fikrionlyAvatar border
TS
fikrionly
Ketika Don Juan Jatuh Cinta


Prolog

Kita tak pernah tahu bagaimana rasanya sakit diabaikan bahkan ditinggalkan, sampai mengalami sendiri luka yang sama.
Cinta datang sebagai anugerah, namun kadang dia menggoreskan luka hingga berdarah.
Jika waktu bisa diputar ke belakang, masihkah kita mau melewati jalan yang sama?

Petualanganku dalam cinta telah membuat banyak hati terluka. Tapi aku harus membayar semua ketika sebuah cinta sederhana tak bisa kuraih. Sakit, pedih dan merasa terasing ....
_____________

Part 1

Bagi cowok setampan diriku, tentu saja tidak sulit untuk mendapatkan pacar. Semenjak kuliah, terhitung ada sembilan gadis yang pernah menjadi kekasih. Dalam artian, yang kupacari lebih dari sebulan.

Namun saat ini, aku sedang jomblo. Predikat yang paling memalukan untuk di sandang. Karena mau tidak mau, aku harus fokus pada skripsi yang semestinya tahun lalu selesai. Mama mengultimatum, jika tahun ini tidak lulus kuliah, beliau tak mau mengirim biaya lagi. 

Pagi ini, saat paling menyebalkan untuk memulai aktivitas. Air PDAM mati, tetangga kamar kost bertengkar, dan lebih parah lagi, aku terjatuh dari tangga. Sebenarnya kejadian jatuh dari tangga itu tidak terlalu menyakitkan, tapi malunya teramat sangat. Karena saat kejadian, ada tiga orang cewek penghuni kamar kost di lantai satu, melihat dengan tawa berderai.

Aku merutuki tangga sialan yang membuat level kegantengan turun satu strip. Kubersihkan celana yang kotor oleh debu, kemudian melaju dengan motor sport keluaran terbaru. Hadiah mama saat ulang tahun bulan lalu.

Sebuah desa di Tawangmangu menjadi tujuan. Tempat yang telah kuputuskan untuk obyek penelitian skripsi, pengaruh media sosial di kalangan remaja desa.

Dengan dosen pembimbing seperti Pak Ali Nurdin yang teramat perhatian pada mahasiswa, harusnya sudah kuselesaikan skripsi tahun lalu, bersama puluhan teman seangkatan. Namun, naluri berpetualang dalam cinta telah menunda mimpi mama untuk melihatku diwisuda.

Dua jam berkendara, membawaku pada sebuah rumah berarsitektur joglo, milik kepala desa. Segera kuketuk pintu dan mengucap salam. Seorang wanita empat puluh tahunan muncul dan mempersilakan masuk.

“Nak Faisal?” tanyanya. Aku mengangguk. “Bapak tadi sudah memberi tahu kalau Nak Faisal akan datang.”

“Terima kasih, Bu, sudah memperbolehkan saya menumpang di sini,” ucapku.

Bu Kades mengantarkanku ke sebuah kamar dan membiarkan beristirahat setelah menempuh perjalanan cukup lama. Baru saja kurebahkan tubuh di ranjang, Gita mengirim pesan.

[Lu di mana? Gue samperin di kost kok nggak ada?]

[Mulai sekarang, lu nggak usah cari gue.] Kukirim pesan balasan.

[Apa salahku, Fai, lu tega mutusin gue.] Gita menyematkan emotikon menangis berderet-deret.

[Lu nggak salah, Git, gue yang salah. Gue udah mainin hati lu.] Kukirim balasan dengan perasaan entah apa.

[Gue cinta mati sama lu.] Gita mengirimkan balasan.

[Tapi, gue gak cinta sama lu. Gue Cuma nafsu!]



Aku mendengkus. Jengah mengadapi sikap Gita yang keras kepala. Sama seperti mantan pacarku yang lain, masih mengejar-ngejar walau sudah putus.Segera kumatikan data seluler.

“Iya, sebentar,” kataku. Ketika membuka pintu kamar, tampak seorang bak bidadari berdiri di depan pintu.

Gadis itu sangat cantik, kulit kuning langsat, hidung mancung, bibir indah, dan matanya .... Tuhan telah menempatkan semua dengan teramat sempurna. Gadis itu meletakkan segelas besar teh dan sepiring camilan di atas meja kecil sebelah ranjang. Kemudian mempersilakan dengan jempolnya. Dia tersenyum padaku sebelum pergi. Kupandangi punggung gadis itu hingga menghilang di balik dinding kamar. Siapakah makhluk cantik itu?

Tampak Bu Kades sedang duduk di ruang tengah, menonton sinetron.

“Pak Kades pulang jam berapa, Bu?” tanyaku berbasa-basi seraya duduk di dekatnya.

Bu Kades melihat jam dinding. “Mungkin sebentar lagi.”

Gadis yang tadi mengantarkan teh memberikan isyarat dengan jempolnya, menunjuk sesuatu di dalam kepada Bu Kades. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan anggukan. Apakah gadis itu bisu?

“Ayo kita makan dulu, Nak,” ajak Bu Kades. Aku mengikuti wanita itu menuju meja makan. Nasi, tempe, ayam goreng, dan telur dadar sudah tersedia di sana.

“Yang tadi siapa, Bu?” tanyaku tak sanggup  menunggu terlalu lama untuk mengetahui jati diri si gadis.

“Itu anak angkat kami,” jawab Bu Kades. “Ibu tak bisa punya anak, Nak. Dulu ibu pernah hamil, tapi keguguran. Karena ada masalah pada rahim ibu sehingga harus diangkat,” ucap Bu Kades dengan sendu. Wajahnya mendadak murung.

“Maafkan saya, Bu, telah membuat Ibu sedih,” kataku.

“Tidak apa. Ibu sudah ikhlas menjalani. Termasuk jika Bapak ingin menikah lagi,” kata Bu Kades dengan muram. Aku sedikit terkesima dengan apa yang dikatakan  Bu Kades. Seorang wanita yang rela dimadu?

Gadis cantik itu melintas di dekat meja makan, sepertinya hendak menuju kamar. Bu Kades memanggil, “Sini, Rin.” Dia mendekat. “Kenalkan, ini Nak Faisal, akan tinggal di sini sebulan.” Gadis itu tersenyum. “Nak Faisal, ini anak ibu, namanya Arini.”

Aku bersalaman dengan Arini. Gadis kuning langsat itu kemudian pergi meninggalkan kami.

“Kasihan dia, Nak Fai. Dia menjadi bisu karena peristiwa yang traumatik,” kata Bu Kades. “Dulu dia gadis yang normal, tapi hidup dalam keluarga yang serba kekurangan.” Mata Bu Kades menerawang. Sejenak hening di antara kami.

“Dia mengalami pelecehan seksual oleh ayah tirinya. Pelecehan yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama, berkali-kali, namun terlambat diketahui.” Mata Bu Kades berkaca-kaca. Dadaku pun mendadak oleh keprihatinan. “Gadis itu diancam agar tidak menceritakan kepada siapa pun, sehingga lambat laun jiwanya terguncang. Dia menjadi stress dan tidak bisa berkata-kata lagi. Dokter mengatakan itu karena trauma.” Pandangan Bu Kades menerawang jauh. Kulihat kesedihan dalam sorot matanya.

“Apakah Arini pernah dibawa ke psikiater?”

“Pada awal-awal kasusnya terungkap, dia dalam penanganan psikiater. Kini Arini sudah bisa menjalani kehidupannya dengan normal. Hanya, suaranya tak pernah kembali. Dia tetap bisu.”

Aku terdiam. Turut merasakan kepedihan yang pernah dialami Arini. Tak kusangka, dibalik wajah bak bidadari itu tersimpan luka yang teramat dalam.

Hari ini kumulai penelitian. Ditemani Arini, menemui dan mewawancarai beberapa pemuda di kampung itu. Arini berkomunikasi dengan tulisan. Gadis itu terbiasa membawa sebuah buku kecil dan bolpoin untuk mengatakan sesuatu. Untunglah Arini bisa baca tulis. Jika tidak, tentu sulit bagiku berbicara dengannya. 

Selesai menemui responden, kami berjalan-jalan di sawah milik Pak Kades. Petak-petak sawah itu dipenuhi padi yang mulai menyembulkan bulir-bulirnya. Arini terlihat gembira, wajahnya selalu dihiasi senyum. Gadis itu menunjuk sebuah dangau, kemudian kami beristirahat di sana.

Beberapa petani yang lewat menyapa kami dengan ramah. Aku merasa seperti berada di belahan bumi lain. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan di kota yang penuh dengan ketidakperdulian.

Aku bercerita banyak hal pada Arini. Termasuk tentang diriku. Sesekali gadis itu bertanya, kemudian kujawab dengan candaan yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

Angin sawah memainkan rambut Arini yang panjang melewati bahu. Beberapa helainya menutupi separuh wajahku. Kunikmati sensasi lain bersama gadis ini. Dia terlihat begitu polos. Namun siapa  sangka, seseorang telah merenggut miliknya yang paling berharga.

“Arini ....” Gadis itu memandangku. “Kamu cantik.”

Wajah di depanku bersemu merah dadu. Tersungging senyum manis di bibir indahnya. Kupandang dia dengan debaran aneh yang mulai meraja di dada.

Setelah cukup lama di dangau, Arini mengajakku pulang. Kami kembali meniti pematang sawah yang sedikit berlumpur, bekas hujan semalam. Aku terpeleset dan hampir jatuh, tapi tangan Arini cepat meraih lenganku. Seperti adegan klasik di sinetron, namun ini terbalik, bukan si wanita yang hampir terjatuh. Arini tertawa berderai. Wajahnya terlihat jauh lebih cantik saat tertawa. Jiwa petualangku menjadi terusik. Tapi, mungkinkah aku berpacaran dengan gadis desa, bisu, tak berpendidikan dan mengalami trauma seksual?

Arini menyenggol dengan sikunya, membuatku tersentak dari imajinasi yang liar

Hari-hari di desa itu menjadi sangat menyenangkan karena ada sosok Arini yang selalu menemani. Tak terasa, aku sudah hampir sampai di penghujung waktu.

Malam ini, aku sedang mengetik hasil penelitian di ruang tengah. Pak Kades dan istrinya sudah beristirahat di kamar. Arini menyuguhkan secangkir kopi panas. Namun belum sampai meletakkan kopi di meja, kaki Arini tersandung kaki meja hingga membuatnya  terjatuh. Kopi yang dipegang tumpah di kaki. Aku tersentak kaget oleh rasa panas . Terlebih Arini juga jatuh menimpaku.

“Maaf!” seru gadis itu. Aku tersentak untuk kedua kalinya.

“Arini ... kau ...?” Arini berada di atas tubuhku. Wajahnya berada sangat dekat.

Cepat-cepat gadis itu bangkit, tetapi aku menggenggam pergelangan tangannya, membuat dia duduk di sebelahku. “Kau bisa bicara, Rin ....” Aku menatap bola mata indahnya dengan penuh keharuan. “Ucapkan sesuatu lagi padaku!”

“Ma-maafkan a-aku,” kata gadis itu terbata.

Seumur hidupku, baru kali ini merasa keharuan yang begitu membuncah. Arini meneteskan air mata. Kuusap titik bening yang menetes di pipinya dengan ujung jari.

“Bahkan ketika menangis, kamu masih tetap cantik,” bisikku seraya memeluk tubuh gadis itu, dia tak menolak. Ada gejolak dalam dada yang membuatku begitu bahagia. Kebahagiaan yang belum pernah kurasakan ketika dekat dengan gadis manapun.

Kami tersentak ketika mendengar nada dering HP. Gita menelepon. Kulepaskan pelukan. Arini terlihat salah tingkah. Aku memandangnya dengan tatapan penuh arti.
 
Bersambung
Diubah oleh fikrionly 07-11-2019 00:59
lina.whAvatar border
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
NadarNadz dan 18 lainnya memberi reputasi
19
5.9K
41
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan