dapat menikmati hak konstitusi. Pada 2016 lalu, Komnas Perempuan melaporkan tindak kekerasan dan diskriminasi atas kepercayaan leluhur bagi perempuan, dilansir Kompas.

Komnas Perempuan mengkategorikan ada tiga bentuk kekerasan yang diterima minoritas penghayat kepercayaan perempuan.

Pertama, kekerasan psikis dalam 14 kasus stigmatisasi dan 24 kasus intimidasi.

Kedua, kekerasan seksual dalam tujuh kasus pemaksaan busana dan tiga kasus pelecehan seksual.

Ketiga, kekerasan fisik dalam tiga kasus penganiayaan dan dua kasus pembunuhan, catat Kompas.

Selama 41 tahun, para penghayat kepercayaan yang sebelumnya terpaksa menjadi “bunglon” antara enam agama yang hanya diakui pemerintah itu, akhirnya dapat mengisi sebagai ‘Penghayat’ dalam kolom agama KTP pada 2019 lalu, dilansir Detik.

Sebelum mendapat pengakuan oleh pemerintah pada 2019, pada 2018 para penghayat kepercayaan mendapatkan nota keberatan oleh perwakilan enam agama sah, karena merasa berbeda kolom dengan aliran kepercayaan.

Akhirnya ada penambahan kolom kepercayaan yang diperuntukkan bagi Penghayat Kepercayaan, sedangkan bagi pemeluk agama, KTP tetap mengisi kolom Agama yang berlaku selama ini, tulis Detik.

Pengisian kolom agama ini juga pernah dibahas oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta 2014 lalu. Menurutnya, kolom agama di KTP Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dari negara tetangga Malaysia yang juga didominasi oleh Muslim, dilansir CNN.

Ahok mengatakan, pengisian kolom agama di Malaysia hanya diisi oleh pemeluk agama Islam, semata karena mereka menjalankan hukum syariat Islam.

Meski Malaysia tampaknya nyaman dengan kolom agama yang diisi hanya untuk orang Islam yang menjalankan syariat Islam, ada juga Mesir yang sama nasibnya seperti penghayat kepercayaan Indonesia.

Mereka mengalami diskriminasi administratif negara bertahun-tahun. Para pengikut agama Bahai Mesir pada 2009 akhirnya diizinkan oleh Kementerian Dalam Negeri mereka, untuk mendapatkan kartu identitas nasional tanpa mencantumkan secara salah keyakinan mereka sebagai satu dari tiga yang diakui oleh negara (Kristen Protestan atau Katolik, Islam, dan Yahudi), dilansir csmonitor.

Pengikut Bahai Mesir sama nasibnya dengan para penghayat kepercayaan Indonesia yang pernah menjadi bunglon agama lain dan mengalami berbagai tindak diskriminatif bahkan kekerasan. Apakah memang seharusnya kolom agama di Kartu Identitas Penduduk tidak usah dicantumkan sekalian?

Penulis: Ajeng Permatasari

Editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Ilustrasi KTP elektronik. (Foto: GATRA/Ardi Widi Yansah/ft)

https://www.matamatapolitik.com/kolo...-news-polling/

Betul, kolom agama di ktp dihapus aja nggak ada gunanya sama sekali
nomoreliesAvatar border
trac0neAvatar border
viniestAvatar border
viniest dan 6 lainnya memberi reputasi
3
2.8K
107
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan