Lockdown666Avatar border
TS
Lockdown666
Rupiah Lewati Rp 15.200/US$, Memori 1998 Kembali Muncul


Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali ambles melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (17/3/2020) hingga menembus ke atas Rp 15.000/US$. Pandemi virus corona (COVID-19) benar-benar membuat rupiah terpukul.

Pada Januari lalu, rupiah merupakan mata uang dengan kinerja terbaik di dunia setelah berhasil menguat lebih dari 2% melawan dolar AS. Aliran modal yang deras masuk ke Indonesia membuat rupiah perkasa, sebabnya prospek pertumbuhan ekonomi global yang membaik di tahun ini.

Para pelaku pasar memburu aset-aset dengan imbal hasil tinggi, dan rupiah salah satunya. Selain itu, stabilitas dalam negeri yang terus membaik membuat investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.


Tetapi situasi berubah 180 derajat, nilai tukar rupiah terus merosot melawan dolar AS. Pada perdagangan hari ini Rabu (18/3/2020) pagi, rupiah melemah 0,36% ke Rp 15.215/US$. Jika dilihat sejak awal tahun, rupiah kini sudah melemah 9,62%.

Tidak hanya itu, posisi rupiah saat ini nyaris menjadi yang terburuk sejak krisis moneter yang menghantam Indonesia tahun 1998. Posisi rupiah saat ini berada di level terlemah sejak Oktober 2018, saat itu rupiah menyentuh level Rp 15.265/US$. Jika level tersebut pada akhirnya dilewati, maka rupiah akan mencatat rekor terlemah sejak krisis moneter.

Pada tahun 2018, rupiah mengalami tekanan hebat akibat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) melakukan normalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga secara agresif. Sepanjang tahun itu, The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali, sehingga aliran modal keluar dari Indonesia dan menuju Negeri Sam, rupiah pun tertekan.

Namun, pelemahan rupiah kala itu terjadi secara perlahan, rupiah mulai melemah sejak pertengahan Februari hingga puncaknya pada bulan Oktober. Kala itu, jika dilihat secara year-to-date (YTD) hingga Oktober ketika mencapai level 15.265/US$, rupiah melemah 12,53%.

Sementara pada tahun ini, pelemahan rupiah terjadi begitu cepat, melemah nyaris 10% YTD dalam tempo kurang dari tiga bulan bahkan kurang dari 2 bulan jika melihat rupiah masih menguat di Januari.

Akibatnya, level terlemah 2018 itu berpeluang dijebol dan rupiah menuju level terlemah sejak krisis 1998. Untuk diketahui, level terlemah rupiah sepanjang sejarah adalah Rp 16.800/US$ yang disentuh pada 17 Juni 1998, berdasarkan data Refinitiv. Kala itu, rupiah ambrol lebih dari 500% jika dilihat dari pertengahan 1997 ketika masih di Rp 2.500/US$.

Jebloknya kinerja rupiah belakangan ini terjadi akibat capital outflow setelah munculnya pandemi virus corona (COVID-19). Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 8,56 triliun secara YTD. Sedangkan di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing berkurang Rp 57,88 triliun dalam periode yang sama.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan. Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit. Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.

Ketika hot money masuk deras ke RI seperti bulan Januari lalu, rupiah akan perkasa. Sebaliknya jika terjadi outflow rupiah pun KO.

Pusat Risiko Corona Bergeser ke Eropa
Pandemi COVID-19 memang sudah mereda di tempat asalnya, kota Wuhan provinsi Hubei Republik Rakyat China. Namun wabah tersebut kini meluas di berbagai negara. Berdasarkan data John Hopkins University, total kasus COVID-19 secara global nyaris 200.000 kasus, dan total kasus di China sebanyak 81.068 kasus. 

Itu artinya jumlah kasus di luar China kini lebih banyak. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan Eropa kini menjadi episentrum penyebaran COVID-19. 

Selain itu, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan juga berisiko menghadapi gelombang penyebaran kedua. Selasa kemarin, Singapura melaporkan jumlah kasus baru sebanyak 23 orang, penambahan harian tersebut menjadi yang tertinggi sejak wabah ini menyebar di Negeri Merlion.


Hong Kong melaporkan 3 kasus baru, setelah di hari Senin melaporkan 9 kasus, yang merupakan penambahan harian terbesar sejak 9 Februari. Sementara itu, Taiwan melaporkan 10 kasus baru, sehingga total kasus menjadi 77 orang. 

Kasus COVID-19 di Indonesia sejauh ini dilaporkan sebanyak 172 kasus, dengan 7 orang meninggal dunia dan 8 orang dinyatakan sembuh. Namun, angka tersebut tentunya masih berisiko bertambah, mengingat wabah tersebut baru masuk ke Indonesia sejak awal bulan ini. 

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 atau virus corona Achmad Yurianto mengatakan ke depannya diprediksi akan terjadi penambahan kasus yang signifikan. 

"Kita menyadari, akan terjadi penambahan pasien secara signifikan. Sebabnya dari kontak. Kita akan tracing dan edukasi juga semakin gencar. Sehingga masyarakat sudah mulai menyadari bahwa mereka juga harus waspada," kata Yurianto di BNPB, Selasa (17/3/2020).

Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.

"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan Puasa, Bulan Puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan pandemic tersebut baru akan bisa dikendalikan pada bulan Juli atau Agustus, dan ia juga mempertimbangkan mengambil kebijakan lockdown, meski tidak di semua negara bagian. Trump juga mengatakan perekonomian AS kini menuju resesi akibat pandemi COVID-19. 

Mantan penasehat khusus bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Andrew Levin mengatakan AS akan sulit menghindari resesi akibat pandemi COVID-19, meski warga AS diberi uang tunai US$ 1.000 per kepala untuk melawan menghindari dampak negatif virus corona ke perekonomian. 

"Masalahnya bagi ekonomi AS banyak kota yang di-lockdown, dan warganya tinggal di rumah, tidak pergi ke restoran, tidak pergi berbelanja, tidak membeli kendaraan. Saya melihat kita tidak bisa menghindari resesi," kata Levin yang juga profesor ekonomi di Universitas Darthmouth, sebagaimana dilansir CNBC International. 

Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar dua pertiga dari total produk domestik bruto (PDB). Lockdown di sejumlah kota tentunya akan memukul sektor tersebut. 

Banyak negara-negara kini mengambil kebijakan lockdown guna meredam penyebaran COVID-19. Akibatnya, aktivitas ekonomi diprediksi melambat secara global, pertumbuhan ekonomi terancam terpangkas dalam hingga munculnya risiko resesi. 

Beberapa bank investasi ternama sudah memberikan prediksi resesi pasti terjadi terjadi di tahun ini, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa dalam? 

"Resesi global 2020 kini menjadi dasar kasus kami. Dengan COVID-19 menyebar ke Eropa dan Asia, gangguan dan dislokasi ekonomi serta pasar akan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi global di semester I 2020" kata Chetan Ahya, kata kepala ekonom Morgan Stanley. 

Sementara itu Goldman Sachs memprediksi resesi global di tahun ini akan lebih buruk dari tahun 1991 dan 2001, tetapi tidak akan separah krisis finansial 2008-2009. Akibat risiko resesi tersebut, sentimen pelaku pasar terus memburuk. Jika hal tersebut terus berlangsung dalam waktu lama, maka tekanan atas rupiah belum akan berakhir, dan tidak menutup kemungkinan rupiah mencapai rekor 1998. 

Analisis Teknikal
Secara teknikal, di bulan Januari rupiah sempat menguat lebih dari 2% setelah menembus batas bawah pola Descending Triangle di Rp 13.885/US$. Pada pekan lalu, rupiah kembali ke atas level tersebut, itu artinya tren penguatan rupiah akibat pola Descending Triangle (garis biru) sudah berakhir. 

Performa rupiah langsung jeblok setelah itu hingga menyentuh level Rp 14.415/US$ pada Kamis (12/3/2020) pekan lalu.

Menggunakan indikator Fibonacci Retracement (garis merah), dengan menarik garis dari 11 Oktober 2019 di Rp 15.265/US$ hingga 24 Januari 2020 Rp 13.565/US$, level Rp 14.415/US$ merupakan Retracement 50% dan merupakan tahanan atas (resisten) yang kuat, ketika berhasil dijebol maka tekanan bagi rupiah akan semakin besar. 


Mata uang garuda bahkan menembus Fib. Retracement 61,8% di Rp 14.615/US$ sehari setelahnya, sehingga pelemahan rupiah terus berlanjut. 



Dalam jangka menengah, selama tertahan di atas Rp 14.615/US$ rupiah berisiko terus melemah. Apalagi selama bergerak di atas psikologis Rp 15.000/US$, Mata Uang Garuda berisko menuju rupiah berisiko ke Rp 15.265/US$ (Fib. Retracement 100%). 

Jika Fib. Retracement 100% tersebut ditembus, rupiah berisiko merosot ke Rp 15.550/US$. Resisten selanjutnya berada di Rp 16.200/US$, sebelum ke rekor tertinggi sepanjang masa Rp 16.800/US$. 

Sementara, jika tertahan di bawah Rp 15.265/US$, rupiah berpeluang memangkas pelemahan melihat indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought). 

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, dolar AS berpeluang melemah mengingat simbol perdagangan jika melawan rupiah adalah USD/IDR. 

Target penguatan rupiah yang terdekat tentunya level psikologis Rp 15.000/US$, jika dilewati maka Mata Uang Garuda berpeluang ke Rp 14.890/US$. Target selanjutnya berada di level Rp 14.615/US$.

sumur

https://www.cnbcindonesia.com/market...mbali-muncul/1
UriNamiAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 18 lainnya memberi reputasi
17
10.4K
172
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan