pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-VI Sebuah Janji
      “Me (Me/ Meme: sebutan ibu dalam bahasa daerah), kenapa Me yakin sekali anak ini bakal menjadi menantunya me?”, tanya Odik,

          “Tidakkah Me sadar kalau saya sudah pacaran dengan Mira?, kenapa Me tega sekali menganggu hubungan kami?, apa salah saya pada me?”, sambungnya kembali.

           “Sing ada ne pelih, (tidak ada yang salah)”,  ujar Mira dengan lirih sambil memejamkan mata.

              “Gus tidak tau apa2 yang terjadi sebenarnya, ne dong jatuh karman guse, (ini bukan jodohnya kamu), percayalah jalan kamu bukan disini, iklaslah jika kamu memang benar-benar menyayangi anak ini”, sosok itu mencoba menjelaskan pada Odik.

            Tentunya rekasi Odik hanya mengeratkan gigi sampai berbuyi tanda Odik tidak terima begitu saja ucapan sosok yang mengaku sebagai ibu si Wahyu yang kini ada dalam tubuh pacarnya yang tergolek lemah dipangkuannya.

                “Saya tidak menyangka ini bakal terjadi, ketika saya terlalu jauh melangkah menyelesaikan masalah keluarga saya, bukan dengan jalan yang benar, tapi dengan jalan yang cepat meski sangat salah malah tetap saya lakukan”, ujar sosok ibu Wahyu itu, kata2nya sangat susah aku mengerti , malah mirib teka-teki yang diucapkan sepotong2.

                “Suatu ketika saya kalah bertarung dengan seseorang, sebagai taruhan saya sudah berjanji jika kalah siap untuk mati  tapi dengan 1 syarat, saya mau akan mati jikalau sudah punya Pertisentana (keturunan) seorang cucu.  Dia yang mengalahkan saya merasa tersentuh dengan ucapan saya yang teguh dengan janji, dia pun menjadikan saya sebagai adiknya dan saya menjadikan dia sebagai mbok (kakak perempuan) saya, dan ahirnya kami menjadi saudara”. 


ilustrasi pertarungan dari internet (Siat Peteng atau bertarung adalah cara yang dilakukan untuk mengadu kemampuan ilmu tertentu bertujuan mengetahui siapa yang lebih tinggi  ilmunya atau mungkin dengan tujuan2 yang lain, biasanya dilakukan dimalam hari dengan taruhan menang kalah yang tidak main2)

              Sosok yang ngaku ibunya Wahyu ini menjelaskan dengan penuh penghayatan dan bahkan beberapa kali menitihkan air mata, tentunya aku tidak akan mudah percaya semua ini, sebab kadang orang dengan kemampuan ilmu seperti ini sering Mogbog (berbohong) untuk mengadu domba kita, intinya sementara skeptis dulu, bukan karena tidak yakin Indonesia bisa bikin satelit.

                “Sampai suatu ketika mbok (kakak angkat ibunya wahyu) merasa bahwa waktu ajalnya sudah dekat, dia berpesan kepada saya kalau...”

                “Mbok dot pesan penyamaan mboke jak luh luung kene, diastun tuah di niskala, edot pesan masih mbok ngeratepang penyamaan iragene di sekala, mangde sing ensap panak cucun iragane buin pidan dini mbok kelawaning iluh suba dadi nyama sehidup semati. Luh, ne mbok ngelah cucu eluh abesik, keto masi iluh ngelah panak muani abesik, lan jani atepang ajake dadua!, apange luh ngelah ane madan cucu, ane bakal dadi serana luh nuut pejalan imboke. kewala ingetang luh!, sayangang pesan cucun mboke!,  sawireh ada jatma benjul ne bakal ngeleg pemargi urip cucun mboke, yadiastun ma toh urip!, ede pesan luh makirid mebala pati!, jaga-jaga iye sekonden pegat luh mangkain digumine!. Nah amonto mbok ngidaang nyambat mabesen kapining iluh, jani mbok lakar mati, de pesan iluh sebet!, sedarmaning ne idup pastike lakar mati, jantos mbok iluh ring pura dalem, yen suba galahne pastika iraga bakal matemu, lan prasida ngatuang ayah bareng jak dadua ring Ida Hyang Bhatari Dalem.”

                “Kakak ingin sekali persaudaraan kakak dengan kamu baik seperti ini, meski saat ini hanya di dunia yang tak kasat mata, ingin rasanya kakak menyatukan persaudaraan kita di dunia yang sesungguhnya, supaya anak cucu dan keturunan kita tidak lupa bahwa leluhurnya sudah menjadi saudara sehidup semati seperti saat ini. Dik, ini kakak punya satu cucu perempuan, begitu juga adik mempunyai satu orang anak laki-laki juga, mari kita jodohkan mereka berdua!, supaya adik punya cucu yang bakal menjadi syarat kamu bisa ikut dengan kakak. Tapi inggatlah dik!, sayangilah cucunya kakak!, karena ada orang jahat yang mencoba merusak perjalanan hidupnya, walaupun mempertaruhkan nyawa!, jangan pernah kamu mundur membelanya sampai mati!, jagalah dia semasih kamu bernafas didunia ini!. Itu saja pesan yang bisa kakak sampaikan kepadamu, sekarang kakak bakal mati, jangan pernah adik bersedih!, semua sudah jalannya yang hidup pasti bakal mati, kakak tunggu kamu di Pura dalem, kalau memang sudah waktunya kita pasti bakal bertemu lagi, dan bisa kembali bersama mengabdi pada Ida Hyang Bhatari Dalem.”

             (nb: menurut kepercayaan lokal, jiwa orang yang meninggal setelah melalui Tegal Pengsaran atau tempat menerima hukuman akan ditugaskan bekerja di Pura, entah sebagai tukang bersih2, tukang masak, atau lain sebagainya layaknya manusia normal, mereka mengabdi kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai penguasa pura tersebut, para roh ini akan bekerja sampai waktunya mereka ditarik kembali dan ditempatkan di sanggah/pura keluarga dan menunggu direngkarnasikan kembali ke keluarga mereka *mohon maaf jika keliru, sangat susah dijelaskan*)

             Semua orang dikamar itu kembali terdiam, adiknya Mira dengan wajah serius memandang orang tuannya.

            “I Dadong (Dadong bahasa Balinya nenek) berarti pak!”, keluar sebuah pertanyaan dari mulutnya, “Pidan (Dulu) waktu di rumah sakit Dadong sempat bilang  kalo kak Mira sudah dicarikan suami”, pertanyaan itu ia jawab sendiri.

           “Meh sing ja ada keto!!, (mana ada begitu!!), ibu saya tidak ada pernah bilang begitu!”, bapaknya mira menanggapi dengan bentakan, tentu saja bapak2 ini punya keraguan jauh lebih tinggi dari aku.

               “Mangkin dumun, (tunggu sembentar)”, ibunya mira menengahi, “kalau benar begitu kenapa tidak anda bilang langsung kepada kami?”, sambungnya lagi.

               Mira menggelengkan kepala, “Kalian berdua terlalu sombong”, terucap kata ketus kepada orang tuanya sendiri, tentunya yang ngomong bukan Mira. “apakah Jero lupa?, setiap pagi saya datang membeli bunga yang Jero jual di pasar, dan setiap itu juga saya bilang kepada Jero bahwa saya punya pesan dari mertuanya Jero. Tapi apa Jero mendengar saya?, Jero hanya sibuk menghitung uang dan menganggap saya seperti orang gila”. Ibunya mira terdiam mendengar ucapan sosok itu matanya nampak kembali meneteskan air.

             “Jero ne lanang (tuan yang cowok: maksudnya bapaknya mira), setiap senja saya lewat memetik bunga didepan rumah Jero, saya tau Jero lanang sibuk bekerja setiap hari untuk Ngemertanin (menghidupi) keluarganya Jero, setiap hari juga saya lihat Jero rajin sembahyang, tapi apa artinya baktinya Jero kalau setiap rahinan (hari khusus untuk melakukan uapacara agama, maaf kalau salah susah sekali diterjemahkan) Jero tidak pernah Mepunjung (ziarah) ke pusaran ibunya Jero?, apakah lupa dilahirkan seorang ibu?, atau senang ibunya meninggal?”.

           “Suud suud!!, (sudah sudah!!)”, potongku segera, ini sosok diawal tadi disuruh bicara tidak mau, sekarang malah nyeroscos, disuruh ngomong dikit malah buka kisah keluarga orang.

             “Seken saja tutur me dadi gugu ne?, (benar ucapan ibu bisa di pegang?)”, Odik kembali menegaskan keraguannya atas kata2 Ibunya Wahyu ini, sembari beberapa kali menggeserkan badan yang kelihatan mulai pegel disandar Mira.

              “Kalau saya bohong tidak mungkin saya bisa ada disini!, saya berani dikutuk kalau bohong, Betara Hyang Guru dan para leluhur yang berstana (bertempat) di sanggah kemulan (pura keluarga) ini yang mengijinkan masuk kedalam tubuh anak ini, kalau saja tidak mungkin saya sudah hangus bahkan sebelum menginjak natah (pekarangan rumah) ini”, sosok itu meyakinkan atas apa yang ia ucapkan.

             “Nah lamon keto, (oke lah kalo begitu), apa sarana yang Me gunakan menyakiti anak ini?”, ucapku segera ketika melihat jarum jam 9 malam, takut kelamaan anak ini bisa kehabisan tenaga.

            “Saya tidak ada menyakiti!”, kembali ibunya Wahyu bersikukuh dengan kebenaran yang ia bela, bagiku semua ini sama saja, entah benar salah yang penting selesai.

            “Mbok (kakak) ada memberikan sesuatu untuk menjaga tempat ini, itu saya kubur di lawang pemesu (gerbang pintu utama)”, ahirnya yang aku tunggu2 diungkapkan juga, aku harus ambil benda itu, tapi aku penasaran dengan sesuatu yang ingin aku tanyakan dulu.

            “Nyen sejatine ne tawang me nyakitin?, (lalu siapa sebenarnya yang ibu tau menyakiti Mira?), tanyaku kepada Mira yang kemudian menggelang-gelengkan kepala enggan menjawab, aku tau kode etik mereka, tidak boleh secara gamblang mengatakan siapa musuh siapa kawan, kenapa?, ya karena nyawa jadi taruhan kalo gebuh (mengumbar sembarangan).

               Mira kemudian mendekatkan wajahnya padaku sebari berbisik, “disini semuanya Nyungsang (terbalik), yang menyayangi bisa menyakiti, yang dianggap menyakiti justru paling menyayangi”, ucapnya padaku, aku mengangguk mencoba memahaminya. “Alih di Sanggah, (cari di Sanggah)” sambungnya lagi.

             “Binjep tujuang nah me!, (nanti tolong tujukan bu!), sekarang me pulang dulu!” kataku kemudian menuang air kelapa ketanganku.

              “Iya saya pamit”, Mira mencakupkan kedua tangan didadanya, segera aku tuangkan sedikit demi sedikit air kelapa di tengkuknya mira yang kemudian aku gosok dan tepuk pelan, perlahan Mira mulai membuka matanya.

             “Ibu..ibu..!!”, jerit mira memanggil ibunya, nampaknya kini Mira sudah berkuasa kembali dengan tubuhnya sendiri, ibunya segera meluncur memeluk anaknya, mereka berpelukan erat menangis haru laksananya entah berapa tahun tidak ketemu.

           Odik perlahan bangun dan perlahan berjalan keluar kamar setelah berdiri beberapa detik memandangi Mira, segera aku susul langkah sahabatku, aku lihat dia duduk bersandar pada tiang bangunan wajahnya lemas, cape dan pasrah, sesekali ia menyeka keringat didahinya yang mengalir deras.

          Aku pun ikut duduk di teras bagunan itu bersebelahan dengan Odik yang kemudian kami beradu pandang dia hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah katapun, menyiratkan sebuah perasaan yang sama seperti aku alami, bingung mau apa.

           “Wik.. wik Odik!”, sebuah panggilan lembut mengejutkan kawanku, rupanya Mira memanggil dari dalam kamar, segera Odik melangkah masuk ke dalam kamar berpapasan dengan bapaknya mira yang melangkah keluar sambil mecik pelengan (memegang jidat).

                Aku persilahkan ia duduk disebelahku, biar pernah sekali2 tamu ngajakin tuan rumah duduk di rumahnya sendiri. Ku ambil rokok disaku yang dibelikan Odik kemarin, aku tawarkan ke bapaknya Mira, malu2 agak ragu diambil juga sebatang, untung tidak sebungkus bisa tekor aku, ini saja di beliin.

               Asap rokok itu mengepul dari mulut kami berdua, beberapa kali asap rokok itu dihembuskan bapaknya Mira dengan menatap kosong langit malam yang diterangi cahaya bintang.

           “Sudah banyak kabar2 di jalan yang Pak dengar bahwa..”, bapaknya mira terhenti dan menghisap rokoknya lagi.

               “Bahwa ibunya pak, Dadong (nenek) nya Mira dituduh menguasai ilmu Pengeleakan (leak: ilmu gaib, penjelasannya panjang), Pak kesal sekali mendengarnya!, semua Pak anggap sebagai cara orang tidak bertanggung jawab menjatuhkan nama keluarga Pak dimasyarakat!”. Aku mengangguk paham mendengar penjelasan ayahnya Mira.

              “Sampai ahirnya beberapa tahun yang lalu ibunya Pak mendadak sakit dia menolak keras saat Pak ajak kerumah sakit dan bahkan beberapa kali kabur saat dirawat inap. Pak menyerah dan terpaksa berobat dari rumah saja”, asap kembali mengepul dari hidung bapaknya Mira, sambil sesekali jarinya menghentak batang rokok menjatuhkan abu diatas keramik.

              “Suatu malam sekitar 1 tahun yang lalu, dalam kamarnya ibu Pak terbaring memanggil, beliau bilang punya sesuatu untuk diwariskan ke anak cucunya, entah kenapa Pak merasa ganjil, Pak berusaha berfikir positif tapi entah darimana prasangka buruk selalu muncul membuat Pak curiga kalau jangan2 ilmu yang dimiliki beliau di wariskan!, Pak tidak ingin kalau Pak dan keluarga punya sesuatu yang buruk.”, aku memandang bapaknya Mira yang bercerita, aku berharap cerita yang keluar dari mulutnya tidak akan sama dengan analisa pikiranku.

             “Ahirnya Pak putuskan mengunci ibunya pak didalam kamar, beberapa kali Pak, istri, dan anak2 di panggil2 untuk menemaninya disana tapi Pak tidak ijinkan siapapun masuk kesana, sampai pagi harinya ibu ternyata sudah meninggal”, mataku terpejam mendongak kelangit menghela nafas yang sangat panjang, kata2 itu benar2 menyakitkan, dan membuat batinku bertanya “kenapa tega sekali??!!”.
Hanya karena isu sampai sebegitunya dengan ibu sendiri, memang benar ilu begitu yang dikasi?, bisa saja kan kalung emas atau sertifikat tanah yang disembunyikan sejak dulu, mungkin saja kan?, dan emangnya semudah itu ilmu diturunkan?, memangnya belajar Ngeleak itu gampang apa?, dan apa mungkin seorang ibu akan tega mencelakai anaknya?!.


gambar ilustrasi orang tua menunggu (gambar hanya ilustrasi bukan bagian dari cerita)

             Kata2 itu seakan membangunkan ingatanku kepada cerita rakyat tentang sosok Walu Nateng Dirah, seorang janda dari Desa Dirah yang bernama Nyi Calonarang yang merupakan pencipta dasar Ilmu Pengeleakan yang digunakan sampai saat ini. Nyi Calonarang sangat sakti bahkan kerajaan Kediri dan Prabu Airlangga bisa dibuatnya kocar-kacir ketika ratusan bahkan ribuan rakyat beserta patih2 kerajaan yang sakti2 dengan mudah Nyi Calonarang bantai, dan hanya 1 orang yang tidak pernah dan tidak mungkin bisa dia sakiti bahkan ilmunya tidak sanggup menggores orang itu, dia adalah Ratna Manggali anak satu2nya dari Nyi Calonarang.

           Kisah itu menyiratkan pesan harimau tidak makan anaknya, entah kenapa aku pengen menghajar bapaknya Mira ini, sejak pertama kali ketemu dah ngeselin banget, dulu waktu jaman2 kerja kelompok dia selalu marah ke aku yang ngambil buah rambutan.

             “Tapi sekarang semua ini akan Pak selesaikan”, rokok itu dia hujamkan di lantai sampai tidak ada lagi bara yang mengepulkan asap, aku kembali mengangguk memahami ternyata umur tidak menjamin kebijaksanaan seseorang.

            “BLARRR!!!!”, pintu gerbang besi didepan bergoyang kencang seperti ditabrak sesuatu dengan sangat keras, aku terkejut begitu pula semua yang dikamar menengok keluar.

           “Oh iya..... itu kita ditunjukin tempatnya pak!!”, aku melompat berdiri dan melangkah menuju gerbang disusul bapaknya Mira, Odik dan ibunya Mira mengikuti, hanya adiknya Mira yang dikamar menjaga sang kakak.

             “Dini asane Yon!, tepuk cang Wahyu nyongkok!, (disini kayaknya Yon!, aku lihat kemarin Wahyu jongkok disini!)”, Odik menunjuk  tanah dipojokan gerbang, bapaknya Mira mengambil linggis dan menggalinya.


ilustrasi mongpong tanah / melubangi tanah

           “PLUKK!!”, terdengar ujung linggis membentur sesuatu didalam tanah, aku berjongkok meraup isi di lubang yang dalamnya cuma sejengkal itu, aku bisa merasakan ada benda halus aku genggam dan aku angkat keluar.

“Bapak ne gelahne meme!, (bapak ini punyanya ibu/ ‘ibu mertua’!), ujar ibunya Mira ketika melihat benda yang aku letakan sebelah lubang yang aku gali.

          Bersambung......

mastercasino88Avatar border
nona212Avatar border
wisudajuniAvatar border
wisudajuni dan 2 lainnya memberi reputasi
3
764
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan