hermeneutikaAvatar border
TS
hermeneutika
ODADING 'IRON MAN'
"Odading mang Oleh, mmmmmm

Rasanya seperti Anda menjadi Iron Man". 

Kalimat – kalimat dari Mang Ade Londok tiba – tiba viral di media sosial yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh ahli merketing. Bahkan Gubernuer Jawa Barat mengatakan S3 - Marketing. "Saya sedang berada di Jalan Baranangsiang Bandung bersama S3 Marketing Indonesia Mang Ade Londok. Beliau bisa membuat satu produk jadi terkenal salah satunya skill bahasa,(https://kumparan.com/kumparannews/odading-mang-oleh-s3-marketing-hingga-ade-londok-jadi-duta-kuliner-jabar-1uDGtBD7XQL/full).

 

Bahasanya sederhana, sehingga mengundang konsumen untuk datang ke lokasi Odading Mang Oleh yang terletak di Baranang Siang. Apa yang di tawarkan oleh Mang Ade Londok adalah odading dengan rasanya seperti menjadi Iron Man, dua hal itu sebetulnya sudah ada sebelum Mang Ade Londok memperkenalkannya, Odading adalah roti khas Bandung, sementara Iron Man adalah pahlawan super hasil ciptaan dari Marvel's The Avengers. Dua hal itu disatukan tanpa perencaan yang matang, tanpa adanya atau ide sebelumnya untuk merangkai kata “Rasanya seperti Anda menjadi Iron man”.

 

Mang Ade Londok, berhasil melakukan dekontsruksi total terhadap periklanan yang selama ini di lakukan oleh kebanyakan orang, Mang Ade Londok melakukan perihal yang di luar kebiasaan iklan masif masa kini, walaupun ada kalimat – kalimat yang tidak baik untuk di suarakan ketika mengajak orang. Bahkan realitas yang ada,  Mang Ade Londok, tidak (sedang) benar- benar menjelaskan produk (Odading) yang diiklankan secara jelas (Odading). Namun pada kenyataannya, justru banyak konsumen datang setelah melihat kelucuan video tersebut, hingga dia didaulatkan oleh Gubernur Jawa Barat, untuk menjadi duta kuliner di Jawa Barat.

Kebanyakan milenial yang datang ke lokasi Odading Mang Oleh, yang membuat mereka penasaran adalah seperti apa menjadi Iron Man itu?, apakah benar setelah makan Odading Mang Oleh, akan menjadi Iron Man, atau hanya rasanya saja seperti menjadi Iron Man?, hanya karena penggabungan dengan nama pahlawan super Iron Man, milenial menjadi tertarik untuk datang, bahkan rela hadir dan ‘ngantri’, bahkan sempat ada juga Polisi yang mengatur antrian agar jarak jarak / Social distancing, mengingat situasi saat ini masih berada di dalam kondisi Pandemik.

 

Tahun 2020 ini adalah awal dari pergeseran marketing, bahkan jauh sebelum 2020 datang, marketing di Indonesia sudah mulai bergerser, berjalan beriringan dengan semakin maraknya pengguna sosial media di Indonesia. Ada yang mengatakan saat ini, dunia (termasuk Indonesia) sedang berada dalam skala revolusi Industri 4.0, dengan tidak dapat dibantahkan lagi semuanya unsur kehidupan dikerjakan dengan teknologi, akan banyak yang hilang pekerjaan – pekerjaan yang semula di kerjakan oleh manusia, nantinya teknologi yang cukup berperan. Sadar atau tidak sadar, E – Money, sudah menggantikan petugas Tol yang berjaga setiap detik di pintu masuk dan pintu keluar. Entah apa yang akan terjadi nantinya, mungkin saja kita sudah bisa pulang pergi antar Planet.

 

Mungkin kondisi saat ini adalah arus kesadaran umat manusia yang tertunda, padahal sudah sejak lama di ingatkan oleh Jean Baudrillard. Bahwa dunia saat ini sedang berada di nuansa Posmodernis, adalah lompatan paradigma lama (modernis) menuju sesuatu yang baru. Rasanya seperti Anda menjadi Iron Man yang di cetuskan oleh Mang Ade Londok, ada pada posisi posmodernitas. Walaupun Mang Ade Londok sendiri tidak paham apa itu Posmodern, tetapi cara – cara itulah termasuk ke skala posmo, di sadari ataupun tidak Mang Ade Londok sudah melakukan dekontsruksi terhadap pemasaran yang orientasinya hanya kepada produk saja.   

 

Cara yang dilakukan adalah tidak semata – mata iklan Odading, bukan produknya, tetapi ada unsur agar orang tertarik, yakni dengan menambahkan ‘rasanya menjadi Iron Man’. Posisi Jean Baudrillard sangat menolak peniruan yang masif(itu – tu saja), terhadap hasrat / keinginan memiliki satu produk yang ditimbulkan dari meniru hasrat orang lain (mimesis).

 

‘Iron Man’ dalam iklan Mang Ade Londok, adalah manipulasi– semiotik, agar orang tertarik. Akan tetapi, Mang Ade Londok sendiri tidak menyadarinya, kalau itu adalah sebuah manipulasi – semiotik, dalam anggapan Mang Ade Londok hanya sekedar ‘senda gurau’ buat lucu – lucuan saja, tetapi menyimpan tanda yang sangat luar biasa.   

 

Di tengah aktifnya pergeseran paradigma modernitas saat ini, tidak hanya viralnya seseorang, menyoroti juga kondisi pendidikan sudah mulai bergeser, teknologi sudah semakin mendapatkan tempat, zoom, google Meet, Google Clasroom, adalah sarana yang dapat digunakan oleh Guru / Dosen untuk memberikan pengajaran. Cerdas?, memang semuanya bisa dikerjakan tanpa tatap muka, itu adalah kecerdasan yang bisa ditransferkan dengan sarana teknologi. Akan tetapi, unsur manusianya menjadi hilang.

Saya sempat baca      nasehat dari KH. Dimyati Rois, dari salah satu pos di https://twitter.com/igo_alam/status/1186273497066008576"Jika anda menjadi guru hanya sekedar transfer pengetahuan, akan ada masanya di mana anda tidak lagi dibutuhkan, karena Google lebih cerdas dan lebih tahu banyak hal daripada anda”.  Kondisi saat inilah sangatlah terasa sekali, semua materi kuliah / Mata Pelajaran dari SD, SMP, SMA, semuanya sudah disediakan oleh Google, tinggal klik satu kalimat, google akan jauh lebih cerdas daripada menyuruh Guru untuk menerangkan satu kalimat, semua itu menyiratkan bahwa akan ada masanya di mana Guru / Dosen sudah tidak akan dibutuhkan lagi, kalau itu hanya transfer pengetahuan saja, apa bedanya dengan mesin ATM, hanya sebagai alat trafser saja?. Bukankah pendidikan itu untuk mengembangkan potensi para peserta didik (Siswa / Mahasiswa) untuk memiliki kekuataan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan? Ini adalah amanat dari UU – sistem Pendidikan Nasional.

 

Terbukti dengan hanya sekolah kepada Google, dengan hanya mengandalkan kekuatan teknologi Mang Ade Londok, tidak bisa menjaga tutur katanya, ketika berbahasa, akhirnya “besar karena kalimat / kata – kata kasar, jatuh juga sama dengan kata – kata yang kasar”. Mang Ade Londok mendapatkan peran di awal sudah sangat bagus, saya kasih nilai nilainya A- (A Untuk pemasarannya, - Untuk kata – kata kasarnya), akan tetapi karena tidak ada guru, entah dari mana ia belajarnya, maka keluarlah kalimat – kalimat dengan sangat kasar. Tidak jelas guru marketingnya, sehingga kata – kata kasar yang ada dia keluarkan hanya untuk sekedar lucu – lucuan, sebenarnya tidak lucu setidiktpun.  

Mungkin kalimat ‘baik’ adalah biasa, sebab orang sunda sudah tidak asing lagi mendengar atau mengucapkan kalimat itu, ketika mendapatkan sesuatu hal yang merugikan dirinya, ajakan dengan paksaan. Saya, Anda Kita semuanya pasti sepakat, kata- kata tersebut sangat tidak enak didengar, sangat menggangu terhadap pendengar kita, dan pasti kita sakit hati kalau ada orang yang melontarkan  walaupun digunakan saat bercanda.

 

Tiba – tiba dari Mang Ade Londok, yang bukan siapa – siapa, tidak dikenal oleh orang banyak, bukan seorang public figure, saat ini Follower Instagramnya melonjak. Ini satu bukti kalau berkaya saat ini, di era Revolusi Industri 4.0 sudah pasti, akan meningkatkan citra nya, sebaliknya juga kalau di era sekarang ini, satu kalimatpun yang menyinggung orang lain / sekolompok golongan tertentu, hati – hati akan banyak yang mencibirnya. Bahkan bisa sampai berurusan dengan hukum.

Mang Ade Londok, seolah sudah sangat terkenal sekali, sehingga kalau tidak membeli Odading mang Oleh, maka tidak gaul sama Mang Ade Londok, tapi sayang, ajakanya akhiri dengan kata – kata ‘baik’, apa artinya? Apakah, harus membeli Odading mang Oleh?, sehingga kalau tidak membelinya saya adalah ‘baik’?     

 

Sampai tulisan ini dikonstruksikan menjadi keutuhan satu pergulatan antara Odading, Pemasaran, Posmodern, Iron Man sampai Revolusi Industri 4.0, saya bukan teman Mang Ade Londok, saya tidak gaul sama dia, tetapi saya hanya mencoba untuk memberikan analisis yang sederhana ini, mengapa seviral itu, sampai mengalahkan popularitas Captain America?.

Apakah mang Ade Londok sedang menyusun pantun? Atau apa?, terlihat tidak ada satu kesatuan makna, tetapi bisa jadi kalimat yang baru, sehingga kaum milenial terbiasa dengan kalimat “Ikan hiu makan tomat”, kalimatnya padahal biasa saja, apanya yang aneh, apanya yang lucu? namun ketika ada orang yang mengatakan “Katak makan kacang”, menjadi tidak lucu, dianggap sedang meniru Mang Ade Londok, atau ada yang mengatakan “Odading Mang Oleh, rasanya seperti Anda Menjadi Hulk’, kalimat - kalimat ini tidak akan viral, sebab sudah di awali sebelumnya oleh Mang Ade Londok, itu adalah kenyataan, yang ada. 

Lupa daratan, atau kacang lupa kulitnya. Mang Ade Londok akhirnya banyak yang mencibir juga, akibat kalimat – kalimatnya yang menyentuh dengan rasa sakit perasaan dan menyakitkan Netizen. Akhirnya menjadi tidak lucu lagi, ketika dengan kata – kata kasar,  membawa nama  Binatang, dengan menggunakan kata – kata “baik”, dalam setiap postingan videonya. Akhirnya Netizen tidak kuat dengan rusaknya bahasa Sunda / lunturnya etika orang Sunda, apa yang terjadi, Netizen ramai – ramai mencibir Mang Ade Londok. (https://jabar.tribunnews.com/2020/10/25/kena-batunya-akibat-hujat-pemotor-video-klarifikasi-permintaan-maaf-ade-londok-dinantikan-netizen). Coba lihat tautan ini: https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-01866658/sempat-dapat-peringatan-dari-ridwan-kamil-aksi-ade-londok-kali-ini-justru-tuai-kecaman. Ini adalah salah satu cibiran dari Netizen untuk Mang Ade Londok.

 

Ketika sudah terkenal, hebat dan bisa mendapatkan penghasilan dari media sosial dengan hasil karya. Sebaiknya bersikap dan bertutur kata dijaga, tidak semua orang enak mendengar kalimat – kalimat yang kasar. Ini artinya, harus ada model pengawasan terhadap pengguna media sosial, ketika ingin berkarya, dan seandainya melalui karya itu orang bisa viral, maka ada semacam pengawasan untuk pembuat karya agar lebih berhati – hati.

Media Sosial (Instagram, FB, Twiter, dll) sebaiknya dijadikan media pengawasan, terhadap para penggunanya, walaupun secara kasat mata tidak ada pengawas secara langsung ketika orang yang menggunakan media sosial memiliki tujuan dan maksud tertentu. Mungkin konsep panoptikondari Michel Foucault bisa diinterpretasikan untuk mengawasi pengguna media sosial agar disiplin, tanpa perlu di awasi para pengguna media sosial merasa di awasi, yakni melalui adanya unsur kekuasaan dan pengetahuan.

 

Dalam fikiran yang jenius dari Michel Foucault, panopticon adalah tidak sekedar sebuah design penjara sebagaimana konsep awalnya dari Jeremy Bentham, sebab fakta geneologisnya, panoptikon adalah suatu mekanisme untuk menundukan manusia, sehingga tingkat disiplin menjadi terkendali. Panoptikon adalah ide dasar pengawasan untuk pendisiplinan, atau sebagai strategi pengawasan dengan tidak harus para pengawas ada dan hadir di depan yang di awasi.

Panoptikon akan lebih efesien dan menguntungkan apabila menempatkan orang di bawah pengawasan daripada hanya sekedar memberikan hukuman yang sifatnya menyakitkan kepada pelanggar / pendusta secara hukum.

 

Pesan yang hendak saya sisipkan untuk saya pribadi dalam tulisan ini adalah, displin dalam bertutur kata, sebab “ Hade goreng ku basa" artinya "baik buruk situasi ditentukan oleh komunikasi". (https://www.instagram.com/p/BanZMIhDSHQ/).

alifa0110Avatar border
guntaraa691Avatar border
ihsanrasyad290Avatar border
ihsanrasyad290 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
515
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan