pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-VIII Berawal dan Berakhir
           “Grrooog”, sura pintu besi bergeser memberi jalan aku dan Odik untuk keluar dari pekarangan rumah, aku lihat ditepi gerbang sana ibu dan bapaknya Mira berdiri mengantar langkah aku dan Odik.

                “Suksema pang banget gus, (terimakasi banyak)”, ibunya Mira mencakupkan tangannya keearahku yang telah duduk diatas jok motor.

                “Gih Ibu, (iya ibu)”, aku membalas dengan senyuman meski tidak disuguhi kopi atau jajan selama bertamu, “Nanti inget Peluasang (tanyakan) ke orang pintar ya, biar tidak salah langkah!”, ucapku men-stater motorku dengan tenaga langsegan (tendangan) kaki.

                Motor bebek lawas pun bersuara kencang, “Tiang (saya) pamit ibu”, Odik melambaikan tangan menaiki jok belakang sembari menjinjing kresek berwarna hitam.

                “Nggih gus Odik, (Iya gus Odik), besok ibu bakal obatin Mira-nya ke orang yang lebih tau, kalian hati2 di jalan”, ibunya Mira menjawab sambil mengangguk mendengar kata2nya Odik, segera motor aku gas berputar turun ke jalan aspal.

                Bapaknya Mira tak berkata apapun disaat menggeser kembali pintu besi itu dan melangkah masuk kedalam rumahnya, disusul istrinya meninggalkan aku dan Odik yang masih diatas motor yang menyala.

                “Yon, baru pertamakali aku melihat hal yang seperti tadi”, kata Odik melihatku yang masih tengok kanan kiri di jalan, meski tidak ada satupun kendaraan yang melintas disana.

                “Patuh (sama)”, jawabku singkat, menyadari aku yang masih celingukan tidak nyebrang dijalan Odik mungkin merasa ada yang aneh.

                “Yon apa antiang cai?. (kamu nunggu apa?), udah sepi begini!”, dia menepuk pundaku beberapa kali

                “Dik, cobakin not di rurunge ene! (coba lihat jalan ini!), aku menengokan kepala kearah jalan raya dan beberapa rumah warga yang masih menyala lampunya menandakan sang pemilik belum terlelap di peraduan, Odik memandangi jalanan yang meski sepi tapi masih mengisyaratkan para manusia disekitarnya masih ada terjaga tapi.

                “Kenapa tidak ada yang menolong kita tadi ya?”, sebuah pertanyaan yang ingin aku ajukan ternyata keduluan oleh si Odik.

                “Nah to ba (nah itu dah)”, aku merasa kejadian yang tadi itu tidak berefek kepada orang2 yang ada di luar pekarangan rumah ini, bagaimana bisa, dentuman dan kilatan cahaya serta teriakan orang2 didalam rumah ini tidak didengar oleh tetangga.

                “Ada kekuatan yang Nyerung (Mengurung) pekarangan ini mungkin Yon!”, kembali Odik mengeluarkan argumen yang mungkin akan mendapat hadiah uang tunai untuk kedua kalinya, tapi kalau itu terjadi berarti sungguh luar biasa sosok yang sengaja membuat keluarga Mira ini sakit.

                “Dik, kayaknya menurutku dibawah gerbang sana masih ada yang terkubur selain beda di tanganmu itu”, Odik melirik jijingan kresek di tangannya, kemudian melanjutakan tatapan kearah gerbang rumah Mira, Odik terdiam sesaat memperhatikakan pintu las besi itu.

                “Yon tanah ne!”, Odik terkejut, kemudian aku ikut menengok gerbang tepat dibelakang motorku, beberapa gumpalan tanah yang nampak basah kehitaman yang anehnya berbeda warna dengan tanah dibawah gerbang, berhamburan disana seperti habis di keskes (garuk) ayam.

                “Tanah setra (kuburan), pantesan”, aku sadar bukan hanya sosok tak kasat yang dikirim ke rumah Mira, tapi ada juga manusa blegeran (manusia biasa), yang datang membantu sosok didalam sana dengan membuat pelindung dan pelemah sehingga orang didalam rumah ini lumpuh ketiduran tidak berdaya.

                “Wahyu!, iya!, waktu ini dia menaburkan sesuatu, pantas tidak ada yang aku temukan, ternyata dia menaburkan tanah diatas tanah!”, Odik menghentakan badan membuat Shockbreaker belakang motorku bergoyang.

                Kecurigaanku pada Wahyu masih tetap sama meski sosok ibunya menolongku tadi, kalau saja ibunya mengakui menolong Mira lantas kenapa membiarkan anaknya mengenai Mira dengan pengasihasih (pelet), yang notabene tidak perlu anaknya lakukan kalau saja ibunya sakti.

                “Memene nulungin panakne Yon! (ibunya membantu anaknya), supaya mudah mendapatkan Mira, pasti ibunya memberikan si Wahyu sarana (alat/jimat) !”, Odik memecahkan lamunanku, aku tidak menjawab, takut kalau diskusiku ada yang menguping dibalik pintu besi rumah dibelakang motorku.

                “Grung..Grung..” motor aku  gass menyusuri jalan raya meninggalkan rumah yang akan menjadi kenangan masa smp sampai sudah dewasa sekarang.

                “Bisa gen Bik (Bisa aja dik)”, ucapku ketika sudah agak jauh, “Oh aja!, (Oh iya!), kamu lihat saat aku narik bapak dan ibunya Mira”, tanyau pada Odik dibelakang.

                “Liat!!, gila kamu!, semangat sekali nariknya, padahal yang ada cuma cahaya sekecil kunag2 tapi kok takutnya minta ampun?”, benar dugaanku, siapa sasarannya hanya dia yang bisa melihat penenyerangnya, Odik tidak akan mengetahui apapun sebab dia tidak menjadi sasaran dari mereka termasuk.

                “Ada api nyander (menerjang) kamu pas lari ke gedong tadi”, pancingku, “Sekenan?!!, Apa sing ada tepuk cang!! (beneran?!!, gak ada apapun yang aku lihat!)”, jawabnya heran, benar ternyata sosok yang menyerang hanya memfokuskan pada keluarganya Mira serta padaku yang membantunya, tapi tidak ada urusan dengan kawanku dibelakang ini.

                “Bagaimana mungkin sosok penyerang tadi tau aku yang mengintrogasi Mira?, trus apa salahku kenapa diserang?, hanya ibunya Wahyu yang mengetahui aku disana, harusnya dia yang menyerangku, lalu yang menyelamatkan aku itu siapa?, kenapa mau diam saat aku panggil sebagai ibunya Wahyu?,"

              "Lalu kenapa bukan Odik saja yang dihantam?, bukannya kalo si Odik kolaps maka tidak akan ada lagi yang mengganggu hunbungan anaknya dengan si Mira?, tidak akan ada lagi orang2 yang mungkin lebih hebat dariku yang dibawa Odik kerumahnya Mira karena tidak terima diputusin begitu aja...  kleng (sial) !!”, aku termenung dalam lamunan yang ternyata tidak menyelesaikan teka-teki kasusnya Mira ini sampai motorku mau keluar jalur.

                “Yon bangun!, kampret!”, Odik menepu bundaku berkali2 mengira aku ngantuk, aku tekejut dan kembali fokus ke jalan desa yang kini mulai jarang ada rumahnya.

                “Apa mungkin Mira kembali mencintaiku Yon?”, pertanyaan dari Odik memecah suara bising kenalpot motorku, aku melirik sepion motorku menampakan wajah si Odik dengan helem keluaran terbaru dikepalanya.

                “Mungkin saja, yen suba jodoh tusing lakar kija (kalau sudah jodoh tidak akan kemana)”, jawabku singkat memberi sedikit harapan kepada temanku ini.

                “lalu perjanjian si ibunya Wahyu dan Dadong (nenek)-nya Mira bagaimana?”, aku terdiam mendengar perkataan yang agak nyekak dan nyeter itu. sesaat mencoba ngulehang (mengusahakan) isi kepalaku tentang ensiklopedia disana.

                “Yah... entahlah, manusia kan bisa ingkar janji”, aku jawab seadanya, walau sebenernya bagiku ini bukan jawaban tapi ngelses aja, lama2 aku jago ngeles bicara soal mistis begini.

                Malam begitu hening dari suara manusia dan alat2 ciptaan mereka, kini yang ada hanyalah suara merdu dari bintang malam serta lagit yang gelap ditaburi kelip bintang juga embun membasahi kaca helemku.

                Kanan kiri sekarang cuma ada hamparan padi yang hijau belum berbutir dengan cahaya kuang2 beseliweran, rumah dan minimarket sudah tidak ada nampak cahanyanya lagi dan jalan juga sudah menyempit dan bergelombang.

                Badanku merinding menyusuri jalan sepi menuju kuburan desa tetanggaku ini yang ternyata masih begitu terpencil, aku takut kalau saja sosok2 mengerikan tadi masih menyimpan dendam kemudian mengikutiku, dan sekarang bersembunyi diantara rerimbunan semak yang aku lalui kemudian melompat menerkam saat aku lengah.

                “Iiihh!!,, jiping jiping.. (amit amit)”, aku mengigil merinding membayangkan itu, kalau saja ada mahluk menyeramkan bersembunnyi di sudut gelap, pas dilihat gak ada trus pasa di saru-saru (tidak diperhatikan), merayap mendekati, dan saat dilihat lagi langsung nerjang, ngegigit dan nyekek.

                “Uhhh!!”, aku menggigil lagi “kleng apa ci ne ()”, Odik terlihat kesal melihat reaksi ‘ah ih uh’ ku tadi langsung menepuk punggungku berkali2 dengan agak keras, aku menyadari ternyata kebanyakan nonoton film horor itu tidak bagus.

                Motorku berhenti ketika sampai pas digerbang gapura masuk menuju kuburan Desa Adat ***** yang begitu menyeramkan dengan sulur merambat dan tanaman pakis2 menempel di gapura itu. Enatah kenapa aku tidak yakin parkir didepan, yang menurutku terlalu mencolok, takutnya ada yang curiga dan menuduhku mencari benda yang aneh2, soalnya kami berdua bukan berasal dari desa ini.

                “Ngoyong malu Dik de tuun, (diam dulu Dik jangan turun)” aku mencegah Odik, segera aku lajukan sedikit motorku agak kepojokan jalan yang agak rimbundan gelap sehingga tidak ada kemungkinan melihat keberadaan kami.

                “Ngudiang joh kene ci parkir?, (Ngapain kamu parkir jauh gini?)”, Odik turun dari motor menatapku karahku yang lagi mekekeh (kesulitan) men-Standar Doubel motorku, tangan kanan Odik dengan sigap menarik behel belakang motorku sehingga jongkrak terpasang rapi.

                “Takut ada ne ngintip, (takut ada yang ngintip)”, ucapku sambil membuka jok belakang mengambil kamben dan senteng (selendang) lantas melemparnya pada si Odik.


             “Nyen?!, (Siapa?!)”, Odik kelihatan masih kepo celingukan melihat sana sini,

             “Minab ne nyemak tanah setra, (Mungkin yang ngambil tanah kuburan)”, kataku mencoba mengingatkan tanah yang ditabur didepan rumahnya Mira.

                Odik menunjukan ekspesi marahnya lagi mendengarnya, yang menurutku lebih mirib ekspresi orang kebelet buang air, mungkin kenangan indahnya bersama Mira nongol lagi, aneh juga masa didepan kuburan keingetnya, biasanya kan di tempat romantis, aneh.

                Aku mengambil satu lagi kamben dan selendan serta segera menlingkarkannya dipinggangku begitu juga Odik yang mengikutiku, segera juga aku ambil 1 sisir pisang emas yang sengaja aku taruh di jok dari rumah sebelum berangkat bersama Odik.

                Jok itu aku tertutup rapat serta kuncinya aku simpan baik2 dalam saku celana takut kalo seandainya hilang, dan pake Flas HP nyari kunci ilang di kuburan, menurutku bukan cerita lucu buat dijadikan pengalam, langkahku disusul Odik menuju gapura kecil didepan sana,

                “Om Suastiastu”, ucapan salam mengawali pijakan pertamaku masuk keareal kuburan, tanah yang ditutupi rumput basah terkena embun malam memberi aroma yang membuat merinding, belum lagi pohon2 besar menjulang tinggi berdaun rimbun, beringin besar bergoyang ditiup angin malam dingin menyusup kulit, daun yang beguguran ditengah malam terkena cahaya bualan lebih mirib sebagi bayangan mahluk menyerampak dimataku.

                Gumuk dan patok batu berukir nama menyambut kedatanganku dan Odik berjejer rapi, terbayang  tanah itu terbelah dan sosok mengerikan melompat keluar terus saja meracuni otaku, padahal disana tidak ada apa, cuma jangkrik.


ilustrasi kuburan dari internet (sebenarnya kuburan dalam cerita berbeda dengan ilustrasi, kuburan dicerita tidak dibuat permanen dengan semen dan keramik hanya gundukan tanah dan batu nisan saja, sebab suatu saat  akan kembali digali untuk diaben/dibakar) ilustrasi kuburan bali susah dicari.

             Odik melangkah tepat dibelakangku, begitu tepat sampai terasa menempel, matanya menatap lurus mengikuti jalan setapak dari semen dan bebeapa anak tangga dengan patung2 Cikrabala (tukang hukum di neraka) melotot membawa pedang dan gada.

                Ahirnya kami sampai didepan Pura Prajapati (pura Dewi sang pengusa kuburan), kami behenti didepan gerbangnya tanpa berani masuk, aku pun Matrur Piuning (Mohon ijin), “Hyang Ibu hamba dan teman ingin menemui dadonya (nenek) Mira, tolong tunjukan hamba jalanya dan mudahkan jalan hamba”, aku mencakupkan tangan disusul olih Odik.

                Aku meirik agak diujung sebuah pusaran dengan patkonya yang begitu mencolok, kemudian melangkah kesana, tepat sekali ternyata terukir nama dari dadong (nenek)-nya Mira.

                “Nah ne apa!, (nah ini dia!)”, aku berbisik kearah Odik disebelahku, “langsung gen uliang,(langsuing aja kembalikan)” Odik mengeluarkan isi kresek yang diu jiningnya kepadaku, segera aku ambil dan berjongkok disebelah pusaran yang nampak paling bersih dari yang lain dengan rumput yang dipotong pendek dan bekas Punjungan (pemberian kepada yang meninggal bisa berupa makanan roko yang dialasi daun dapdap sebagai piringnya/ di daerah saya begitu entah didaerah lain mungkin berbeda), menunjukan pusaran ini sering dikunjungi oleh sanak keluarga yang terbaring dibawahnya.

                 “Kleng uluk-uluke cang nok, (sial ternyata aku dibohongi)”, gumamku dalam hati yang terdalam, aku merasa bego mengira ucapan ibunya Wahyu itu benar melihat dari sikap bapaknya Mira yang tak acuh, kalau keluargnya si Mira jarang ziarah kesiani, memang kadang orang berilmu agak ngolah (ngatur) orang yang dia anggap lolo (tidak cerdas)

                “Dadong, ne tiang Pion dong ane pidan biasa ngancukang bunga, (Nenek, ini saya Pion yang dulu miasa nyariin Nenek bunga)”, aku berkata pada dadongnya Mira yang beristirahat dialam sana, sesaat ingatanku mundur kemasa saat kerja kelompok dirumah Mira dan bertemu dengan Neneknya Mira.

                Orang yang ramah dan baik, ketika aku berhasil memetik bunga kamboja dengan galah maka uang IDR 1K akan diberikan neneknya Mira padaku uang yaang banya bagi anak seusiaku saat itu mungkin tidak berarti sekarang kecuali 1K di Sosmed, tidak ada sosok orang sakti yang menguasai ilmu jahat kata orang yang tergambar dari wajahnya hanya sosok wanita tua keibuan yang senang dengan anak kecil semua dianggap cucunya sendiri.

                “Ne uliang yang sabuk dadonge, (ini saya kembalikan stagennya Nenek)”, aku mengelar setagen itu  seolah melilit pusaran yang aku bayangkan memakaikan itu pada Neneknya Mira.

                “Tulungin uli kedituan nah cucun dadonge Mira gelem ada ne ngencanin, tulingin ye pang nyak seger, selamet rahayu sehat sekeluarga dong, (Bantulah dari alam sana cucunya nenek sekarang mira lagi sakit, bantu biar dia sembuh, selamat dan sehat sekeluarganya nenek)”, kulanjutkan dengan curhat masalah anak cucunya disana.

                “Nggih dong (iya nek), baang ja tiang ngajak cucune dong, diolas dadong de nuel2 cara ipidan tiang melali kemu, (kasi saya ngajak cucunya nenek, tolong jangan marah2 seperti dulu waktu saya ngapel kerumah)”, Odik ikut curhat disana, aku hanya menatap heran kearahnya yang jongkok dibelakangku.

                “Kresek Kresek...!!”, terdengar suara daun kering seperti diinjak sesuatu, bola mataku berkeliling mencari sumber suara,  badanku dingin full dari kemapa sampai kaki mendengarnya begitu juga Odik yang semakin nempel dengan punggungku.

                “Kresek..Kresek..Kresek!!”, suara itu terdengar semakin keras “BLAR!!”, aku terkejut berbalik badan begitu juga Odik yang menerjangku, aku memejamkan mata takut mahluk mengerikan seperti tadi jatuh ada didepanku.

                “Ampura (maaf),  Hyang Durga Dewi ampura,”, ucapku berdoa pada ibu penguasa kuburan jikalau ini peringatan darinya.

                “Dadong ampun!! dong ampunn!”, Odik malah merancu ke neneknya Mira.

                Kemudian semua hening, aku memberanikan diri menengokan kepalau kebelakang dan membuka mataku perlahan melihat apa yang terjatuh, bisa aku lihat didepanku pohon kelapa tinggi menjulang dan danyuh (daun kelapa kering) di pangkal batangnya.



                 “Ah cuma ulungan danyuh (daun kelapa kering jatuh)”, aku bernafas lega menggeleng menyaksikan yang aku lihat. Mataku mencari keberadaan temanku Odik yang ternyata, dia merem ketakutan dihadapanku yang jongkok saling berpelukan dengannya, kamipun saling tatap beberapa saat.

                “IIIHHH!!!” aku dan Odik mental mendorong satu sama lain lebih takut dari pada melihat mahluk gaib.

                “Johang iban caine! (jauhin!)” ucapku kesal, “cai masi johoin cang (kamu juga jauhin!)”, Odik menjawab dengan nge-Gass juga, ahirnya aku dan Odik melangkah kecil menuju jalan keluar, Odik dibelakangku mencolek punggungku, ketika hampir sampai gapura.

                “Plak..Plak..Plak!!”, suara benturan karet sendal jepit dengan aspal samar2 dikejauhan memecah keheningan malam dan menghentikan langkahku,

                “Ada ne teke Yon! (ada yang dateng Yon!)”, Odik ternyata mendengarnya lebih awal dariku.


                “Mengkeb!!, (Sembunyi!!)”, hanya itu kata yang terucap dariku, yang panik mencari tempat bagus untuk sembuyi saat suara itu semakin keras mendekat, sampai aku lihat anak tangga entah kemana, segera aku naiki disusul Odik aku lihat diatas ujung anak tangga beton itu beberapa pusaran kecil yang ternyata adalah Setra Bebajangan alias Sema Rare (kompleks kuburan bayi).

                “Plak..Plak..Plak!!”, suara langkah kaki berjalan cepat yang kemudian tak terdengar lagi menunjukan si pengendara sudah berhenti tepat diareal masuk kuburan ini. Aku dan Odik tiarap di bersembunyi di pemuun (pembakaran mayat) yang disemen berbentuk persegi, aku dan Odik tengak-tengok, tegang dan takut kalau saja kami ketahuan dan dihajar warga kampung dituduh mencari tulang bayi sebagai jimat judi.

                Suara langkah mendekat menunjukan siapa orang itu “Hah itu kan!!!”, Odik berbisik ditelingaku yang sama2 tiarap disebelahnya seperti seorang sniper penembak jitu.

                Bersambung....
nomoreliesAvatar border
nomorelies memberi reputasi
1
640
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan