tuliptulipjeAvatar border
TS
tuliptulipje
KETIKA RINDU TAK LAGI PUNYA HULU.


Halo agan sista kesayangan ane semua, ane balik lagi, semoga nggak bosan ya.

Tapi kali ini sepertinya ane balik membawa cerita yang penuh dengan coretan luka. Aihhh

Dalam rangka ikutan event Dua hati yang tak bisa menyatuini kisah patah hati, kisah luka paling luka yang pernah ada dalam hidup.

Baiklah ane mulai.


Sumber foto: google de.

Ini kisah usang yang tengah terkenang, luka masa lalu yang telah lapuk dimakan waktu namun menyisakan tempat dalam hati yang bernama kenangan.

⚘⚘⚘
23. Februari 2013

[Lin, kamu ada dapat undangan, gak?] Sebuah pesan mendarat di layar pipihku. Dari Yuna sahabat semasa SMA dulu.

[Undangan apaan? Dari siapa?]

[Dari Dean. Dia menikah tanggal 14 Februari kemarin.]

Baru saja kubuka pesan itu, dada rengkah seketika, sakitnya bukan alang kepalang, ini penantian sepanjang hidup, sepanjang masa. Patah sudah hancur lebur. Lubang di dada pun menganga.

Ingatan melemparku pada masa yang telah hilang, masa yang tak akan kembali pulang.

⚘⚘⚘

5 Mei 2009

"Kalian akan tinggal di mana setelah menikah nanti?" Wanita itu bertanya.

Wajahnya masih terlihat cantik di usia yang sudah berkepala lima. Wanita itu Ibunya Dean Priwantara lelaki yang telah menjadikan aku bagian dari hidupnya. Wajahnya sedikit kaku, tak ada senyum di sana, sudah tertebak arahnya kemana.

"Kami akan tinggal di Jakarta, karena aku kerja di Jakarta dan Lintang juga bekerja di Jakarta." Dean yang ditanya menjawab mantap, dia memegang tanganku yang dingin. Ini sudah ada dalam bayangan kami selama ini.

Dean Priwantara seorang lelaki Jawa yang lahir dari keluarga yang kental pada adat dan budaya, di mana anak lelaki setelah menikah akan menetap bersama Ibu. Sementara aku Lintang Dewanti, seorang gadis Minang tulen yang di tangan tergenggam harapan untuk merawat rumah gadang, Bundo Kanduang bagi kemenakan.

Kita sadar betul langit kita mulai berbeda saat cinta mulai begitu dalam ikatannya, saat rindu makin sakit lilitannya. Kita tak mampu saling melepaskan.

"Apa tidak mungkin jika setelah menikah kalian tinggal di sini? Karena kamu satu-satunya yang akan mewariskan usaha keluarga, usaha almarhum bapak kamu."

Wanita itu menatap Dean dalam-dalam kemudian memandangku dengan raut yang tak bisa ditebak, menarik nafas dan menghembuskannya. Aku yang sesak memegang tangan Dean kian erat, ada takut bersembunyi dalam dada bahkan bernafas saja aku kaku.

"Itu sudah sepembicaraan kami, Buk. Kami akan tinggal di tengah-tengah nanti setelah menikah, dekat dari Padang maupun dari Solo." Lelaki tegap berhidung mancung dan berkulit putih itu berkata patah-patah, ada ragu mengilat di bias matanya yang sebulat bulan.

"Kita bicarakan nanti saja. Karena ini menyangkut keluarga besar. Sekarang kalian nikmati saja dulu liburan kalian," titahnya pada kami dan beranjak keluar rumah yang bergaya jawa itu.

Tak ada lagi pembicaraan setelah itu, semua kembali biasa saja. Tawa dan senyum yang terangkai terasa begitu sempurna.

Solo, Semarang, Yogyakarta kita pahat rindu di sepanjang jalannya. Kita daki undakan tangga Syailendra, memuja keagungan masa lalu, mengenang rindu dan memahat cerita baru. Harapan tumbuh subur setelah itu.

27 Mei 2009

"Ini oleh-oleh untuk kamu dan keluarga. Kamu pulang hari ini 'kan? Dean akan mengantar kamu sampai Jakarta dan Pak De serta Bu De akan mengantar kalian sampai stasiun." Wanita yang kemarin begitu kaku itu melunak, memelukku tanda perpisahan.

Dua minggu sejak pembicaraan yang berat itu dia berubah mencair, lebih luwes dan selalu ramah setiap melihatku. Memasak apa yang Dean suka. Selalu mengingatkanku untuk jaga makan dan kesehatan dan mengijinkan aku beberapa kali duduk manis menunggui Dean selama membantunya di toko mereka yang telah lebih seusia Dean, yang akan dia wariskan. Hingga aku merasa diterima. Dadaku terlalu jumawa.

Hingga menyematkan janji-janji biru pada kota kelahiran lelaki itu dengah bahagia, tanpa luka yang awalnya terbaca.

15 September 2009

"Aku tak mengijinkan kamu menikah dengan lelaki jawa, tidak akan pernah. Kamu anakku satu-satunya perempuan dan kamu mesti di rumah ini setelah menikah nanti"

Ucapan Ibu senja itu membunuhku saat kuutarakan niat kita untuk menikah. Rencana yang sudah matang yang kami rakit tanpa memikirkan yang lain. Siapa sangka hal yang sama datang malah datang dari keluargaku.

Hingga gelap mulai lingkup, hubungan yang telah berjalan empat tahun itu menemukan ujung yang tak tertebak. Siap menusuk dada dengan kejam.

20 Maret 2010

"Aku capek kaya gini terus, kita udahan saja, Mas. 'Toh hubungan kita tidak akan mendapatkan restu dari kedua belah pihak." Itu ucapku padanya hari itu. Saat kita bersua di pelataran senja sepulang kerja di Selatannya Jakarta.

Lelaki berlesung pipi dan berginsul itu hanya menatapku tak berdaya. Dia mungkin tak ada ide mau membantah apa karena kenyataanya sangat rumit. Ibunya yang ingin dia pulang, ibuku yang ingin aku pulang.

"Kalau sampai kita putus, Dek. Aku akan menghilang dari Indonesia. Aku akan menerima tawaran HRDku untuk ditransfer ke China atau Jepang, karena aku tak akan sanggup seperti ini." Dia berkata dengan lesu. Wajah tampan itu terlihat kuyu.

"Kamu gak akan bisa menyakinkan Ibu kamu begitu juga aku, kita tak punya masa depan," teriakku frustasi.

"Kamu yakin?" Dia menatapku dengan airmata yang menggantung.

"Ya ... aku pasti bisa 'kok hidup tanpa kamu." Ya Tuhan... kata-kata itu meluncur dari mulutku. Belati yang menusuk jantungku sendiri. Lalu pergi meninggalkan Dean yang tergugu.

Aku memilih menusuk dada, karena Dean tak akan melakukannya untukku. Tak akan. Karena aku tahu cintanya kepadaku.

Tapi aku harus membunuh rindu lebih dulu. Karena kita tak akan bertemu lagi di muara yang sama. Bukankah artinya kita tak lagi punya hulu? Tuhan. Dada seketika sungguh pilu.

Selama empat tahun kita tidak pernah bertengkar, tidak pernah. Tapi senja itu kita bertengkar
hebat karena membalas masalah restu. Masalah yang sama dari keluargaku dan Dean yang entah di titik mana akan bertemu.

Sejak saat itu Dean mulai terasa menjaga jarak. Selalu ada alasan saat dihubungi, dia mulai pelan-pelan menghilang membuat dadaku penuh dabang. Aku yang tak sanggup masih saja mencari cara untuk menyapanya meski akhirnya mendulang luka dan kecewa. Laki-laki itu sungguh menikmati lukanya sendiri.

20 Juni 2011

Jakarta yang terik seketika membuatku menggigil saat tangan memencet tanda terima pada sebuah panggilan masuk. Nomor baru.

"Halo, Dek. Apa kabar? Ini ... Mas." Suara berat dan lembutnya membuatku bergetar. Rindu di dada denyar. Aku menggigit bibir yang bergetar.

"Apa kabar, lama sekali kamu menghilang," ucapku dalam hati. Aku diam seribu bahasa, takut tiap kata yang keluar hanya serpihan luka.

"Besok Mas akan berangkat ke Taiwan. Akan akan kerja di sana sebagai kepala bagian pemasaran di perusahaan cabang dari Jakarta," dia berucap perlahan. Berat suaranya.

"Ah... baguslah, Mas. Semoga mas menemukan karis yang bagus nanti di sana." Aish...aku menepuk mulut sendiri betapa ego melingkar di kepala. Alih-alih berkata rindu aku kembali bersuara luka.

"Mas hanya ingin kasih kabar, kalau Mas menunaikan janji. Seperti yang Mas bilang," lalu dia menarik nafas dan menghembuskan dengan kasar hingga dengkusnya terdengar di telingaku.

"Kalau kita putus Mas akan pergi jauh dari negara ini, dan setahun lalu persiapan semuanya. Sekarang Mas siap. Besok Mas berangkat. Selamat tinggal, Dek. Mas doain kamu bahagia." Belum sempat aku mengatakan apa-apa telpon itu di tutup, aku menggigit bibir berkali-kali, berdarah sudah jantungku.

Hingga dari hari itu tak ada lagi kabar tentangnya, tak ada lagi apa-apa.

Meski beberapa kali aku coba hubungin keluarganya mencari tahu tapi nol. Tak ada informasi apa-apa. Dia benar-benar hilang dan pergi. Dan aku masih saja menunggu dalam api.

⚘⚘⚘

23 Februari 2013

Hingga pesan Yuna senja itu menampar ingatanku. Kembali jumpalitan seiring waktu.

Aku tergugu mengusap dada yang pilu. Karena kenyataannya ternyata aku yang tak bisa lari darinya, aku yang tak bisa lupa, hingga sedari kepergiannya aku masih menunggu dengan harap kalau-kalau dia kembali. Kalau-kalau kisah itu terulang lagi.

Namun ternyata tidak, tidak akan pernah.

Karena kisah kami tak lagi punya hulu yang sama hingga alirnya harus menuju muara yang berbeda. Kita hanya akan menjadi kisah usang yang akan terkenang. Cerita masa lalu yang terpisah karena terbenturnya restu. Adat dan budaya yang berbeda membuat kita berpisah dengan penuh luka. Ah dia berlabuh lebih dulu.



Notes Pribadi


Arnstadt, 15.38
24. April 2020

Menuliskan ini mau tak mau membuat ingatanku mengembara pada masa yang merah jambu hingga abu-abu, bersamamu hai lelaki bergingsul serta senyum yang berlesung pipi. Semoga bahagia, di mana pun berada. Karena aku juga sudah bahagia dengan muaraku. Terima kasih telah pernah ada kisah, kamu yang tak pernah cacat di ingatan sebelum aku bertemu bayanganku.⚘⚘⚘


Ditulis atas inspirasi kisah pribadi
Diubah oleh tuliptulipje 24-04-2020 18:28
abellacitraAvatar border
arganovAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
2.3K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan