Wilayah pesisir Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan. Sumber daya pesisir ini merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia yang sangat diharapkan, di samping dari sumber daya yang ada di daratan. Namun memasuki masa krisis ekonomi seperti saat ini mendorong pihak-pihak terkait seperti instansi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat mengeluarkan regulasi dalam rangka memanfaatkan kekayaan sumber daya pesisir untuk memenuhi perekonomian tanpa mempertimbangkan dampak perencanaan yang akan terjadi. Seperti beralihfungsinya hutan mangrove yang dapat enjadi pelindung pantai terhadap gelombang, rusaknya terumbu karang, meningkatnya laju pencemaran, dan meningkatnya laju erosi, dan sedimentasi pantai.

Menurut Diposaptono S (2003), secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian suatu perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (misalnya, mangrove) cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukinan, dll) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan ) maka dampak negatifnya akan merusak tatan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. Bencana yang dapat terjadi di wilayah pesisir antara lain tsunami, banjir, sea level rise, erosi, dan masih banyak lagi (Sales Jr, 2009)

Apakah setelah terjadi permasalahan-permasalahan, baru peduli dengan pesisir? Ataukah tetap acuh berharap bahwa permasalahan tersebut akan terselesaikan oleh orang lain yang peduli dengan pesisir? Buruk sekali. Terkadang baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat lebih mementingkan kepentingan mereka masing-masing dari pada peduli dengan lingkungan pesisir, padalah sumber daya pesisir yang ada di bumi ini tidak hanya akan dinikmati oleh generasi sekarang, melainkan juga akan dinikmati oleh generasi mendatang.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Mitigasi merupakan salah satu solusinya. Proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana yang diantisipasi akan terjadi di masa yang akan datang di suatu daerah tertentu atau bisa dikatakan sebagai investasi jangka panjang bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat.

Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil dapat dilakukan secara struktural maupun non struktural. Secara struktural yaitu dengan melakukan upaya teknis, baik secara alami maupun buatan, seperti pembuatan breakwaterdan penanaman mangrove untuk mitigasi tsunami, pembangunan tanggul-tanggul, kanal-kanal diversi, pintu air pengendali banjir, normalisasi sungai, dan sistem polder pada daerah rawan banjir, groin pada wilayah pesisir yang tererosi, dan pembuatan struktur lahan tahan bencana.

Sedangkan mitigasi secara non struktural adalah upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Misalnya membuat kebijakan tata guna lahan, kebijakan mengenai standarisasi bangunan tahan bencana, kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pesisir, penyadaran masyarakat, serta penyuluhan dan sosialisasi mengenai mitigasi bencana.

Untuk mengatasi masalah bencana perlu dilakukan upaya mitigasi yang komprehensif yaitu kombinasi upaya struktur (pembuatan prasarana dan sarana pengendali) dan non struktur serta pelaksananya harus melibatkan instansi terkait.

Seberapa besarpun upaya tersebut tidak akan dapat membebaskan terhadap masalah bencana alam secara mutlak. Kunci keberhasilan yang sebenarnya adalah adanya keharmonisan antara manusia/masyarakat dengan alam lingkungannya.