DegradasimentalAvatar border
TS
Degradasimental
Mencari Inti Persoalan Bangsa


.....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial... Ini adalah sepenggal paragraf dari pembukaan UUD 1945 alinea ke empat tentang tujuan didirikannya negara Indonesia.

Mungkin saja beberapa di antara kita menanggapinya secara skeptis dan pesimistis. Bahkan mungkin sebagian lagi berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah satu mimpi belaka. Mimpi dari bangsa yang dibangun atas identitas dan jatidiri terkorup akibat dari rezim kolonial yang telah mencengkeram kuat selama ratusan tahun.

Anggapan yang berkembang selama ini menyatakan bahwa 350 tahun adalah lamanya periode kolonial bercokol di bumi Nusantara. Sudah barang tentu hal ini tak berbanding dengan lamanya periode kemerdekaan negara Indonesia. Atau, apabila Melalui hitung-hitungan sederhana dimana anak SD di negeri ini pun tahu, kenyataannya perbandingan ini tidak cukup memadai secara kuantitas untuk memulihkan identitas dan jatidiri dari keberadaannya sebagai bangsa inlander menjadi bangsa merdeka.

Dari sini kemudian muncul pertanyaan tentang apakah benar bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun? Karena jika berpatokan dengan lamanya waktu tersebut, bukankah hal itu berarti menyangkal perjuangan para pahlawan, kendatipun dalam tingkatannya yang masih bersifat lokal? Perjuangan menegakkan identitas dan jatidirinya sebagai anak manusia bersama masyarakatnya. Oleh sebab itu, pemahaman utuh terhadap sejarah tersebut menjadi sangat penting dalam membangun identitas dan jatidiri bangsa ini.

Secara inti, kesadaran tidak berada pada wilayah jumlah lama dan sebentarnya waktu, namun berpusat pada tataran kualitas. Selanjutnya pada perkembangannya, kesadaran tersebut menjadi kesadaran kolektif, yang menjadi rahim sekaligus proses dari semua gerakan kebangkitan nasional dan dekolonialisasi. Kesadaran kolektif ini juga yang kemudian melahirkan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia.

Meskipun tujuan di atas dianggap sebagai mimpi, maka mimpi itu bukan sekadar mimpi. Akan tetapi "mimpi yang berkesadaran", yang terus melekat dan menuntun seluruh proses kehidupan bangsa ini. Bukan idealitas yang terpencil, tetapi "idealitas yang berjembatan", dimana bangsa ini dituntut untuk menyusurinya dengan penuh kesadaran pada setiap langkahnya. Dan kini pertanyaannya, apakah bangsa ini digerakkan dan melangkah dalam kesadaran kolektif itu?
Barangkali yang kita alami dan lihat bersama, bahwa langkah-langkah berkesadaran itu kini dalam kondisi tersandera oleh kompleksitas permasalahan bangsa yang mengerucut pada tergerusnya identitas, jatidiri bangsa dan kesadaran kolektif di atas. Korupsi, sikap politik yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan, westernisme, radikalisasi mengatasnamakan agama, konflik antar etnis dan agama, tawuran antar pelajar, kemiskinan, maraknya kriminalitas, dan sebagainya, tidak lain merupakan bukti bahwa bangsa ini mutlak untuk berkaca dan membenahi diri.

Apakah kita gagap dengan tujuan di atas? Atau barangkali karena kebanyakan kita lahir pasca proklamasi hingga menjadikan enggan untuk menengok sejarah? Kalau benar demikian, kasihan sekali nasib bangsa ini. Bahwa apa yang disebut "Indonesia", tidak lebih dari kumpulan individu tanpa identitas dan jatidiri sebagai manusia Indonesia. Tanpa kesadaran kolektif atas tujuan didirikannya negara ini. Barangkali juga, hanya kumpulan individu yang mementingkan diri sendiri. Lebih luas lagi, adalah kepentingan sekelompok individu atau golongan tertentu.

Dalam pidato awalnya tentang rumusan dasar negara Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, Bung Karno menyebutkan lima sila (prinsip/ dasar), yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Panca Sila, demikian sebutan yang diintrodusir oleh Bung Karno, merupakan titik konsensus dari segenap elemen bangsa. Kendati demikian, Bung Karno juga menawarkan opsi lain andaikata lima sila tersebut tidak mendapatkan kesepakatan bersama. Tri Sila atau tiga prinsip, yang menurut Bung Karno merupakan perasan dari lima prinsip di atas, yaitu, socio-nationalisme yang diperas dari dua dasar pertama, yakni kebangsaan dan internasionalisme serta kebangsaan dan perikemanusiaan. Kemudian, socio democratie, yang merupakan gabungan dari paham demokrasi dan kesejahteraan sosial. Berikutnya adalah ke-Tuhanan, yang menghormati satu sama lain.

Lebih jauh Bung Karno menjelaskan, jika tiga prinsip tersebut tidak disepakati, maka opsi terakhirnya mengerucut pada Eka Sila, yaitu sila gotong-royong. Dengan pernyataan tersebut, tampaknya Bung Karno ingin menegaskan bahwa "nyawa" dari Panca Sila---sebagaimana dikemukakan di atas---, adalah semangat gotong-royong. Jelasnya, kelima sila di atas harus berjiwa gotong-royong, dengan ekspresinya yang proporsional.

Rumusan terkait dasar negara yang dikemukakan oleh Bung Karno di atas--- juga yang disampaikan para tokoh bangsa lainnya---, kemudian mengalami finalisasi melalui proses pengesahan konstitusional oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Kita dapat menemukan rumusan final tersebut pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak lain merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup dan mengatur kehidupan masyarakat sejak masa yang lama. "Ber-Pancasila tanpa nama", demikian Gus Dur menyebut kehidupan bangsa ini pada masa itu, yang dikenal dengan istilah "bhinneka tunggal ika", berbeda-beda tetapi satu tujuan.

Berkaitan dengan satu tujuan di atas, gotong-royong yang dimaksud oleh Bung Karno adalah paham yang dinamis. Bahkan lebih dinamis daripada kekeluargaan. Sebuah citra atas kesatuan upaya bersama yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan cita-cita seluruh bangsa Indonesia. Lantas pertanyaannya, apakah bangsa ini masih memiliki kesadaran umum tersebut?

Pada kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, inilah fokus dari peliknya permasalahan yang menyandera Indonesia hingga saat sekarang. Terutama masalah korupsi, yang pada umumnya melibatkan kalangan elite politik dan pemerintahan, yang selanjutnya disebut "oknum". Lalu siapa sebenarnya oknum tersebut? Tidak lain adalah keberadaan tanpa identitas dan jatidiri. Bukan seluruh anak bangsa Indonesia yang nasibnya dipertaruhkan. Kita sebut saja, "sang penyandera".

0
496
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan