dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Jalan Berliku Penghayat Kepercayaan Peroleh Pengakuan Negara


Berita Webinar 

Jalan Berliku Penghayat Kepercayaan Peroleh Pengakuan Negara

 September 22, 2020  Lutfi Retno  0 Komentar diskriminasi, Festival Inklusif 100%, pengakuan negara, Penghayat Kepercayaan, Webinar Inklusi

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 menjadi kabar baik bagi kelompok penghayat kepercayaan. Ini menjadi langkah penting dalam upaya memperjuangkan pengakuan dan eksistensi kelompok penghayat kepercayaan sebagai bagian dari warga negara.

Hal itu disampaikan Amar Kuliatu Zahro dari Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Banyumas dalam Webinar: Seri 2 Festival Inklusif 100 % yang bertema ‘Yang Beda, Yang Memberi Warna: Mewujudkan Pelayanan Publik yang Inklusif bagi kelompok Penghayat di Desa’ pada Senin, 21 September 2020.

Menurut dia, Keputusan MK Ini telah mendorong para penghayat untuk memunculkan identitasnya dalam data kependudukan. Sehingga dengan begitu mereka pun memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya.

Amar menceritakan bagaimana mereka memfasilitasi perubahan data kependudukan.

Mula-mula, MLKI mendata para penghayat yang bergabung di dalamnya untuk melakukan perubahan data kolektif. Tak hanya itu, MLKI pun menggelar serangkaian dialog sebagai wadah bagi kelompok penghayat untuk memperkenalkan diri. Dengan begitu, masyarakat pun bisa mengetahui keberadaan mereka. Dengan harapan muncul penerimaan dan rasa saling menghormati.

Langkah itu dinilai strategis. Bagaimana tidak, kelompok penghayat memang kerap kali menjadi korban praktik-praktik diskriminatif hingga kekerasan.

Kelompok Penghayat Jadi Korban Diskriminasi Hingga Pengucilan

Ketua Puan Hayati Pusat, Dian Jennie Cahyawati, menjelaskan bahwa sebagian besar praktik diskriminatif dan pengucilan terjadi akibat dari adanya perbedaan kepercayaan.

Di berbagai daerah, kelompok penghayat juga kerap mendapat label negatif sebagai yang tidak ber-Tuhan. Penyudutan ini mengakibatkan banyak penghayat kemudian enggan menunjukkan identitasnya.

Secara psikologis hal ini menyebabkan penghayat merasa inferior.

Praktik diskriminatif yang mereka alami pun cukup beragam. Mulai dari sulitnya mencatatkan perkimpoian, pengakuan identitas, pekerjaan, pengurusan kematian, mendirikan tempat ibadat, hingga stigma negatif. Termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan oleh Negara lewat pemaksaan agama resmi.

Akibatnya, tambah dia, dari 188 organisasi kelompok penghayat yang ada, 27 di antaranya kini sudah tak aktif lagi.

Jumlah anggota kelompok penghayat ini cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak anggotanya yang beralih memeluk agama lain karena mengalami beragam diskriminasi. Termasuk aturan Negara yang tidak ramah terhadap kaum minoritas.

Sebagai gambaran, kelompok penghayat ini memiliki cara menyembah, peribadatan, dan pemimpin yang beragam. Mereka ini muncul dari kearifan lokal di bumi Nusantara yang berakulturasi dengan nilai luhur bangsa.

Penghayat berpegang teguh pada harmoni antar sesama manusia dan Sang Pencipta. Upacara yang dilakukan di masing-masing daerah juga memiliki kekhasan karena menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Dian Jennie percaya bahwa negara seharusnya melindungi setiap penduduk agar menjalankan agama dan kepercayaan tanpa ada tekanan. (*)

https://inklusifseratuspersen.id/202...gakuan-negara/
yeduokaAvatar border
yeduoka memberi reputasi
1
273
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan