gabener.edanAvatar border
TS
gabener.edan
Adakah Yang Lebih Baik dari Pemilu-Pilkada Nyaris Serentak 2024?


Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ada enam pilihan model keserentakan pemilu yang dinilai konstitusional. Semua alternatif desain itu mensyaratkan pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan presiden/Wakil presiden.
Sementara pengaturan bentuk desain yang akan dipilih merupakan bagian dari kewenangan pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah. Putusan tersebut disampaikan MK saat menolak permohonan uji materi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Rabu (26/2/2020) lalu.

Perludem menguji konstitusionalitas Pasal 167 Ayat 93) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 Ayat (1), Pasal 201 Ayat (7), dan Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

MK menyebut putusannya tersebut diambil setelah menelusuri kembali tujuan asal (original intent) pemilihan umum serentak, kaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial, dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.

Salah satu alternatif model keserentakan yakni pemilu serentak nasional DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.

Pengamat kepemiluan Veri Junaidi, menyampaikan pemberian beberapa model alternatif merupakan sebuah terobosan. Mengingat putusan MK sebelumnya desainnya dikunci hanya pemilu serentak lima kotak (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden) yang kemudian diterapkan pada Pemilu 2019.

"Karena hanya lima kotak maka desain di lapangan terkunci tidak bisa fleksibel. Dalam praktiknya kita lihat pada Pemilu 2019 lalu akhirnya membebani baik secara administratif maupun prakteik penyelenggaraan," ujar Veri yang juga Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif.

Meski ada enam alternatif, menurut Veri, MK tetap mensyaratkan pemilu DPR, DPD, dan presiden tetap digelar berbarengan. Dia pun memilih pemilu pada aras nasional dan daerah bisa dipisahkan. "Ada pemilu nasional, ada pemilu daerah. Ini prinsip utamanya," kata Veri.

Pemisahan antara pemilu nasional dan daerah ini bisa didesain kembali jeda waktunya. Veri berhitung idealnya pemilu pada aras lokal bisa digelar antara 2 sampai 2,5 tahun setelah perhelatan pemilu nasional.

Mengapa demikian? Menurut Veri, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tahun 2016 menyatukan semua pemilu dalam tahun yang sama. Rencananya pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD akan diselenggarakan pada April 2024. Sementara pemilu gubernur dan bupati/wali kota digelar November 2024. Pemilu serentak seperti itu berpotensi bikin beratkan penyelenggara pemilu.

"Kita bayangkan pencoblosan bulan April. Bulan Mei proses sengketa. September pelantikan DPR lalu Oktober pelantikan Presiden. Disepanjang proses ini KPU-Bawaslu di daerah akan menanggung beban yang luar biasa. Lalu ditambah November pemilu gubernur dan bupati. Bisa tidak bernapas KPU-Bawaslunya," ujar Veri.

Lalu bagi daerah yang kepala daerahnya akan turun jabatan pada 2022 dan 2023, menurut Veri perlu penataan kembali. Dia mengusulkan masih ada Pilkada yang digelar pada tahun itu. "Saya mengusulkan masih bisa direvisi. Jadi nanti akan menjabat sampai 2026 atau 2027," kata dia.

Pentingnya penataan kembali desain pemilu secara komprehensif melalui pemisahan pemilu nasional dan lokal dengan jeda waktu tertentu juga diutarakan peneliti Network for Democracy and Election Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

"Langkah ini untuk menguatkan sistem presidensial dan untuk menata siklus pemilu," ujar Ferry yang juga mantan komisioner KPU periode 2012-2017. "Maka pembuat UU harus segera menjaring partisipasi publik untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait desain sistem pemilu dan keserentakan yang ideal dan akan digunakan dari pemilu ke pemilu."

Pemerintah sendiri melalui keterangan tertulis pada MK berpendapat pentingnya pemilu serentak atas pertimbangan efisiensi waktu dan anggaran. Meski demikian, pemerintah pun mengakui terdapat berbagai kekurangan dalam pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 yang membutuhkan evaluasi dan perbaikan.

"Seharusnya sejak awal para penyelenggara memaksimalkan kesiapan, terutama pada hal-hal yang bersifat teknis di lapangan, misalnya dengan memberikan bimbingan teknis yang optimal kepada KPPS," seperti yang dikutip dari salinan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Pemerintah juga menyatakan semua proses pemilihan akan lebih mudah dan efisien jika dibantu dengan teknologi digital, tugas panitia pencoblosan akan lebih ringan jika manajemen pemilu lebih canggih.

Dalam persidangan, ahli yang dihadirkan Ramlan Surbakti menyatakan pemilu serentak lima tahun sekali akan menyebabkan penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu begitu juga dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menganggur selama sisa masa jabatannya.

"Pemilu serentak lima tahun sekali tidak hanya merupakan pemborosan sumber daya manusia tetapi juga pemborosan dana," ujar mantan Ketua KPU yang juga guru besar ilmu politik, Universitas Airlangga, Surabaya.

https://m.detik.com/news/berita/d-49...erentak-2024/4

Kalo secara serentak semua di khawatirkan memakan korban kelelahan dan kesalahan yg sangat banyak dalam perhitungan.

Jadikan cerminan pemilu 2019 sebagai bahan evaluasi jangan mengulangi hal yg sama.
Bagusnya di bagi 2 tahapan saja di tahun yg sama
Pemilu dpr dkk...di awal januari.

Pilpres dan pilkada...di awal juli

emoticon-Cool
Diubah oleh gabener.edan 28-02-2020 14:36
4iinchAvatar border
riansantoso4776Avatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
643
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan