redtardipAvatar border
TS
redtardip
RASIO UTANG TERHADAP PDB 41%, SAATNYA TARIK REM BU SRI (?)



"Utang negara lagi..." Mungkin itu yang ada di benak teman-teman semua ketika membaca judul tulisan ini. Merasa kesal dan jengah jika mengetahui utang negara yang mencapai ribuan triliun itu. Bahkan kekesalan itu berujung caci maki ke pejabat negara dan semua yang dianggap bertanggung jawab atas membengkaknya angka di saldo akun utang negara.

Ini adalah tulisan ketiga saya di kaskus yang bertema utang negara. Tulisan saya sebelumnya cukup mendapat tanggapan yang beragam dari kaskuser tercinta. Dan melalui tulisan ini, saya kembali mengingatkan kepada teman-teman semua tentang pentingnya literasi utang negara. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang dimana sebagian stimulus pemerintah yang diberikan kepada rakyat dibiayai oleh utang. Negara mana yang tidak seperti itu ??

Oke, saya akui memang ada negara yang tidak punya utang sama sekali. Tapi apakah ekonominya sebesar Indonesia ?? Saya rasa tidak.

Salah satu pemahaman utang negara yang paling penting adalah melihat dari berbagai sudut pandang. Utang negara bengkak sampai ribuan triliun, oke itu jumlah yang banyak tapi perlu dicatat untuk apakah uang ribuan triliun itu ?? Apakah untuk hal yang produktif atau konsumtif ?? Lalu bagaimana rasio utang terhadap produk domestik brutonya ?? Nah, pertanyaan yang kedua ini yang akan saya singgung karena dari data terakhir, angkanya naik cukup signifikan.

Quote:



Informasi naiknya rasio utang terhadap produk domestik bruto pertama kali saya terima di media digital bisnis.com dengan headline yang cukup menggelitik bila tidak di "klik". Sebenarnya saya hanya membaca paragraf pertama dari berita tersebut yang berisi informasi rasio utang terhadap produk domestik bruto sudah mencapai 41,64%. Setelah itu langsung saja saya cek di rilis APBN Kita Bulan April 2021 yang ada di website resmi Kemenkeu. Dan memang benar angkanya naik segitu.

Quote:


"Gimana nih bray?? Bu Sri perlu tarik rem nih buat ngutang lagi". Menurut saya selama belum melanggar peraturan pemerintah tentang batas rasio utang terhadap PDB kurang dari 60% maka tidak ada yang salah. Hanya saja informasi ini sebaiknya menjadi lampu kuning untuk Kementerian Keuangan karena angkanya sudah lebih dari 40%. Pihak kementerian harus mencari semacam exit strategy agar rasionya dapat terkendali.

Kebetulan ada akun Instagram yang saya ikuti memosting berita yang sama dan mendapat berbagai komentar menarik. Saya akan mencoba membahas komentar-komentar tersebut disini.

Spoiler for Komen 1:


Kalau pertanyaanya "ke siapa" maka jawabannya adalah "banyak". Salah satu instrumen penggalangan utang negara adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. Tentu saja semua pihak bisa dengan mudah membeli instrumen tersebut, tidak hanya orang-orang "gede". Dari korporasi sampai individu, dari direktur sampai tukang cukur semua bisa membeli obligasi atau sukuk dan ikut berkontribusi terhadap pembangunan negara.

Spoiler for Komen 2:


1. Maksimalkan pendapatan fiskal.
2. Jual aset negara.
3. Menggunakan devisa negara.

Setahu saya, pemerintah sudah melakukan poin 1 dan 3. Untuk poin nomor 2 resikonya terlalu tinggi.

Kabar baiknya, Indonesia sudah membentuk badan Sovereign Wealth Fund yang bertugas menghimpun dana dari investor dalam dan luar negeri untuk diinvestasikan ke berbagai proyek riil pemerintah. Dengan begitu ketergantungan akan utang bisa dikikis.

Spoiler for Komen 3:


Ndak tahu sih tapi setiap kali saya mendengar orang bilang "cetak uang" di pikiran saya langsung terbersit kata "inflasi". Cetak uang untuk investasi di negara menengah kebawah dengan mata uang dollar dan tingkat return tinggi menurut saya sangat beresiko. Cetak uang rupiah kemudian ditukar dengan dollar otomatis melemahkan kurs rupiah kita. Kemudian uangnya di investasikan ke negara menengah ke bawah yang resiko ekonominya lebih besar (walau dengan tingkat return yang jumbo) juga beresiko. Jadi dobel resikonya.

Spoiler for Komen 4:


FE ?? Flat Earth ?? Wah kalau benar yang dimaksud flat earth...skip saja yah...lanjut komen selanjutnya.

Spoiler for Komen 5:


Haduuhh...Yang dibahas apa, doi bahasnya apa.

Spoiler for Komen 6:


Pemerintah pasti sudah mengkalkulasi manfaat dan resiko saat memutuskan untuk berhutang. Termasuk resiko-resiko jangka pendek seperti utang yang sudah mendekati jatuh tempo. Selama menerbitkan surat utang pemerintah dapat meraup dana yang sangat besar yang berarti juga para kreditur percaya dengan kemampuan solvabilitas Indonesia.

Selain itu, meskipun hutang negara bertambah tapi lembaga pemeringkat seperti Moodys, Fitch, dan S&P mempertahankan peringkat kredit Indonesia. Artinya lembaga asesmen global tersebut menilai Indonesia dapat mempertahankan kondisi ekonomi di tengah guncangan pandemi.


Spoiler for Komen 7:


Itu beneran pihak JP Morgan bilang seperti itu ?? Kalau benar, mungkin yang dimaksud adalah emas sebagai underlying asset dalam mencetak uang kartal. Bukan emas sebagai mata uang.

Bagi teman-teman yang tetap bersikukuh bahwa emas dapat digunakan sebagai alat tukar dan alat penyelesaian pembayaran layaknya mata uang, saya ada 2 pertanyaan.

Pertama, sebagai komoditas yang tidak dapat diperbaharui, bagaimana cara menanggulangi kelangkaan emas di masa mendatang seandainya dijadikan mata uang ?? Lalu bagaimana menanggulangi disparitas ekonomi yang dialami negara-negara yang tidak dikaruniai SDA melimpah seperti Jepang dan yang lainnya ??

Kedua, seandainya emas dijadikan mata uang seberapa fleksibel kah emas dapat beradaptasi dengan kebijakan moneter bank sentral terutama kebijakan non konservatif seperti Quantitative Easing (QE) ?? Fyi, Quantitative Easing adalah kebijakan bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan cara membeli surat berharga dari pemerintah, perbankan, dan institusi lainnya.

Spoiler for Komen 8:


Data dalam rilis APBN Kita Bulan April 2021 menunjukkan bahwa sekitar 66,90% Surat Berharga Negara merupakan SBN domestik dan 67,09% utang pemerintah dalam mata uang Rupiah. Jadi, kreditur dalam negeri masih mendominasi.

Spoiler for Komen 9:


Menurut saya, rasio utang dibandingkan dengan PDB dijadikan "pagar terakhir" bagi pemerintah untuk menilai kewajaran utangnya. Jika utangnya sudah melewati "pagar terakhir" maka perlu dicarikan jalan keluar agar utangnya kembali ke jalan yang benar.

Lalu apakah PDB berbanding lurus dengan pendapatan negara ?? Tentu saja. Elemen PDB terdiri dari konsumsi, investasi riil, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor. Setiap aktivitas transaksi dari elemen tersebut pastilah dikenakan pajak. Jika nilai dari setiap elemennya besar maka otomatis pendapatan negara dari pajak ikut naik.




Quote:




Daniswara92Avatar border
dhickkristAvatar border
ichsAvatar border
ichs dan 37 lainnya memberi reputasi
34
6.8K
178
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan