Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Sebuah Cerita Tentang Kita
Hal apa yang paling membahagiakan dari sebuah pekerjaan? Sebagian orang mungkin akan menjawab gaji atau jabatan tinggi. Namun, bagi Nagara dan sembilan temannya, yang paling membahagiakan adalah liburan.

Setelah nyaris satu bulan berkutat dengan pohon dan belukar di belantara, mereka akhirnya bisa bernapas lega. Nagara dan tim berhasil meringkus sekelompok mata-mata yang siap melakukan penyerangan. Alhasil mereka diganjar liburan panjang oleh atasan sekaligus bonus karena telah menyukseskan misi.

Kesepuluh pria berbadan tegap dan potongan rambut nyaris serupa itu memutuskan merayakannya di sebuah restoran dekat pantai. Sudut paling eksotis sudah di-booking. Meja-meja dan kursi ditata memanjang agar cukup menampung para prajurit bangsa itu.

Gelak tawa pecah saat satu dan yang lain saling melempar guyonan. Abai pada sudut bibir yang membiru karena sempat adu hantam. Pun seolah lupa pada beberapa luka yang mereka dapati sebelum ini.

“Binatang ini suka membuka mulut lebar dan hobi berkubang di air lumpur. Binatang ini biasanya?” Bayu melempar teka-teki, yang langsung disahuti oleh yang lain.

“Kuda nil.”

“Kerbau.”

“Buaya.”

Lagi-lagi gelengan yang Bayu berikan sebagai respons, membuat teman-temannya mengerutkan kening, lantas menyerah.

“Jawabannya adalah ....” Bayu sengaja menjeda kalimatnya, memandang mereka satu per satu, lantas kembali membuka mulut, “Ke-na-flu.”

Sontak semua tertawa. Beberapa mencibir. Nagara bahkan sampai terbungkuk-bungkuk mendengar jawaban teka-teki versi Cak Lontong yang nyeleneh itu. Namun, tawanya redup tatkala intro sebuah lagu tertangkap telinga.

Faktanya, kadang sebuah lagu memang mampu mengubah suasana hati seseorang. Kadang hanya dengan mendengar beberapa liriknya bisa mengakibatkan kecamuk hebat di dada, juga kepala.

(Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita)

Dan begitu saja, Nagara seolah tersedot ke dalam pusaran waktu. Menjatuhkan tubuhnya di tempat berbeda, tujuh tahun yang lalu. Tempat di mana seorang gadis jelita berada.

***

Entah siapa yang salah di sini. Pelayan kafe yang salah mencatat atau unsur ketidaksengajaan yang mengakibatkan sebuah takdir berjalan.

“Mbak, saya pesennya americano, kenapa jadi green tea?” protes Nagara kepada pelayan kafe. Bertepatan dengan seorang gadis yang turut mengangkat tangan, menanyakan minumannya yang salah.

Sejenak mereka saling pandang. Lantas terkekeh. Minuman mereka tertukar. Alhasil dua insan beda gender itu saling berkenalan, lalu memutuskan duduk satu meja.

“Kenapa gak suka kopi?” tanya Nagara. Menatap gadis berhijab yang mengenalkan diri bernama Nena.

“Hidupku udah terlalu pahit untuk meneguk kepahitan yang lain,” gurau Nena yang segera disambut kekeh oleh lelaki di depannya.

“Kamu penulis?” tebak Nagara.

Sejenak netra Nena melebar, dia mengangguk. “Kok tau?”

Lelaki itu mengedikkan bahu. “Biasanya yang ucapannya hiperbolis kayak gitu adalah orang yang hoby ngayal.”

“Hei, perkataanmu itu seolah kami adalah para pemalas.”

“Memang begitu, kan?” Nagara mencebik, “Penulis sama dengan pengkhayal.”

Mulut Nena terbuka, takjub dengan orang yang baru dikenalnya ini. Dari yang dia lihat, Nena tebak Nagara adalah tipe lelaki kaku yang tidak doyan bercanda. Dia maklum. “Bagi aku pribadi menulis adalah penyembuh. Menulis membantu otakku tetap waras,” ucap Nena, dia memandang Nagara lekat. “Dan kamu tau, Nagara, buku juga bisa sarana pertolongan bagi orang lain.”

Lelaki itu mengerutkan kening, sedikit tidak setuju dengan penjelasan Nena. Baginya, menulis tetaplah kegiatan pemimpi yang terlalu muluk. Sebut saja novel-novel romance yang kadang tidak masuk di akal. Menggambarkan sosok pasangan kelewat sempurna. Itu jelas-jelas di luar nalar, kan?

“Kamu gak bisa nyamain semua penulis kayak gitu?” sanggah Nena setelah Nagara mengeluarkan unek-uneknya. “Ya, memang ada beberapa yang begitu, lalu kenapa? Kalau itu bisa menghibur mereka dan pembaca. Ada sekelompok pembaca yang lebih suka bacaan ringan, serupa dongeng Cinderella. Bukan karena berharap pasangan seperti tokoh novel, tapi karena ... untuk menyenangkan diri sendiri, karena bisa jadi dari situ mereka mampu tersenyum,” terang Nena panjang dengan mata menerawang.

Nagara adalah tipe lelaki realistis, menggunakan otak untuk segala suasana. Dia nyaris tidak pernah melibatkan perasaan, apalagi jika itu menyangkut lawan jenis. Namun, entah kenapa pertemuannya dengan Nena mengusik sesuatu di dalam rongga dadanya.

[Sedang apa?] Dia bahkan mempertaruhkan egonya demi bisa mengirim pesan kepada Nena.

[Apa yang akan dikerjakan pengkhayal macam aku, Nagara?]

Nagara mendengkus, lalu tertawa. Jempolnya lantas bergerak lincah di atas papan ketik layar ponsel. [Sosok lelaki macam apa yang tengah kamu bayangkan? Sepertiku?]

[Jika aku jawab iya, apa itu masalah?]

Nagara merasa seperti orang gila hanya dengan berbalas pesan seperti itu. Bibirnya terus terkembang, melengkung bak bulan sabit. Hal yang tidak pernah dia alami sebelumnya. [Ada syaratnya.]

[Apa?]

[Makan malam denganku.]

Setelahnya mereka semakin dekat. Faktanya, bersama Nena membuat mindset Nagara berubah. Dia lebih bisa menggunakan perasaannya. Intuisi kalau kata Nena.

Gadis itu telah menginvasi nyaris seluruh hati Nagara. Gadis yang tak hanya mengubah Nagara menjadi pencemburu tapi juga penggombal ulung. Gombalan yang hanya ditujukan untuk Nena tentu saja.

“Kamu tau, Nena, hampir sebagian besar prajurit menginginkan gelar jendral, penguasa tertinggi,” ujar Nagara di sebuah kafe tempat biasa mereka bertemu. “Tapi, tidak untukku.”

“Lho, kenapa?” Kening gadis berhijab biru itu berlipat.

“Karena ....” Nagara sengaja menjeda, menatap wajah di depannya. Menikmati ekspresi keingintahuan itu yang membuat tangan Nagara gatal untuk mengelus keningnya. “Hal yang paling aku inginkan adalah hidup berdua denganmu.”

“Apaan, sih, gombal, deh!” Nena membuang muka, menyembunyikan rona merah di wajah. Hal yang membuat Nagara tersenyum lebar. Selalu menyenangkan bersama Nena, termasuk membuat gadis itu salah tingkah seperti saat ini.

“Aku serius, Nena,” ucap Nagara mantap. Bagi lelaki itu apa-apa yang keluar dari mulut prajurit serupa janji yang harus dipikul tinggi. Kalimatnya beberapa saat lalu mungkin terdengar serupa rayuan para predator cinta. Tapi itu murni keluar dari hati.

Nena kembali menatap lawan bicaranya. Mencari kebenaran dari sorot sepekat malam itu. “Kamu ....”

“Menikahlah denganku!” tegas Nagara yang membuat Nena urung berucap dan memilih menutup mulut karena haru.

“Kamu gak lagi bercanda, kan, Ga?” tanya Nena setelah cukup menguasai diri. Masih belum percaya dengan ungkapan pemuda yang belum genap setahun di kenal.

Nagara meraih tangan gadis itu di atas meja. Menggenggam erat tanpa menyakiti. “Kamu tau, setelah mengenalmu aku baru percaya cinta. Menghabiskan waktu yang yah ....” Dia mengedikkan bahu, “Tidak bisa dibilang lama bersama kamu bikin aku ngerti makna ingin memiliki.”

“Tapi ....”

“Aku gak bisa menjanjikan apa-apa karena kamu sendiri juga tau kerjaan aku kayak apa, tapi tekad untuk selalu membahagiakan kamu akan terus jadi prioritasku,” jelas Nagara panjang, mencoba meyakinkan gadis di depannya.

Tidak mudah untuk Nagara jatuh cinta. Trauma masa lalu akibat keluarga broken home membuatnya anti pati dengan perasaan sentimental itu. Dia kerap mencibir temannya yang kadang bertingkah aneh saat menyukai seseorang. Pun menggeleng tak percaya saat beberapa di antaranya mengaku rela melakukan apa pun untuk kekasih hati. Bagi Nagara itu hanyalah bualan sesaat. Kebohongan besar.

Namun, kini, dia seperti termakan omongan sendiri. Dia jatuh sejatuh-jatuhnya pada sosok berparas manis itu.

Anggukan Nena berikan sebagai jawaban yang sontak membuat Nagara mencondongkan badan. “Kamu terima?”

Dan saat jawaban ‘iya’ yang dia dapatkan, Nagara tidak mampu menyembunyikan antusiasnya. Hingga membuat beberapa pengunjung menoleh karena seruan Nagara yang seolah mendapat hadiah besar. Tentu saja, karena bagi Nagara, Nena lebih dari hadiah biasa.

Hari-hari Nagara nyaris tidak ada yang terlewati tanpa senyuman. Kendati sempat cedera di lutut saat latihan, dia tetap menerima dengan lapang. Teman-temannya sampai menjuluki si sinting yang dimabuk asmara.

“Kamu semakin lihai menggombal, Ga,” ujar Nena di suatu sore.

Nagara baru saja selesai melaksanakan misi khusus di negara tetangga. Dia bahkan masih mengenakan seragam lorengnya saat menemui gadis itu. Beralasan bahwa rindunya sudah di ambang batas kritis. Takut keburu mati jika tidak bertemu. Hal yang kemudian membuat Nena mencibir.

“Mungkin karena terlalu banyak menerima cinta darimu, Na.”

“Apaan, sih, Ga?” Nena memukul dada lelaki itu, yang segera ditangkap. Membiarkannya tetap di sana.

“Kamu merasakan itu?” Nagara menunduk, menatap Nena lekat. Dia kembali bersuara setelah mendapat anggukan sebagai jawaban, “Detakkan itu hanya untukmu, Nena Anisa.”

Netra Nena diselimuti lapisan bening. Haru dan bahagia. Dia tidak pernah menyangka akan jatuh ke dalam pesona seorang Nagara.

***

Barangkali kisah cinta mereka terlalu manis, terlalu mulus tanpa ada aral melintang. Hingga kemudian Tuhan memberi sebuah cobaan.

Nagara memandang perempuan yang duduk di bangku taman itu. Lantas mendekat, berjongkok di depannya. “Jangan terlalu dipikirkan itu cuma mimpi,” katanya.

“Tapi, kamu tau kan, mimpiku yang kayak gitu udah sering jadi firasat,” ujar Nena. Selaput bening menghiasi netra. Napasnya tidak beraturan, efek dari emosi yang tertahan.

Lelaki yang memakai kaus loreng pres badan itu meraih jemari si perempuan. Menangkup dalam genggaman. “Gak akan ada yang tau takdir Tuhan, bahkan peramal paling hebat sekalipun, Sayang.”

Nena berdecak, berusaha melepas tangannya, tapi tidak bisa. “Kamu inget gak waktu Kity mati? Dua malem sebelumnya aku mimpi denger suara ambulans.”

Nagara menarik sudut bibir, sedikit menahan tawa. “Kamu nyamain aku dengan kucing?”

“Kamu jelas tau bukan itu maksudku!” ujar Nena ketus. Dia melengos, enggan berbagi tatap dengan pemuda itu.

“Iya, Sayang, aku ngerti kok. Jangan ngambek dong!” tangannya terulur ke sisi wajah Nena, memaksanya kembali saling berhadapan.

“Kamu tuh gak ngerti, Ga!” Nena masih bersikeras. Lantas dia mengingatkan lagi tentang kecelakaan yang dialami ayahnya. Sehari sebelumnya dia pun bermimpi suara ambulans yang begitu nyata. Entahlah, Nena merasa itu semacam firasat buruk yang patut dikhawatirkan.

Sialnya, semalam dia memimpikan hal yang sama. Semenjak bangun pikirannya sudah tidak tenang, dipenuhi berbagai bayangan negatif. Menebak, apa gerangan yang akan terjadi.

Lalu ketika lima belas menit lalu Nagara mengatakan tentang operasi militer yang baru, Nena tahu untuk siapa firasat itu. Sontak dia dibuat semakin cemas. Tidak rela melepas kepergian Nagara.

“Kamu minta saja cutinya diajukan. Kita nikah bulan ini saja,” usul Nena. Mereka memang akan menikah dua bulan lagi. Semua persiapan nyaris 90 persen rampung.

Kali ini Nagara tidak mampu menyembunyikan senyum lebarnya. “Duh, kesayangan aku, udah ngebet banget, ya?” godanya, menjawil hidung perempuan berhijab biru itu.

“Ga, aku gak becanda, ya!” Namun, usaha Nagara untuk membuat Nena tersenyum tidak mempan. Perempuan itu justru terlihat semakin cemas. Jemari yang berada di genggamannya bahkan terasa dingin.

Nagara menghela napas, jika boleh jujur, sesungguhnya dia pun enggan berpisah dengan Nena, calon istrinya. Jika bisa dia akan memilih menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati. Andai mampu, dia ingin segera melangsungkan pernikahan itu, seperti kata Nena tadi.

Namun, sebagai seorang abdi negara dia mempunyai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Panggilan dari atasannya tadi pagi adalah perintah yang tidak bisa ditolak. Ada pergerakan di perbatasan yang disinyalir sebagai markas teroris. Dan sebagai seorang prajurit, melindungi negara adalah prioritas. Dia tidak mungkin menolak, kan?

“Aku tahu,” ucap Nagara, serius. “Rasa cemas itu manusiawi, Nena. Tapi, bukankah kita harus selalu berpikir positif pada Tuhan? Lagi pula kita pernah berpisah seperti ini sebelumnya, kan?”

Ya, terpisah jarak dalam hitungan hari bahkan minggu sudah lumayan sering mereka alami. Pekerjaan Nagara yang tidak biasa, menyebabkan mereka harus terbiasa dengan hubungan jarak jauh.

Nena menelan ludah kelat. Kerongkongannya seperti terganjal batu besar, mencipta sakit dan sesak. “Tapi aku takut, Ga.” Satu tetes cairan bening lolos, mengaliri pipi. “Aku takut ini akan jadi saat terakhir kita bersama. Ini tuh gak kayak biasanya.”

Nagara mengusap air mata Nena dengan ujung jempol. “Aku gak bisa menjanjikan apa-apa, karena maut adalah rahasia Tuhan. Satu yang bisa kita lakukan, mari sama-sama berdoa, agar kita bertemu lagi ....” menjeda kalimat, Nagara menatap Nena lekat lantas kembali berucap, “Aku akan berusaha menjaga diri dan kembali untuk kamu ... untuk kita.”

Pada akhirnya mereka tetap harus berpisah. Tidak ada alasan untuk Nagara mangkir dari tugas. Pun tidak ada alasan untuk terjadinya sebuah takdir yang kadang tidak dimengerti.

Ya, Nagara memang baik-baik saja sampai misi itu berhasil. Namun, tidak dengan Nena.

***

“Bro!” Tepukan di pundak menyadarkan Nagara. Didapatinya Bayu yang memandang cemas. “Lo gak papa?”

Nagara berkedip, seluruh panca indranya kembali merespons keadaan sekitar; pada tatapan teman-temannya, pada denting sendok, pun pada lagu itu. Lagu yang sempat membuatnya terjebak di masa lalu.

Dia berdehem, “Gue gak papa. Kalian kenapa? Ayo lanjutin lagi!” Tersenyum, dia berusaha terlihat baik-baik saja.

“Lagunya ... mau diganti?” tawar Bayu hati-hati.

Alis Nagara berjengit, kembali sendu itu bergumul di hati. Dia menelan ludah kelat. “Paan, sih, timbang lagu doang.” Dia mengibas tangan di depan wajah, tertawa hambar. Lantas buru-buru menyesap minuman sebagai pengalihan.

***

Nyaris setiap tanggal dua belas Nagara mendatangi tempat ini. Membawa sebuket lily putih, dan mengobrol banyak. Dia menceritakan apa saja yang telah dilalui. Tersenyum, tertawa, dan tak jarang netranya berkaca-kaca. Seolah apa yang ada di depannya mendengar.

“Aku naik jabatan, Nena. Bonus karena lagi-lagi misi kami berhasil.” Dia tersenyum.

“Iya, aku memang sehebat itu. Kamu lihat, kan, bintang di pundakku bertambah satu.” Mengangkat sebelah bahunya yang baru saja berganti tanda. Bintang lima.

“Aku seorang jendral, sekarang, Nena.” Dia tertunduk, teringat kembali percakapan mereka dulu.

Rasanya baru kemarin dia mengobrol banyak dengan Nena. Membahas mimpi, masa depan, dan juga pernikahan mereka. Namun, seperti sapuan ombak besar di pantai, semua lenyap, hanyut serupa pasir.

“Nena kecelakaan ....” Telepon yang dia terima dari ibu Nena tujuh tahun lalu pun masih kerap terngiang. Seperti alarm di dalam kepala.

Faktanya takdir memang kadang seunik itu. Hal yang tidak dia cita-citakan justru menghampiri seiring waktu. Berbanding terbalik dengan keinginannya sendiri. Mimpi untuk hidup bersama Nena tidak pernah menjadi nyata. Tidak akan pernah.

Tangannya terulur, menyentuh pusara dengan nama Nena Anisa. Kekasihnya yang telah tiada.

Kadang seseorang hadir hanya untuk menjadi sebagian cerita dari kisah panjang kehidupan. Namun, kadang yang sebentar itu justru yang paling terpatri di hati. Menjadi sebuah kisah tak tertulis yang tak lekang tergerus waktu. Sebuah cerita tentang kita.

Tamat

Sumber gambar: pixabay
brina313Avatar border
delia.adelAvatar border
raniaraniAvatar border
raniarani dan 17 lainnya memberi reputasi
18
2.3K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan