Aiu.ratna905Avatar border
TS
Aiu.ratna905
Aku dan Om Cakep
#Dikejar_BerondongTua

Aku dan Om Cakep

Part 1
Kenangan Masa Kecil

-----
Tepat seminggu setelah aku berulang tahun yang ke sepuluh, ada tetangga baru dari kota. Dia seorang dokter muda yang ditugaskan di kampung kami. Namanya Om Gilang. Orangnya tinggi, putih, beralis tebal, persis seperti pemain sinetron. Maklum, dulu masa kecilku selain suka kartun Sailor Moon, aku juga suka menonton sinetron Tersanjung dan juga Wiro Sableng. Menurutku, Om Gilang ini mirip dengan Ari Wibowo.

“Om Gilang cakep banget, deh. Aku boleh, nggak, panggilnya Om Cakep aja?”
Om Gilang tertawa lebar menanggapi celotehku.

“Emang menurut Nana, Om Gilang cakep?”

Aku tersenyum malu-malu. Mungkin waktu itu wajahku memerah seperti kepiting rebus.

“Cakep, kok. Kayak bintang sinetron.”

Om Gilang mencubit pipiku gemas. Hatiku semakin tak karuan rasanya.

“Lucu banget, sih, kamu. Terserah Nana aja, deh, mau panggil apa.”

Waktu itu perasaanku senang bukan kepalang. Aku jadi suka mengelus pipi sendiri, bekas cubitan Om Cakep. Sekarang kalau mengingatnya, aku jadi tertawa geli.

Sejak ada Om Cakep yang tinggal di sebelah rumah, aku jadi jarang main keluar. Lebih suka menghabiskan waktu di depan TV sambil belajar. Sesekali melirik ke kontrakan Om Cakep melalui jendela. Jadi suka tersenyum sendiri tanpa sebab.

Kadang aku suka berlama-lama duduk di samping jendela yang berdaun kayu. Menunggu Om Cakep pulang kerja, lalu duduk di teras kontrakannya. Atau menunggunya lewat di depan rumah ketika menjelang magrib.

Rasanya senang bukan kepalang ketika bertemu dia. Jangankan disapa, sandalku sama sandal Om Cakep bersebelahan ketika sholat jamaah di musholla saja, aku sudah bahagia.

Om Cakep sering datang ke rumah, sekedar mengobrol dengan Bapak. Atau diundang makan malam oleh Ibu. Kalau dia datang, aku suka berlama-lama di depan cermin. Memoles wajah dengan bedak bayi merk Cuplis, lalu memakai pakaian terbaikku. Ketika merasa cukup sempurna, baru aku keluar kamar. Pura-pura membawa buku, supaya terkesan rajin belajar.

“Nana, itu bedak satu toko kamu pakai semua, ya?”
Ibu menertawakanku.

“Eh, eng, enggak, kok. Tadi aku pakainya tipis-tipis aja,” sanggahku.
Aduh, rasanya malu sekali. Apalagi ada Om Cakep yang terpingkal-pingkal di samping Bapak.

“Dandan kayak gitu mau ke mana, Nduk?”
Bapak menggodaku.

“Nggak mau ke mana-mana. Kan Nana mau belajar. Ini bukunya.”
Aku mengangkat buku ditangan tinggi-tinggi.

“Wah, buku pelajaran apa itu? Kok sampulnya gambar Bobo?” Om Cakep ikut menimpali.

Seketika aku melihat buku yang kupegang. Oh, Tuhan. Ini majalah, bukan buku. Ketahuan kalau aku pura-pura rajin.

“Eh, iya, Om. Aku mau baca majalah maksudnya.”

Semua yang ada di ruangan itu tertawa. Aku jadi malu, lantas berlari ke kamar. Dalam sana, aku mengutuk kebodohanku sendiri. Maunya tampil rajin, malah gagal.

***

Sejak ada Om Cakep, hari-hariku jadi semangat dan ceria. Tak lupa perhatian-perhatian kecil turut kuberikan. Seperti menyisihkan uang jajan untuk kubelikan permen atau kue bolu, lalu kuberikan kepada Om Cakep.

Om Cakep selalu menerima dengan senang hati semua pemberianku. Memang dia sangat ramah dan baik hati, membuatku semakin menyukainya.

Hingga suatu hari, aku mencoba menulis puisi cinta untuk Om Cakep. Awalnya bingung memulai dari mana, tapi akhirnya aku menemukan ide. Saat itu, satu-satunya puisi yang kuingat berjudul “Sampah”. Puisi itu ada di buku paket kelas dua SD. Aku memutuskan mengganti sebagian kata-katanya dengan kalimat yang memuji, karena puisi aslinya penuh dengan ujaran kebencian terhadap sampah.

Om Cakep
Di mana-mana kulihat Om Cakep
Tak tahukah kau?
Aku menyukaimu
Aku suka melihat tampangmu
Tapi kau tetap tak menyadari
Malah kau semakin merajalela di hati ini

Om Cakep
Sadarlah!
Ada seorang gadis pemalu
Yang menyukaimu

“Puisi apa itu, Nduk?”
Aku kaget setengah mati mendengar suara Ibu. Ternyata tanpa kusadari, sedari tadi Ibu melihatku menulis puisi dari belakang. Entah kenapa, perasaan berbunga-bunga ketika menulis puisi tadi, berubah menjadi ketakutan.

Iya. Aku takut dimarahi Ibu karena masih kecil, tapi sudah jatuh cinta.

“Nggak usah takut. Coba Nana cerita, puisinya buat siapa?”

Ada sedikit kelegaan di hatiku melihat reaksi Ibu waktu itu. Padahal jantungku sudah “dag dig dug” tak karuan.

“Buat Om Cakep.”

Ibu langsung tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata.

“Kamu naksir sama Om Gilang?”

“He em.”
Aku mengangguk polos.

“Sini.” Ibu menarikku ke dalam pelukan.

“Nduk, memang kamu tahu, apa itu cinta?”

“Tahu dong. Kalau kita suka sama seseorang, itu namanya cinta, Bu.”

“Oh, gitu. Kalau udah suka, habis itu gimana?”

“Ya, suka aja, Bu. Nana kalau punya permen sama kue bolu, pasti ingat Om Cakep. Terus Nana kasih, deh. Memangnya nggak boleh, ya, Bu?”

Lagi-lagi Ibu tertawa.

“Boleh, kok, Nduk. Tapi sekarang, Nana masih kecil. Belajar yang rajin dulu. Suka sama seseorang itu boleh, asalkan bisa membuat kamu jadi semangat belajar. Coba, kalau udah gede, Nana mau jadi apa?”

“Jadi dokter, kayak Om Cakep.”

“Nah, kalau gitu, Nana harus rajin belajar kalau mau kayak Om Cakep. “

Aku mengangguk semangat. Tak kusangka, Ibu tidak marah, malah memberi semangat.
Sejak hari itu, aku jadi benar-benar rajin, bukan pura-pura lagi. Kalau Om Cakep main ke rumah, dia menemaniku belajar bahkan sering mengajariku pelajaran yang belum kumengerti. Ah, senangnya.

***

Beberapa bulan kemudian, Om Cakep pindah. Dia berpamitan kepada seluruh warga. Aku sedih sekali. Mau menangis, tapi malu, ada orang banyak.

“Nana, Om pamit, ya. Nana belajar yang rajin, biar jadi dokter kayak Om.”
Om Cakep mengelus kepalaku.

“Huaaaaa ....”

Tangis yang tadi kutahan, akhirnya pecah juga. Aku memeluk Ibu. Anehnya, para tetangga yang melihatku menangisi Om Cakep malah tertawa. Mereka terlalu menyepelekan perasaanku.

“Sudah, jangan nangis. Ini buat Nana.”
Om Cakep menyodorkan sebuah boneka kucing berkalung permen yang dironce menggunakan benang jahit.

Akhirnya Om Cakep pergi meninggalkan kampungku dan pergi ke tempat tugasnya yang baru. Sedih memang, tapi cuma sebentar. Karena setelah itu aku sibuk mempersiapkan diri ujian kenaikan kelas.

Kukira aku tak akan pernah bertemu Om Cakep lagi, ternyata aku salah. Sebuah keadaan membuatku terdampar di kota tempat Om Cakep tinggal. Pertemuan tak sengaja pun terjadi.

Pertemuan yang kukira hanya akan berlalu sepintas, ternyata malah membawa perubahan besar dalam hidupku. Bahkan membuatku harus kehilangan harga diri sebagai perempuan. Om Cakep mengingatku sampai dewasa, bahkan rela melakukan apa saja demi membuatku menerima cintanya.

Inilah kisahku dengan Om Cakep ....

***

Part 2

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...b3cb74ac35d6c4
Diubah oleh Aiu.ratna905 07-02-2020 12:38
0
1.8K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan