DharryzoneAvatar border
TS
Dharryzone
[Event Pendakian]Teror Alas Lali Jiwo
Misteri di Gunung



"Jay ... Kamu di mana?" Suaraku menggema, menuruni bebukitan yang curam di sisi kanan tempatku berdiri.

Alam seakan diam menyaksikan, kegelisahan dan penyesalan yang kurasakan kini. Aku kembali memanggil nama jaya, Wijaya Kusuma. Ia teman sekaligus sahabat dekatku.

***


Sabtu lalu, kami berangkat mendaki gunung Arjuno. Gunung yang memisahkan Malang dan Mojokerto. Kami berangkat jumat sore. Beristirahat di rest area sebelum keesokan harinya memulai pendakian.

Malam itu, kami berempat aku, Ilyas, Hakam dan jaya bermalam di rest area. Memesan kopi dan mie rebus di warung yang berjajar di sekitar rest area. Suasana cukup ramai, dan sekitar pukul sepuluh malam, kami beranjak tidur. Tentunya kami membayar dulu makanan dan minuman yang kami pesan.

Belum sampai terlelap, suara handphone Hakam berdering. Malam itu juga Hakam harus pulang, karena mendadak harus menunggu ibunya di rumah sakit karena serangan stroke.

Kami sempat ragu, antara pulang atau tetap melanjutkan rencana pendakian. Mengingat, mitos yang terkenal di masyarakat adalah, jangan mendaki dengan jumlah orang ganjil.

Wijaya, dialah orang yang pertama kali meyakinkan, bahwa itu hanya mitos. Tak perlu kami memikirkan hal itu, karena ini bukan kali pertama kami mendaki Arjuno. Setiap lekuk dan Medan telah kami hafal betul.

"Ojo Wedi, demit e bakal keplayu, amergo wedi karo jimatku," ucap jaya, sembari mengeluarkan bungkusan kain hitam, yang ia simpan dalam saku kanan carriernya.

"Ah, kamu Jay ... Ojo takabur, yakin Ojo Nang jimat, syirik kamu iku." Aku mengangguk, membenarkan perkataan Ilyas.

Quote:


Pagi sekitar pukul tujuh, kami bergerak ke pos pantau. Melakukan tes kesehatan sebagai syarat kami diperbolehkan melakukan pendakian. Administrasi beres. Dan kami melanjutkan perjalanan.

***


Aku berjalan di antara Ilyas dan Hakam. Sesekali memeriksa posisi, sudah berada di ketinggian berapa melalui alat yang kami bawa. Udara lembab yang kami rasakan, adalah tanda bahwa semakin jauh kami memasuki hutan.

Hutan yang ditumbuhi pohon Pinus, berkabut tipis. Pohon Pinus seakan sengaja ditanam tidak terlalu dekat, dengan jarak yang lumayan renggang, sehingga cahaya matahari masih bisa menerobos di sela dedaunan.

Ilyas, dengan kamera Canon nya asyik mengabadikan beberapa sisi hutan yang kami lewati. Jurang terjal di sisi kanan, tak luput menjadi objeknya. Aku merasakan sesuatu menggores kulit pipi. Namun saat kuperiksa, tak ada luka di sana.

Aku perhatikan, sedari tadi jaya asyik dengan dunianya, headset tak sekalipun lepas dari telinga. Mengajaknya bicara, menjadikanku seperti orang sinting. Ngomong sendiri.

Perjalanan kami lanjutkan, kutengok jam dipergelangan waktu masih pukul dua siang. Namun matahari seakan malu sekedar berbagi cahayanya. Gerimis perlahan turun. Aku menoleh memastikan jaya masih di belakangku.

Aku bergidik, saat kulihat di belakang jaya ada sosok hitam yang terus mengikuti kemana arah jaya pergi. Makhluk itu seakan tahu aku memperhatikannya.

Bulu lebat berwarna hitam tumbuh di sekujur tubuh, postur tubuhnya melebihi jaya yang memiliki tinggi 180cm. Aku mencoba bersikap tenang, namun sesekali aku mencuri pandang, sorot mata itu menyala, memberi peringatan untuk aku tetap diam. Aku berpaling, mencari cara untuk memberi tahu jaya, tentang keberadaan makhluk asing yang sedari tadi menguntitnya.

"Yas, kita istirahat sebentar," seruku pada Ilyas yang sudah berada beberapa langkah di depan. Ia berhenti di bawah salah satu pohon. Meletakkan carrier dan mengeluarkan matras.

Kutepuk pundak jaya, dan mengajaknya beristirahat. Apa yang dilakukan makhluk itu, kenapa dia terus melihatku dengan kemarahan? Aku hanya bisa membatin. Mengaburkan rasa khawatir yang terus saja mengusik batin.

Jaya melepas headshet dari telinganya, aku hendak mengajaknya bicara, namun makhluk itu seakan mengancam dengan gurat kemarahan yang terlihat jelas ia sampaikan lewat sorot mata yang sedikit tertutup, bulu yang tumbuh di sekitar mata.

Aku mengurungkan niat berbicara langsung kepada jaya. Hendak mengetik sesuatu di layar gawai, namun urung. Ilyas yang sedari tadi asyik dengan kamera, kulihat air mukanya pucat. Ia terus saja melihat ke arah di mana makhluk itu berada, tepat di belakang jaya. Mata kami beradu, gurat cemas kami rasakan bersama, namun tak tahu harus berbuat apa.



Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, hanya bulir keringat dingin nampak menuruni pelipisnya. air mukanya benar benar culun, namun aku sadar, akupun mengalami hal yang sama.

Suara burung gagak, memecah sunyi. Aku terperanjat, mengingat mitos yang dulu sering kudengar, kabar buruk seringkali datang setelah kehadiran burung gagak. "Astaghfirulloh, apa-apaan ini? Kenapa pikiranku jadi ngelantur."

Seakan melupakan sesuatu, ada yang janggal di hatiku. Tapi berkali aku periksa, tak ada yang kurang. Hanya saja kurasakan kehadirannya sejak memasuki kawasan alas lali jiwo.

"Udahan nih istirahatnya, keburu malem kalau kelamaan duduk di sini," ucapan jaya memecah kebisuan di antara kami. Aku mengangguk ragu. Bagaimana mungkin kami bisa melanjutkan pendakian kalau makhluk itu masih terus mengikuti.

Kami mulai melangkah, menyusuri hutan yang semakin lembab. Kabut pekat sempat mengaburkan pandangan. Aku yang berada di tengah, beberapa kali memastikan Ilyas dan jaya berada pada jarak yang aman, tak terpisah.

Langit malam, mulai menggantung. Namun kami belum juga sampai di puncak. Rasa lelah sudah mendera membuatku lupa bahwa ada genderuwo yang sedari tadi mengikuti perjalanan kami.

Aku memeriksa tali sepatu yang terlepas, berjongkok dan membetulkan talinya. Kaget luar biasa, karena mendadak ada kabut pekat yang membuatku benar-benar tak bisa melihat dengan jelas.

"Ilyas ... Jaya ...!" Suaraku seakan berhenti di kerongkongan. Semakin aku berteriak semakin sesak yang kurasakan. Aku beristighfar, memohon perlindungan pada sang pemberi kehidupan. Perlahan kabut itu menepi dari pandangan, aku bisa melihat Ilyas yang berlari tergopoh-gopoh.

"Kamu lihat apa yang baru saja terjadi?" Seru Ilyas padaku yang masih mengedarkan pandangan di sekitar. Mencari ... Ya aku mencari jaya, beberapa saat lalu, jaya masih di belakangku. Tapi kini, ia tak lagi bersama kami.

Aku menggeleng tak percaya, mendengar apa yang dikatakan ilyas, jaya seakan hilang bersama pusaran kabut yang seketika datang dan melemahkan kami. Kemudian bergerak ke arah selatan, menuruni tebing yang kami ketahui sangat curam.

***


Wijaya Kusuma, sahabatku ... Sore itu menghilang dan sampai kini aku tak berhasil menemukannya. Didera sesal berkepanjangan tak menjadikanku dan Ilyas bisa hidup tenang.

Di manapun kita berada, sebaiknya tak melupakan Tuhan. Menghormati mereka yang tak nampak, namun berada di sekitar kita. Mereka yang diciptakan Tuhan, seperti halnya kita. Jika bisa hidup berdampingan, mengapa harus menantang dengan ucapan yang terkesan takabbur?

Quote:
Diubah oleh Dharryzone 02-10-2019 13:27
ceuhettyAvatar border
sebelahblogAvatar border
someshitnessAvatar border
someshitness dan 20 lainnya memberi reputasi
19
6.6K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan