lintangayudyAvatar border
TS
lintangayudy
Misteri Pemukiman Di Gunung Ciremai



"Aduh!" Bagas mengaduh sembari mengelus pelipis yang terkena lemparan batu kecil.

"Lu nimpuk gue, Jo?" tanya Bagas.

"Elah, kaya kagak ada kerjaan banget, sih," jawab Jonathan.

"Trus siapa yang nimpuk gue? Elu, Ka?" tanya Bagas penasaran.

Raka hanya menggeleng. Lelaki berambut gondrong itu menunduk lalu mengikat tali sepatunya yang terlepas.

"Setan kali," jawab Jonathan sekenanya.

"Jaga mulut, Jo. Kita sedang tersesat di Hutan Ciremai yang terkenal angker," ucap Raka.

"Au tuh! Jadi santapan setan penghuni hutan baru tau rasa, Lu!" omel Bagas.

Bagas tidak menyadari ucapannya mungkin saja akan mendatangkan musibah, ia lupa akan pesan Kak Reno - ketua ekspedisi, saat briefing sebelum mendaki bahwa tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar, apalagi menyebut makhluk-makhluk halus yang mungkin saja akan terpanggil.

Jonathan tak menimpali lagi ucapan teman-temannya. Ia segera mempercepat langkahnya, tetapi baru beberapa meter, lelaki berkulit putih itu menghentikan langkahnya.

"Gaes! Bukannya saat mendaki Gunung Ciremai tidak boleh cuma bertiga ya?" tanya Jonathan setelah membalikkan tubuh tegapnya.

Raka, Bagas, dan Jonathan saling pandang. Cerita itu memang sudah mereka dengar sebelum berangkat mendaki.

"Ah, itu cuma mitos. Nyatanya kita baik-baik saja. Yuk kita lanjutin perjalanan kita. Sebentar lagi malam, kita harus sampai ke pos secepatnya," ucap Raka.


sumber gambar

Raka kembali melanjutkan perjalanan, tak lama Bagas dan Jonathan mengekor di belakangnya.

"Tunggu! Berhenti," Teriak Bagas.

Jonathan dan Raka menoleh secara bersamaan.

"Ayok, kita harus segera menyusul rombongan. Ini sudah mulai petang, Gas. Bisa-bisa kita tidak bisa menuju puncak," omel Jonathan.

Bagas sudah terkapar di tanah, ia mengacungkan botol minuman kosong ke arah Raka dan Jonathan.

"Haus," ucap Bagas.

Raka melemparkan sebotol minuman yang tinggal sedikit.

"Jangan dihabisin," perintah Raka.

Bagas segera meminum setelah itu melemparkan botol itu ke arah Raka. Saat hendak berdiri, sayup-sayup Bagas mendengar suara seorang wanita sedang menangis. Lelaki tambun itu mempertajam pendengarannya.

"Jo!" panggil Bagas.

"Apa?"

"Lu, denger cewek nangis, kagak?"

"Nggak. Ngaco, Lu! Mana ada cewek di tengah hutan begini. Yang ada kunti," jawab Jonathan asal.

Setelah tersadar dengan ucapannya tubuh Jonathan meremang, ia pun segera berlari menuyusul Raka yang sudah jauh di depan. Bagas pun segera menyusul kedua temannya.

Langkah mereka terseok karena kelelahan, perut mereka kembali meronta meminta diisi, sedangkan malam semakin larut. Dinginnya udara malam menusuk sampai ketulang-tulang mereka. Raka mengeratkan jaketnya, pendengarannya menangkap suara aneh. Raka menghentikan langkahnya, Bagas dan Jonathan pun turut mengekor di belakangnya.

"Hepen?" bisik Jonathan.

Ketiga pemuda itu mengedarkan pandangan, menyusuri keadaan di sekeliling mereka dengan berbekal senter dan sinar bulan purnama. Sekelebat bayangan hitam tertangkap oleh netra ke tiga pemuda itu. Bagas segera merapatkan tubuh tambunnya ke Jonathan.

"Apaan sih?" bisik Jonathan.

"Elu liat kagak tadi ada bayangan hitam gitu?" tanya Bagas ketakutan.

"Iya!" jawab Jonathan.

"Gue takut, Jo,"

"Gue juga takut, Bego!"

Gedebuk!

Bagas dan Jonathan menoleh ke sumber suara, mereka terkejut melihat Raka terjatuh dengan posisi telentang. Bagas dan Jonathan segera berlari ke arah Raka.

"Lu, kenapa bisa jatuh, sih, Ka?" tanya Jonathan sembari membantu Raka berdiri, Bagas pun turut serta membantu.

"Awas!" teriak Raka.

Namun nahas, Bagas sudah lebih dulu jatuh terpelanting membentur pohon besar tak jauh dari mereka.


sumber gambar

Mata Raka membelalak melihat penampakan di depannya. Seseorang dengan tubuh tinggi, hitam legam, menampilkan gigi taring yang tajam, dengan mata merah berdiri tak jauh dari tempat Bagas terjatuh. Jonathan menyoroti orang tersebut dengan senter di tangannya. Lelaki tinggi besar itu tersenyum menyeringai.

"Si-siapa kamu?" tanya Jonathan ketakutan.

"Ha ... Ha ... Ha ..." Lelaki tinggi besar itu hanya tertawa.

"Aaaa!" Bagas berteriak setelah tubuh tambunnya diinjak lelaki raksasa itu.

"Lepaskan, dia!" teriak Raka.

"Jangan harap, anak muda! Ha ... Ha.. ha ..." Lelaki raksasa itu kembali tertawa.

Kini, tangan kekar raksasa itu meraih tubuh tambun Bagas, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Bagas hanya terdiam pasrah, ia sudah sangat lelah dan kesakitan akibat tendangan yang ia terima. Sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Raka dan Jonathan sudah bersiap melawan raksasa itu dengan sisa-sisa tenaga yang mereka punya. Mereka berlari bersama ke arah Bagas dan raksasa itu

"Lepaskan, pemuda itu," teriak seseorang di belakang Raka dan Bagas.

Melihat raut wajah raksasa yang mendadak ketakutan, Raka pun menoleh ke sumber suara tadi. Seorang perempuan cantik memakai baju putih tersenyum ke arahnya.

"Lepaskan!" perintah perempuan itu.

Sebelum beranjak pergi, raksasa itu melempar tubuh tambun Bagas ke arah Raka dan Jonathan. Raka dan Jonathan terjatuh tertimpa tubuh besar Bagas. Jonathan mengaduh, lalu mendorong tubuh Bagas kesamping. Setelah berhasil Jonathan dan Raka melihat kondisi Bagas. Darah keluar dari sudut bibir Bagas, wajahnya tampak pucat, serta peluh membanjiri wajah chubbynya.

"Lukanya cukup parah, mari kita obati di rumahku," ucap gadis cantik di belakang ketiga lelaki itu.

Raka dan Jonathan menoleh, sedangkan Bagas hanya bisa meringis menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Raka dan Bagas memapah Bagas mengikuti gadis berparas ayu itu.

Tak lama, dari kejauhan terlihat kemerlip lampu, wajah ketiga pemuda itu terlihat semringah.

"Akhirnya kita sampai pos juga?" gumam Bagas.

"Betewe, Kak Reno sepertinya bilang kalau pos selanjutnya itu cuma gardu kecil bukan pemukiman seperti itu," ucap Jonathan.

"Bodo amatlah, pemukiman ini lebih baik daripada gardu kecil seperti omongan Reno. Dan yang pasti kita bisa makan dengan layak," ucap Bagas.

*****

"Silakan di makan, biar Bagas diobati oleh teman saya," ucap Ayu, gadis yang telah menyelamatkan ketiga pemuda itu dari raksasa di hutan tadi.

"Terima kasih, Ayu," ucap Jonathan.

Mata lelaki bermata sipit itu terus menatap paras cantik Ayu. Ayu membalas tatapan Jonathan dengan tersipu. Sedangkan Raka tengah asyik melihat pemandangan di luar gubuk itu melalui celah jendela.

"Sepertinya ada yang aneh di pemukiman ini," batin Raka.

"Boleh aku, keluar sebentar," tanya Raka pada Ayu yang tengah tertawa kecil mendengar gombalan receh Jonathan.

Ayu menatap wajah Raka, lalu mengangguk. Raka segera beranjak dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Ayu dan Jonathan di ruang tamu.

Raka menyisir ke seluruh pemukiman. Meski malam telah larut tetapi pemukiman itu masih saja ramai, lalu lalang orang datang silih berganti.

"Kenapa dari tadi aku tidak melihat satu pun lelaki di sini?" batin Raka.

Raka pun berinisiatif untuk menanyakan jalan yang harus dilewati untuk mencapai puncak Gunung Ciremai kepada salah seorang warga. Namun saat hendak bertanya, setiap perempuan yang ia dekati justru menjauhinya. Akhirnya Raka pun berniat untuk bertanya pada Ayu.

Saat hendak kembali ke gubuk Ayu, Raka melihat ada yang aneh di dalam salah satu gubuk yang letaknya persis di belakang gubuk milik Ayu. Tanpa sadar, kini Raka telah berdiri di samping gubuk itu. Kupingnya ditempelkan di dinding yang terbuat dari papan.

Sayup-sayup lelaki gondrong itu mendengar suara rintihan yang sangat ia kenali.

"Bagas!" teriak Raka dalam hati.

Raka pun mencari celah untuk melihat keadaan di dalam gubuk. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Raka segera mengintip.

Raka membekap mulutnya sendiri supaya suaranya tidak terdengar keluar. Peluh langsung membanjiri wajahnya setelah ia melihat apa yang ada di dalam gubuk. Raka segera meninggalkan tempat itu.

Tak butuh waktu lama, Raka sudah kembali di gubuk Ayu. Namun ia tak menemukan Jonathan di sana.

"Jo! Jo!" teriak Raka sembari membuka semua pintu yang ada di gubuk Ayu.

"Sial!" umpat Raka.

Raka kembali keluar.

Braak!

Dengan sekali dobrak pintu itu terbuka lebar. Raka tercengang melihat keadaan di dalam gubuk itu. Kedua temannya terpasung dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Wajah serta tubuh mereka berlumur darah. Raka sedikit bergidik, tetapi melihat kedua temannya itu sudah tidak berdaya membuat Raka geram.

Ia melangkah masuk dengan tergesa, tetapi sebelum Raka sampai di tempat di mana teman-temannya berada sebuah tali tiba-tiba mengikat kedua tangannya. Raka menggeram marah.

"Lepaskan mereka, brengsek!" teriak Raka sembari berusaha melepaskan ikatannya.

"Tidak semudah itu, anak muda. Kalian sendiri yang datang padaku," ucap Ayu sembari menyunggingkan senyuman manisnya.

Ayu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Raka. Dielusnya wajah tampan Raka.

"Setelah kamu selesai memuaskanku, nasibmu juga akan seperti teman-temanmu itu," ucap Ayu.

"Bersiaplah, sayang," bisik Ayu di telinga Raka.

Raka segera menjauhkan wajahnya. Namun cengkraman Ayu di wajah Raka lebih kuat. Kuku tajam Ayu menggores kulit wajah Raka hingga berdarah. Napas Ayu memburu, menatap liar pada Raka. Namun saat bibir Ayu hendak menyapu bibir Raka, lelaki itu meludahi wajah cantik Ayu. Ayu memejamkan matanya menahan amarah.

"Brengsek!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Raka. Raka tersenyum.

"Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Sayang," ucap Ayu.

Ayu melukis kulit wajah Raka dengan sebilah pisau di tangannya. Raka meringis menahan perih. Saat Ayu tengah asik melukai wajah tampan Raka, lelaki gondrong itu pun berusaha melepas ikatanya.

Setelah berhasil, Raka segera mendorong tubuh kecil Ayu hingga membentur dipan tempat Bagas dan Jonathan di pasung.

"Kau mau bermain-main denganku rupanya, anak muda," ucap Ayu geram.

Dengan tubuh kecilnya, Ayu mengangkat dipan itu dan dengan sekali hentakan, dipan itu sudah melayang. Raka bisa menghindari lemparan dipan itu, tetapi nyawa Bagas tidak bisa tertolong lagi. Kepala Bagas membentur batu besar di pojok ruangan. Darah segar keluar dari kepalanya, di sampingnya tubuh Jonathan sudah tidak bergerak, matanya membelalak. Raka merasakan mual yang teramat melihat keadaan teman-temannya.

Melihat kemurkaan Ayu, Raka memilih untuk melarikan diri dari pemukiman itu. Dengan sisa tenaga Raka mencoba berlari keluar dari gubuk itu.

"Kamu takkan bisa keluar dari sini, anak muda. Ha ... Ha ...." Teriak Ayu.

****

Raka menghentikan langkah, napasnya memburu, tenaga pun sudah mulai habis, kemanapun ia berlari, akan kembali ke tempat itu-itu lagi. Raka mulai berfikir.

"Pasti ada jalan keluarnya, tapi di mana?" gumam Raka.

Raka mengedarkan pandangannya, mencari jalan untuk keluar dari pemukiman ini. Raka memindai setiap gubuk yang berjejer dengan rapi. Semua terlihat sama hanya gubuk Ayu yang terlihat berbeda.

"Apa, jangan-jangan gubuk Ayu itu jalan keluar masuk ke dalam hutan Gunung Ciremai?" gumam Raka.

Raka segera memasuki gubuk milik Ayu. Dia menyisir setiap ruangan dan matanya menangkap pintu kecil di lemari tua yang terlihat berbeda dari pintu lainnya. Raka pun segera berlari ke pintu itu, namun sebelum sampai ke pintu itu, Ayu menghentikan langkahnya.

"Mau kemana, anak muda?" tanya Ayu.

"Sial!" umpat Raka.

"Kamu tidak akan bisa keluar dari sini," cibir Ayu.

Ayu memperpendek jarak mereka, Raka terdiam dengan netranya yang sibuk membaca situasi. Bola mata Raka menangkap kilau cahaya dari liontin yang Ayu kenakan. Kini, jarak mereka hanya sejengkal. Ayu mengelus bekas sayatan yang ia torehkan di pipi lelaki itu.

"Jika kau menurut, tak akan sesakit ini, anak muda," ucap Ayu serupa bisikan.

Tangan kanan Ayu menekan tengkuk Raka, saat gadis itu memejamkan matanya. Raka segera menarik liontin di leher gadis itu, lalu menendang perut Ayu hingga tersungkur dan membentur lemari tua di belakangnya.

"Aarrgh!" Ayu mengaduh.

"Brengsek! Kembalikan liontinku," perintah Ayu.

Raka tak mengindahkan perintah Ayu, ia segera berlari ke arah pintu kecil itu, dengan tergesa Raka membuka handle pintu hingga terbuka lebar, sinar cahaya menyambut netra Raka. Raka pun melangkah melewati pintu itu. Setelah melewati pintu itu tubuh Raka seakan melayang, kedua tangannya menghalau cahaya yang masuk ke dalam penglihatannya.

Brugh!

Raka terjatuh ke tanah.

"Kakek, Kakek. Ada orang jatuh dari langit," ucap gadis kecil berponi di depannya.

Raka tersenyum sembari membersihkan pakaiannya.

"Kakek,"

"Iya, Ra," sahut lelaki tua di samping Ara, gadis kecil berponi itu.

Lelaki tua itu menyipitkan matanya. Berkali-kali lelaki itu mengucek matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

"Raka."

"Kamu, Raka, kan?" tanya lelaki tua itu.

Raka mengangguk.

"Kamu, masih hidup? Ya Allah terima kasih," lelaki tua itu langsung memeluk tubuh Raka.

Raka tediam, tidak membalas pelukan lelaki itu.

"Aku Reno, ketua ekspedisi pendakian di Gunung Ciremai, tiga puluh tahun yang lalu," ucap lelaki tua itu setelah melepas pelukannya.

"Kak Reno? Tiga puluh tahun yang lalu?" tanya Raka.

Reno mengangguk.

"Kami dan Tim penyelamat sudah berminggu-minggu menyusuri hutan itu, tapi tidak menemukan kalian. Di mana Bagas dan Jonathan?" tanya Reno.

"Kakek kenal orang yang jatuh dari langit ini?" tanya Ara.

Raka dan Reno saling tatap. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

End.

Note.

_Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan._
Diubah oleh lintangayudy 24-09-2019 02:25
nona212Avatar border
sulkhan1981Avatar border
.noissssssscat.Avatar border
.noissssssscat. dan 34 lainnya memberi reputasi
35
12.4K
135
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan