cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Ketika Tabebuya Berbunga


Ketika Tabebuya Berbunga


Aku dan ibu sedang duduk di bawah pohon tabebuya yang sedang berbunga. Bunganya berwarna merah muda, bergerombol menutupi keberadaan daunnya yang hanya sedikit. Ibu sangat menyukai bunga itu yang mirip bunga sakura.

"Ibu berharap suatu saat bisa pergi ke Jepang melihat bunga sakura," kata Ibu. "Tapi, mungkin hanya terwujud dalam mimpi saja ya, Joane?"

"Aku akan berusaha menjadi orang sukses, Bu. Akan kubawa Ibu jalan-jalan ke Jepang suatu hari nanti," kataku dengan mata berkaca-kaca.

"Ah, Joane. Tidak ke Jepang juga tak apa. Duduk bersamamu di bawah pohon ini saja sudah membuat ibu bahagia," kata Ibu sambil memelukku. "Tapi ... sekarang sudah saatnya ibu pergi. Kamu tunggu saja ayahmu di sini. Dia akan datang."

"Tapi, Bu ... bukankah kita selama ini selalu bersama-sama? Kenapa sekarang ibu tinggalkan aku sendiri di sini?"

Ibu menutup bibirku dengan telunjuknya, menyuruh diam. Diciumnya keningku dan berkata, "Jangan ikuti ibu." Ibu berlalu pergi, meninggalkan aku sendiri di kursi taman itu, menangis tersedu.

Sebuah tangan mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku terbangun dari tidur. Kuraba mata, ada sisa air mata di sana.

"Mimpi apa kamu, Nduk?" kata ibu seraya duduk di depanku. Wanita itu memandang wajahku lekat.

"Ibu ...." Aku memeluk ibuku erat. "Jangan tinggalkan Joane ya, Bu ...."

"Tentu saja tidak, Nduk," kata Ibu sambil membelai rambutku.

Mimpi tadi malam sungguh membuatku takut. Seumur hidup, hanya ibu yang ada di sampingku. Kata Ibu, Ayah meninggal dunia ketika aku masih dalam kandungannya. Ayah hanya kukenal melalui sebuah foto usang yang sudah buram.

Ibuku seorang yatim piatu. Jadi semenjak ayah meninggal dunia, ibu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Tidak ada sanak keluarga yang bisa dimintai tolong. Untunglah ada sebuah toko kelontong milik Tacik yang mau mempekerjakan Ibu. Gaji Ibu kecil, namun cukup untuk biaya aku sekolah dan makan sehari-hari. Untuk baju, kami jarang sekali beli. Tacik pemilik tempat kerja Ibu sering memberikan baju-baju bekas kepada kami, baju bekasnya dan bekas anak-anaknya.

Suatu hari setelah kelulusan di sebuah SMA, aku bergegas menemui ibu. Kupersembahkan hadiah untuk wanita tercinta itu berupa nilai-nilai yang sangat memuaskan. Aku menjadi juara 1 kelas paralel. Ibu memelukku dengan penuh haru. Segala beban hidup seolah menguap melihat keberhasilanku.

"Kamu memang anak yang cerdas, Nak. Itu turunan dari ayahmu," katanya seraya memelukku erat.

Menurut cerita Ibu, Ayah seorang yang sangat cerdas, sehingga beliau mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus. Walau sayang, umur ayahku sangat pendek.

Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di diploma satu. Kupilih program studi itu, agar bisa cepat bekerja, menggantikan ibu sebagai tulang punggung keluarga. Tak bisa kupungkiri, di tahun aku kuliah itu, Ibu harus bekerja cukup keras untuk memenuhi kebutuhan kami. Setelah pulang menjaga toko, Ibu masih bekerja serabutan menjadi tukang bersih-bersih rumah dan tukang setrika.

Maka, ketika aku lulus kuliah dan memperoleh kerja di sebuah perusahaan, tak terkira rasa bahagia kami. Kukatakan kepada ibu untuk berhenti bekerja menjadi penjaga toko, tapi ibu menolak. Katanya, Ibu akan kesepian di rumah jika tidak bekerja lagi. Apa boleh buat, aku biarkan Ibu kerja, mungkin bekerja bisa membuatnya bahagia.

Sore itu, ketika jam kerja telah usai aku berdiri di depan kantor untuk menunggu tukang ojeg. Gawaiku berdering. Telepon dari Mbak Narti, tetangga sebelah rumah.

"Joane, ibumu anfal, Joane." Suara Mbak Narti terdengar sangat cemas. Tak kuasa aku menahan rasa takut ... takut kehilangan Ibu. Aku menangis tersedu. Pak Johan, pemilik perusahaan tempatku bekerja, yang melintas di sampingku menegur, "Ada apa, Joane?"

"Ibu saya anfal, Pak."

"Ayo saya antar ke rumah. Biar saya bisa menjenguk ibumu atau mengantarkannya ke rumah sakit," kata Pak Johan. Sungguh mulia hati lelaki itu. Sebenarnya aku malu merepotkannya, tapi rasa kuatir akan ibu lebih besar dari rasa malu itu. Aku menerima tawaran Pak Johan.

Sesampainya di rumah, para tetangga sudah berdatangan. Aku mererobos kerumunan mereka. Kudapati Ibu yang tergolek lemah di ranjang sambil memegang dadanya. Ibu nampak terkejut melihat kedatangan Pak Johan. Ibu tak kuasa menyambut bosku itu dengan kata-kata. Bibirnya tampak membiru.

Aku segera membawa ibu ke rumah sakit bersama Pak Johan. Lelaki itu memacu mobilnya dengan cukup kencang.

Sesampainya di rumah sakit, ibu segera ditangani dokter di UGD. Sebuah selang infus dan selang oksigen di pasang. Dokter juga memberikan sebuah obat, diletakkan di bawah lidah ibu. Pak Johan berada di bagian administrasi, memberikan DP biaya pengobatan ibu. Tak terasa air mataku berlinang. Rasa terharu akan kebaikan Pak Johan dan rasa takut kehilangan ibu berbaur dalam dadaku. Ibu, engkau memang sangat baik, sehingga Tuhan selalu membantumu dengan cara yang tidak terduga.

Setelah kondisi ibu membaik, dokter memindahkannya ke ruang perawatan. Pak Johan duduk di sebelah kanan Ibu, sedangkan aku di sebelah kiri Ibu. Lelaki itu tampak berusaha menyalami Ibu. Digenggamnya tangan Ibu, seperti ada kata yang ingin diucapkan, tapi sesuatu menahannya. Ibu menatap pria itu dengan sedih.

"Johan, ini Joane, anakku ... yang juga adalah anakmu," kata Ibu pelan. Tapi itu terdengar seperti petir yang menggelegar di kepalaku.

"Ibu, apa maksudnya ini?" tanyaku memohon penjelasan.

"Ya, Joane. Maafkan ibu yang selama ini telah membohongimu. Lelaki ini adalah ayah kandungmu, yang telah meninggalkan kita sejak kamu dalam kandungan ibu. Lelaki ini harus menuruti perintah orang tuanya untuk menikah dengan seorang dari kalangannya." Rasanya aku mau pingsan. Kutatap wajah Pak Johan lekat-lekat.

"Kenapa kau lakukan itu pada kami!" kataku dengan penuh kemarahan. Wajahku terasa panas. Air mata kepiluan tak bisa kutahan lagi.

Lelaki itu menangis sesenggukan. Dia memohon ampunan dari ibu. Mengatakan bahwa selama ini dia mencari kami, tapi tak menemukan. Karena ibu telah membawaku jauh dari tempat tinggal mereka dulu.

"Ningsih, aku sangat menyesal tak bisa menentang kehendak orang tuaku. Tapi sungguh, setelah pernikahan dengan Rosi, aku mencarimu ke mana-mana. Aku tak berniat menerlantarkan kalian."

Ibu tak mengatakan apa-apa. Hanya air matanya menetes tiada henti.

"Maafkan aku, Ningsih," rintih lelaki itu sambil mencium telapak tangan ibu. "Rosi sudah meninggal tiga tahun yang lalu, dan kami tidak dikaruniai anak."

Sejenak kami kehilangan kata-kata. Dalam ruangan hanya terdengar isak tangis.

"Sudahlah, Johan. Aku sudah lama memaafkanmu. Aku memaafkanmu bukan untuk kepentinganmu, tapi untuk kepentingan diriku sendiri. Dengan memaafkanmu aku bisa menjalani hidup dengan bahagia, dan bisa mendidik anak kita dengan kasih sayang."

"Terima kasih, Ningsih," ucap lelaki itu disela tangisnya.

"Aku namakan anak kita Joane, untuk mengabadikan namamu," kata ibu. Kulihat tak ada kemarahan dalam suaranya. Ibu mungkin sangat mencintai lelaki itu hingga mudah sekali meleleh.

Ibu sudah memaafkan lelaki itu, tapi aku tidak! Aku melangkah keluar ruangan. Duduk di sebuah kursi pada sudut ruangan. Sulit aku menerima kenyataan yang secara tiba-tiba ini. Betapa ibu selama ini menggambarkan sosok ayah yang begitu sempurna, hanya untuk membuat jiwaku tak dipenuhi rasa dendam. Ah, Ibu ... adakah orang yang semulia dirimu?

Tiba-tiba seorang suster memanggilku untuk segera masuk ruang rawat Ibu. Wanita itu dalam keadaan gawat. Sumbatan pada arteri koroner membuat sel-sel dalam jantungnya kekurangan suplai oksigen. Bibir dan ujung-ujung jarinya membiru. Dokter dan perawat segera memberikan bantuan medis. Lemah kudengar ibuku berkata, "Aku titip anak kita, Johan."

Itu kata terakhir yang keluar dari mulut Ibu, sebelum tubuhnya diam membisu. Malaikat maut telah membawa jiwa ibuku menuju keabadian.

Rasa kehilangan yang teramat sangat membuatku tak bisa lagi menangis. Aku hanya menatap kosong pada tubuh ibu. Jiwa seperti telah hilang dari ragaku.

Seorang suster membawaku duduk di kursi roda dan membawaku ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu ada seorang psikolog yang berusaha membantu menyembuhkan jiwaku.

***

Di hari pemakaman ibu, aku masih belum bisa menangis. Kutatap pembaringan ibu yang terakhir dengan tatapan kosong. Teganya ibu meninggalkan aku sendiri. Mengapa kau lakukan ini, Bu? Teriakku dalam hati.

Sebuah tangan memegang pundakku. Tangan seorang yang katanya ayahku tapi tak pernah hadir dalam kehidupanku sebelum ini.

"Ayo pulang, Nak." kata lelaki itu. Aku bergeming.

"Maafkan ayahmu ini, Nak ..." katanya lagi. Aku masih bergeming. Ayah? Lelaki itu menyebut dirinya ayah? Sampai kapanpun aku tak akan menganggapnya ayah!

Aku berlaku dari hadapan lelaki itu tanpa kata. Berjalan menyusuri kota menuju taman tempat tabebuya berbunga.

Aku duduk di kursi tempat ibu duduk dalam mimpiku. Sekuntum tabebuya jatuh di pangkuanku. Kugenggam bunga itu erat. Ibu ... panggilku dalam hati.

***

Sudah sebulan ibu pergi. Lelaki itu setiap hari mengunjungiku dengan membawa makanan dan apa saja yang dipikirnya menjadi keperluanku. Semua cara dilakukan untuk mendapat pengakuan dariku. Tapi sampai kapanpun tak akan kupenuhi keinginannya untuk kupanggil ayah.

Hingga pada suatu hari lelaki itu jatuh sakit. Kasihankah aku padanya? Tidak! Lelaki itu dulu tak ada dalam hidupku dan ibu, sampai kapanpun aku tetap menganggapnya tidak ada.

Seorang Notaris menemuiku untuk membawaku ke rumah sakit. Tapi aku menolak. Pria itu sampai memohon-mohon hingga aku merasa tidak enak hati. Aku penuhi permintaannya untuk melihat lelaki itu.

Di atas tempat tidur, lelaki itu tampak jauh lebih tua dibanding saat terakhir aku melihatnya di tempat kerja.

"Nak, ayah tahu kamu tak mau menerima ayah menjadi ayahmu. Tapi setengah dari DNA yang ada di tubuhmu itu adalah DNA ayah. Ayah mengerti penolakanmu. Bisa ayah terima itu sebagai penebusan dosa. Ayah hanya ingin bilang, ayah bahagia akhirnya bisa menemukan kalian. Ayah bisa meninggal dengan tenang ...." Aku terhenyak mendengarkan ucapannya. Ah, seandainya aku bisa sepemaaf ibu.

"Nak, ayah mungkin tak bisa memenuhi amanat ibumu untuk terus menjagamu ..." Aku tercekat. Air mata mengambang di pelupuk mataku.

"Ayah ...." Kubisikkan kata itu pelan. Lelaki itu tersenyum, kemudian menutup matanya perlahan.

"Ayaaaah ...." Aku berteriak memeluknya. Notaris itu memanggil dokter untuk memberikan pertolongan. Sebuah alat defibrilator bekerja. Namun ayahku tak bisa diselamatkan.

Maka di waktu yang tidak lama aku kehilangan kedua orang tuaku. Seluruh harta ayah diwariskan kepadaku. Sekarang aku punya perusahaan, rumah dan mobil mewah, punya segala benda yang aku inginkan, tapi aku justru merasa tak memiliki apa-apa.

Kini ... di sini, di bawah bunga tabebuya yang bermekaran, kukenang kedua orang tuaku dengan perasaan sedih yang tak terkira.

Angin dingin bertiup kencang. Aku mendongak, memandang bunga-bunga tabebuya yang berguguran ke tanah, menyanyikan elegi rindu.

Tamat
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
gitalubisAvatar border
gitalubis dan 27 lainnya memberi reputasi
28
2.4K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan