linalusianaAvatar border
TS
linalusiana
Kepala Tanpa Tubuh Yang Melegenda!







Aku hampir saja terjerembab, andai saja sebuah tangan kokoh tidak menarikku dengan kuat.

"Hati-hati, La. Kamu kalau jalan suka jelalatan." Ia mengomeliku setelah berhasil menyelamatkan diriku yang tadi tersandung.

"Laila biar sama aku!" Damar maju mendekatiku setelah berhasil menyingkirkan batu yang hampir membuatku celaka tadi. Kulihat Rimba menghela nafas kasar. Dia berjalan mendahului kami setelah mengatakan pada Damar untuk tidak lengah mengawasiku.

"Kamu seharusnya nggak usah marah begitu sama Rimba. Dia cuma menolongku, Dam."

"Terserah apapun sebutannya, yang jelas, dia menyentuhmu!" Aku hela nafas lelah. Lalu mengikuti Damar yang kini memegangi tanganku cukup erat.

Undakan demi undakan kami lalui dengan susah payah. Semilir angin menjadi simfoni yang syahdu mengiringi langkah. Ika, Tari dan seorang pemandu berada paling depan sebagai penunjuk jalan. Karena mereka berdua yang lebih dulu pernah ke gunung ini beberapa waktu silam. Setelah bersepakat untuk liburan di sini, kami langsung berangkat. Sampai di Kota Manis, Rimba yang mengurus penyewaan mobil untuk melanjutkan perjalanan ke daerah ini.

Bukit Sebayan ini tidak terlalu curam, namun banyak sekali bebatuan dan tumbuhan berduri di sepanjang jalan. Pohon-pohon bermacam jenis tumbuh di sekitaran bukit. Awalnya Ika mengajak mendaki ke bukit raya yang terkenal dengan kesulitan dan banyaknya pacet penghisap darah. Mendengar cerita begitu saja membuat bulu kudukku berdiri. Membayangkan makhluk kecil itu menempel dikulitku dan menghisap darahku dengan rakus. Ih, menggelikan sekaligus mengerikan. Dan aku penentang paling keras, lalu Ika mengusulkan ke bukit Sebayan ini.

"Wah! Indah sekali!" Tari berteriak girang ketika kami telah mencapai puncak bukit. Gadis ceriwis yang telah lama menjadi sahabatku itu terlihat sekali begitu menikmati pemandangan senja di arah barat. Warna jingga dari pancaran matahari yang hampir tenggelam, menambah kesan romantis. Aku yang memang tidak pernah ikut pendakian sebelumnya, langsung duduk berselonjor di atas tanah dengan alas beberapa patahan daun dari pohon rimbun yang tadi dibawa Damar. Kakiku rasanya sangat pegal.

Tari dan Ika terlihat sibuk berselfi di langit senja nan indah yang kini terlihat begitu nyata terpampang dihadapan kami. Begitu memukau indera penglihatan. Sedangkan Damar dan Rimba yang dibantu pemandu mulai membangun tenda untuk kami tidur malam ini.
Semua rencana untuk menyaksikan sunset dan surise dari bukit di pedalaman Kalimantan ini adalah rencana Ika yang memang asli orang sini. Bukan hanya Ika, tapi juga Rimba asli orang melayu Kalimantan. Jadi, kami akan menginap beberapa malam untuk menikmati suasana bebas hiruk pikuk perkotaan.

Aku hanya tersenyum simpul ketika melihat Ika yang berpose kalem. Diantara aku dan Tari, Ika yang paling cantik. Gadis itu bertubuh tinggi semampai, rambut panjang lurusnya yang sekarang sedang ia kuncir tinggi, hidung bangir, mata belo kecoklatan dengan bibir tipis yang ketika tersenyum selalu membuat lelaki di kampus kami terpikat setengah mati padanya. Kecuali dua orang lelaki yang kini sedang sibuk mendirikan tenda.

Aku menghela nafas lelah. Teringat dua lelaki di hadapanku kini. Rimba Benua yang berpostur tinggi besar dengan kulit eksotis, tulang rahang tegas, mata sekelam malam yang selalu menatapku dengan teduh. Rambut sebahu yang selalu ia ikat. Rimba, lelaki yang pernah mengisi kekosongan hatiku ketika kecelakaan beberapa tahun silam merenggut nyawa kedua orangtuaku. Rimba juga yang mengenalkanku apa itu ikhlas, dan mencintai. Sampai pada-, ah. Sudahlah. Mengingatnya hanya akan mengulik luka yang kucoba sembuhkan.

"Minum?" Tanpa kusadari, Damar sudah berdiri di hadapanku mengangsurkan sebotol air mineral. Langsung kuterima lantas membuka penutupnya secara perlahan, menenggak dengan rakus hingga menandaskan setengah dari isinya.

"Nggak ikutan berfoto?"

"Besok saja. Muka berantakan gini setelah mendaki berjam-jam. Nggak, deh. Aku bukan Ika yang cantik luar biasa, atau tari si ceria yang manis tiada tara." Mendengar penuturanku, Damar tertawa kecil. Ia lalu melepas sepatunya untuk dijadikan alas duduk disebelahku.

"Kamu sempurna dengan semua yang kamu miliki. Jangan suka merendahkan diri sendiri dan memuji orang lain secara berlebihan." Ini dia. Yang membuatku jatuh cinta pada Damar. Dia yang bergerak lebih cepat, selalu membuatku dalam jurang Dilema diantara dua pemuda.

Malam menjelang. Dua buah tenda yang dibangun oleh para lelaki tadi, telah berdiri sempurna untuk kami tempati. Suara binatang malam mulai mengisi keheningan ditengah gulita dan sejuknya hawa pegunungan. Setelah makan malam dengan memasak nasi dan lauk mie instan seadanya, kami menuju tenda masing-masing untuk beristirahat.

Aku berbaring ditengah, diapit Tari dan Ika. Keduanya sudah terlelap, mungkin terlalu lelah karena sejak sampai tadi sore, keduanya asik berfoto sampai lupa istirahat sejenak. Mataku menangkap bayangan dari luar tenda.

Rimba kah?
Bangun secara perlahan agar tidak megusik keduanya, aku membuka resleting tenda untuk keluar. Benar saja, rimba sedang duduk menghadap sisa-sisa api unggun kami tadi.



"Belum tidur?"

"Belum tidur?"

Pertanyaan yang terlontar secara bersamaan, membuatku sedikit kikuk.

"Belum. Damar sama Bang Syahrian sudah nyenyak."

"Aku juga belum mengantuk."

"Insomnia kamu belum hilang?"

Aku menggeleng sebagai jawaban. Dia menunjuk di hadapannya. Aku langsung mengerti dan duduk. Kami terhalang oleh sisa api yang sudah menjadi bara. Penerangan minim berasal dari lampu gantung yang ditaruh Damar pada sebuah kayu kecil yang ia dirikan tadi sore.

"Kalau mau buang air, jangan sendirian. Bangunkan saja Ika sama Tari."

"Iya."

Keheningan yang mendera diantar kami lantas buyar ketika pendengaranku menangkap suara aneh.

"Kamu dengar, Bang?" Aku menatap Rimba dengan perasaan campur aduk karena takut. Ia hanya diam, mungkin juga menajamkan pendengaran. Menukas, aku segera beralih tempat duduk disebelahnya.

"Masuk tenda dan tidur!" Suara Rimba sedikit tertahan ketika mengatakannya, membuat perasaanku makin tidak enak. Tanpa membantah, aku langsung kembali ke tenda. Sebelum masuk, aku juga menyuruhnya untuk tidur. Hanya ia jawab dengan anggukan. Matanya terlihat liar ke sana ke mari, memperhatikan sekitar. Pada kegelapan bukit belantara ini.

Aku langsung merebahkan diri, dan mencoba membaca ayat-ayat yang kuhapal. Setelah berusaha memejamkan mata di tengah ketakutan, akhirnya aku terlelap.

**

"Aku lihat tadi!"

"Seharusnya kamu cegah atau ikuti!"

"Mana aku tau jadi begini, Ben!"

Lelapku terusik dengan suara teriakan dari luar. Mengerjapkan mata, lantas tidak menemukan Ika dan Tari lagi di kanan kiriku.

"Ada apa? Mana Ika dan Tari?" Aku yang segera keluar dari tenda, mendapati ketiga lelaki ini terlihat gusar memandang satu sama lainnya.

"Sepertinya mereka buang air." Rimba menjawabku, tapi ia tidak fokus. Kelihatan sekali ada yang ditutupi. Oh, ayolah, aku mengenalnya.

"Damar!" Dengan tidak sabaran, aku beralih pada Damar.

"Aku lihat mereka kearah sana, mungkin seperti yang dibilang Ben, mereka cuma buang air. Tapi sampai sekarang belum kembali."

"Kalian nggak mencoba mencari?" Aku mulai geregetan setengah mati. Ketiga lelaki dihadapanku ini hanya saling melirik satu sama lain tanpa ada yang berniat menjawab.

Aku cepat berlari ke arah tenda, berniat mengambil ponsel untuk penerangan.

"Astaga! Damar! Rimba!" Aku mundur dengan refleks kearah belakang.

"Apa!" Ketiganya menghampiriku. Badanku terasa lemas.

Rimba melongok ke dalam tenda, dan berdecih keras.

"Ular!"

Lelaki itu mengambil mencari sesuatu, lalu kembali dengan membawa tongkat yang tadi digunakan untuk menggantung lampu.

"Jangan dibunuh, Ben." Damar mengingatkan. Begitu juga dengan pemandu kami yang aku lupa namanya. Sepertinya mereka sudah tahu. Dan keduanya berusaha mengeluarkan ular kira-kira sebesar pergelangan tanganku dari dalam tenda.

"Untungnya cuma ular sawa." Rimba yang dibantu pemandu membuang ular itu cukup jauh. Damar yang sejak tadi memegangi tubuhku yang lemas, mengusap rambutku dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Aku memang paling penakut, juga dengan binatang di hutan.

Sekembalinya Rimba dan pemandu, aku kembali dibuat merinding. Suara lengkingan dari arah timur kami berdiri, terdengar seperti teriakan Tari.

"Ayo kita cari!" Pemandu kami dengan sebuah penerangan ditangannya mengajak kami semua mencari arah sumber suara.

Bulu kudukku terasa meremang ketika melangkahkan kaki di kegelapan malam. Suara binangang malam tidak lagi terdengar indah, tapi serasa mencekam dan siap membuatku ingin pingsan. Ditambah lagi pencahayaan yang minim, suasana kian menyeramkan. Lalu terdengar kikikkan yang seketika membuatku memegang tangan Damar dengan kuat. Bisa aku rasakan air mataku akan meleleh sebentar lagi.

"Tenang."

"Ika, Tari-" kusebut nama keduanya. Memberitahu Damar kalau aku cemas sekaligus didera rasa takut.

"Ada darah!" Suara pemandu yang nyaris seperti bisikkan membuat langkah kami terhenti. Kinerja jantungku makin berpacu cepat, genggamanku mungkin saja melukai Damar. Kuku tajamku mencengkeram kuat pergelangannya.

Benar. Di dedaunan yang berserakan di jalan setapak ini ada tetesan darah yang kelihatan masih segar dan berbau amis. Seketika perutku terasa mual.

"Tenang, La. Semuanya pasti baik-baik saja." Damar tetap menenangkanku. Sekalipun itu tidak berguna sama sekali. Bagaimana mungkin aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini.

"Itu Tari!" Suara Teriakan Rimba berhasil membuatku ingin melompat begitu saja.

"Tari-" suaraku rasanya tercekat di tenggorokkan. Bulu kudukku benar-benar meremang sekarang dengan ketakutan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Tari tergeletak dibawah pohon besar rindang dengan keadaan tidak sadarkan diri. Dari pakaian dan tempat sekitarnya terlihat darah segar berceceran. Nyawaku rasanya hampir terenggut dari badan jika saja Damar tidak memelukku.

"Jangan sampai Laila lihat, Dam!" Terdengar suara Rimba sarat emosi. Apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa dengan Tari? Ke mana Ika?

Suara tawa menyeramkan kembali terdengar, kali ini dengan geraman tertahan yang kian mendekat. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Damar, namun sepertinya dia tidak ingin aku melihat. Aku tahu diriku ini penakut, tapi setidaknya aku ingin tahu yang sebenarnya terjadi.

"Gila!"

"Ini bukan mimpi! Ben, cepat angkat Tari!" Suara Rimba lalu disambut suara Damar yang memerintah. Kurasakan Damar membawaku berlari. Terseok-seok, karena kepalaku ia jaga untuk tetap berada dalam dekapnya. Nafasku tersengal. Grasak-grusuk langkah kami. Apa benar Rimba menggendong Tari sambil berlari? Terus Ika?

Pertanyaanku terjawab. Aku yang tidak melihat dengan keadaan jalan, tersandung dan kami berdua terjatuh bergulingan di tanah. Nafasku belum normal seutuhnya ketika melihat sesuatu melayang-layang mendekati kami.

Nafasku rasa tercekik. Jantungku rasa berhenti berdetak. Dan seluruh persendianku rasanya kaku.


Spoiler for ilustrasi:


Itu, itu.

"Ika, jangan ganggu kami! Kami semua sahabat kamu!" Teriakan Rimba menarik kesadaranku.

Itu Ika.

Bukan. Hanya kepala dan- seketika perutku bergejolak.
Usus, jantung, hati dan lain-lain organ dalamnya menggantung dengan darah merembes dari sana menguarkan bau amis yang menyengat.

Spoiler for ilustrasi:



Damar membantuku berdiri. Lalu aku melihat sendiri, bagaimana Rimba dan pemandu kami menghalau amukan Ika yang saat ini telah menjelma dalam bentuk Kuyang yang melegenda di Kalimantan. Mataku menjadi saksi. Bagaimana mengerikan rupa Ika yang kukenal cantik jelita, kini hanya kepala dengan organ dalam tanpa badan.


Spoiler for ilustrasi:




Pandanganku tiba-tiba gelap. Dan kesadaran telah merenggutku secara paksa dalam kengerian.




Tamat






Nama, tempat dan kejadian hanya fiksi semata.
Murni ide pribadi. Maaf, kalau banyak salah menyebutkan nama tempat.

Referensi gambar :
1 , 2 , 3 , 4 , 5
Diubah oleh linalusiana 22-09-2019 10:49
anasabilaAvatar border
GrestaAvatar border
sebelahblogAvatar border
sebelahblog dan 26 lainnya memberi reputasi
27
7K
215
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan