Kaskus

News

NegaraKITAAvatar border
TS
NegaraKITA
Konflik Papua, Ujian Kebhinekaan Indonesia
Spoiler for Kami:


Spoiler for Video:


Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Bukankah itu semboyan dari Pancasila? Lantas mengapa ada kasus rasisme yang tak hanya sekali mendera saudara kita? Seperti yang terjadi pada konflik mahasiswa Papua di Malang (15/08) dan persekusi mahasiswa serta isu SARA di Surabaya (16/08). Kasus ini menyebabkan luapan amarah dan kekecewaan dari rakyat Papua. Menyebabkan kericuhan terjadi di berbagai kota seperti Manokwari dan Sorong. Mereka pun merasa permintaan maaf tidak sepadan untuk mengobati amarah itu.

Gubernur Papua Lukas Enembe menganggap permintaan maaf sejumlah pihak atas kerusuhan Manokwari dan beberapa daerah lain di Papua belumlah cukup. Menurutnya masalah rasisme telah terjadi bertahun-tahun. "Tidak bisa disederhanakan, menyelesaikan masalah Papua bukan seperti itu. Masalah Papua sudah rumit, rasisme itu terjadi bertahun-tahun kepada mahasiswa Papua di Jawa," ujar Enembe di Jayapura pada Selasa 20 Agustus.

Tribunnews[Pesan dan Kritik Gubernur Papua Lukas Enembe untuk Jokowi]

Masalah rasisme itulah yang menjadi salah satu faktor konflik di Papua. Bagaimana tidak, dengan adanya pernyataan rasis yang terus berulang, maka akan muncul perasaan traumatik seakan Indonesia tidak menganggap Papua sebagai bagian dari dirinya.

Media asing pun mulai menyoroti Papua. Maka sudah dapat dipastikan, setiap peristiwa yang ada di Papua akan cepat menyebar. Di sinilah organisasi yang menginginkan kemerdekaan Papua dapat bergerak bebas. Kita harus ingat, bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) terpusat di daerah pegunungan sehingga kebanyakan mereka merupakan orang gunung. Dengan isu rasial ini, maka akan muncul rasa senasib sepenanggungan. Mereka bisa berbaur dan berdiskusi dengan orang pantai yang berada di kota-kota pesisir seperti Jayapura.

CNN Indonesia ['Jangan Lihat Papua dengan Logika Jawa']

Kemungkinan mereka tidak akan menyerukan kemerdekaan Papua. Tapi, mereka akan mengajak rakyat Papua untuk bertukar pikiran terkait masalah rasial ini. Diskusi itu tentunya bertujuan untuk menyulut emosi warga Papua yang telah terluka, dan baru lah pada saat emosi warga memuncak dan mereka telah sependapat, maka kemerdekaan Papua menjadi agenda diskusi mereka. Yakni lewat cara referendum.

Apakah para separatis ini tidak bisa ditangkap? Tidak, mereka yang telah membaur dengan orang pantai akan berlindung pada Pasal 28 UUD 45 tentang Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul. Apabila pemerintah Indonesia meredam atau membubarkan diskusi/musyawarah itu, maka media baik asing maupun lokal akan dengan cepat menyebarkan informasi tindakan represif yang dilakukan.

Apalagi dengan adanya kasus ini, maka akan bermunculan orang-orang pro Papua merdeka yang emosional karena isu SARA. Hal ini akan mempersulit identifikasi kelompok OPM. Pihak yang pro Papua merdeka akan jadi terbagi dua, antara pihak pro Papua merdeka karena emosi sesaat dengan pro Papua merdeka yang sebenarnya. Apabila salah tangkap, maka Indonesia akan berurusan dengan LSM internasional.

Lantas bagaimana dengan komunitas gereja? Apakah mereka tidak bisa mendamaikannya? Secara logika, ketika ada kasus rasial seperti ini, maka tentu orang yang sedang emosional akan lebih mendengarkan para provokator yang memanaskan situasi ketimbang para pemuka agama yang menyerukan perdamaian. Bahkan bisa saja, dengan adanya isu SARA, komunitas gereja pun ikut tersulut emosinya.

Inilah dilema dari Indonesia, karena pada akhirnya negeri ini akan dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan yang pertama adalah membiarkan isu rasial di Papua redam secara sendirinya. Akan tetapi, disintegrasi Papua dari Indonesia dapat dipastikan cepat atau lambat akan terjadi. Cara ini adalah cara yang manusiawi.

Pilihan yang berikutnya adalah operasi militer. Konflik Papua dapat terus dipanaskan. Ketika mencapai puncak kerusuhannya, maka dilakukanlah pemutusan jaringan telekomunikasi 4G yang ada di Papua, seperti Telkomsel. Ketika telekomunikasi terputus, maka operasi militer dapat dilakukan pada target operasi yang telah ditentukan dan diamati terlebih dahulu. Seperti orang-orang berpengaruh yang benar-benar pro pada kemerdekaan Papua. Akan tetapi harus diingat, cara ini sangat tidak berperikemanusiaan.

Cara tersebut menjadi salah satu pilihan karena Indonesia telah terlambat dalam menyikapi kondisi Papua hingga menjadi seperti ini, bagaikan sebuah bom waktu. Rakyat Papua tidak ditanamkan rasa nasionalisme pada jiwa mereka. Tetapi mereka dipaksa untuk mencintai dan bangga dengan Indonesia dari balik todongan senjata. Hal yang terjadi sepanjang era orde baru.

Historia [Papua di Tangan Soeharto]

Lagipula apabila Indonesia merupakan negara yang berpandangan demokratis, tentunya tidak akan khawatir dengan referendum apabila hal itu terjadi. Ketika rasa nasionalisme tidak dipaksa, maka ia akan tumbuh dengan sendirinya dan berapa kali pun referendum, rakyat Papua akan tetap bangga menjadi bagian dari Indonesia.

Tetapi, apabila referendum tidak dilakukan karena kekhawatiran Indonesia akan rakyat Papua lebih memilih berjalan sendiri tanpa negeri ini, maka demokrasi kita patut dipertanyakan. Negara yang maju demokrasinya akan menghormati perbedaan pilihan warganya. Terlebih lagi, Papua sejatinya bukanlah kawasan yang telah menjadi kesepakatan awal kemerdekaan Indonesia.

Ketika Indonesia takut berdemokrasi dan tak memperbolehkan referendum terjadi, maka posisi Indonesia dalam berdemokrasi akan lebih rendah dari 'monyet' yang kita sebut 'monyet'.
0
1.1K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan