pernahmuda181Avatar border
TS
pernahmuda181
Kisah NYATA, Boleh (PERCAYA) Dan Boleh (TIDAK)
*Untaian Tasbih*

Mobil travel perlahan berhenti di pintu ruang tunggu bandara Cengkareng. Para calon TKI segera turun, mereka ada 12 orang, orang-orang yang akan pergi ke Saudi Arabia, semua menjinjing tas ransel atau koper, tujuan pasti mereka adalah sebuah pabrik semen di Saudi Arabia, tak ada yang tau nasib apa yang menanti di sana, yang terang semua mengharapkan perubahan setelah bekerja di Saudi Arabia, mengingat betapa sulitnya bekerja di negeri sendiri, mungkin memilih bekerja di Saudi Arabia adalah suatu pilihan yang paling akhir dari keterdesakan ekonomi, yang tak pernah menuju ke arah perbaikan dan semua TKI pasti mempunyai alasan sendiri, sekalipun itu bisa di buat-buat, yang jelas jika di suruh jujur, tak ada orang yang mau bekerja jauh dari keluarga.


Pemuda yang terakhir turun dari travel, bernama Boni. Matanya menyapu depan bandara kemudian bergegas mengejar temannya yang sudah lebih dulu memasuki ruang tunggu, dia kaget ketika pintu bandara terbuka sendiri, Boni mundur lalu maju untuk masuk, ia benar-benar heran, yah namanya orang udik.

Pemuda umur 25 tahun itu melangkah kederetan kursi yang sudah di penuhi teman-temannya. Dia berdiri saja melihat orang yang lalu lalang, ada lelaki bule menyeret tas panjang, di belakangnya perempuan bule membawa ransel di punggungnya. Orang lalu lalang tiada henti, tapi keadaan serasa begitu sunyi tak ada penjual makanan yang menawarkan dagangannya seperti di stasiun, atau terminal.

Pandangan Boni tertuju ke kursi-kursi sederetan dengan kursi tempat teman-temannya duduk, banyak wanita yang berseragam ada yang duduk ada yang berdiri, ada juga yang menggelonjor di ubin, nampak juga ransel dan koper berserakan di samping mereka, pastilah mereka para TKW, yang akan bekerja di Arab Saudi, ada yang wajahnya murung, tapi ada juga yang wajahnya ketawa ketiwi, tak taulah mungkin mereka ada yang sudah pernah berangkat ke Saudi atau ada yang sama sekali belum pernah berangkat.

Boni jadi ingat ketika di penampungan, ketika malam yang larut jam telah menunjukkan 24 lebih dan dia tak bisa tidur lalu pergi ke pos satpam. Di sana masih ada satpam yang jaga malam. Boni pun duduk ngobrol, belum sampai lima menit ngobrol dengan satpam, ada mobil dari bandara yang mengantarkan seorang TKW, menjerit, berontak, mau kabur, dengan di pegangi tiga orang. Perempuan itu di seret ke penampungan perempuan yang ada di belakang.

Sementara satpam ikut memegangi, dan Boni pun duduk di kursi semula, timbul berbagai macam dugaan dalam pikirannya, sampai perempuan berontak seperti itu, tapi pikiran-pikiran kotor yang terlintas segera ia tepis jauh-jauh. Pintu penampungan terbuka, dan nampak keluar tiga orang pengantar di iring bapak satpam. Ketiga orang itupun pergi, dan satpam kembali duduk di kursi dekat Boni, tanpa di minta satpam itupun bercerita panjang lebar, menurut ceritanya gadis yang berumur 21 tahun itu, sebenarnya baru berangkat ke Saudi 1 bulan tapi sungguh malang, dia mendapatkan majikan yang buruk, ia di rudapaksa oleh majikan, anaknya, saudaranya, pokoknya yang merudapaksanya ada lima orang, ia selalu di sekap di dalam kamar, sampai minggu yang lalu baru bisa kabur.

Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari dalam penampungan perempuan, "bapak satpam tolong pak si lin nangis terus kepalanya di tatap-tatapkan ke tembok, sampai berdarah." satpam segera lari kedalam sebelumnya memesan supaya menjaga gerbang utama, namun belum sampai 5 menit satpam masuk tiba-tiba dari dalam berlari perempuan tadi sambil menangis.

Boni segera menghadangnya, dan memang perempuan itu kepalanya berdarah, dia terus menangis, minta di bukakan pintu gerbang, satpam segera muncul tergopoh-gopoh, dan memaksanya masuk ke dalam lagi, tapi Boni tau keadaan maka dia menghibur perempuan yang patah arang itu sambil menyalurkan tenaga prana lewat telapak tangannya sehingga perempuan itu menjadi tenang dan mau di ajak masuk ke dalam.

Boni menarik napas lega, karena masalah telah teratasi, pasti akan sulit menghilangkan trauma di perempuan itu, mungkin seumur hidupnya akan selalu menghantui kejadian pemerkosaan yang menimpa dirinya, sungguh betapa berat hidup yang sementara ini harus terlewati. Boni membayangkan betapa sulitnya pergi ke Saudi Arabia, berbelit-belitnya proses keberangkatan, permainan para seponsor, yang menghalalkan segala cara, belom lagi ulah calo-calo yang mencari keuntungan, petugas PJTKI yang mengambil untung berlipat-lipat, sementara para pencari kerja, ini adalah pilihan terakhir karena keterdesakan ekonomi, harga untuk makan, sekedar isi perut semua mahal.

Lari ke Saudi diporoti sana sini ngurus surat di kelurahan di kecamatan, semua minta bagian, dan setelah jadi berangkat, nasib di sini tak menentu, tanpa perlindungan sama sekali pemerintah tak perduli, semua hanya mau mengambil untung saja. Ini seperti orang yang mau bepergian dengan uang ngutang, lalu bertemu banyak orang dengan alasan menolong dan meringankan beban perjalanannya tapi memorotinya sampai orang itu telanjang tak punya apa-apa lalu di lepas begitu saja.

Boni melangkah menuju antrian teman-temannya yang telah berjejer memeriksakan bawaanya, giliran Boni di periksa. Petugas menanyakan namanya, pertanyaan yang simpel-simpel aja tentang nama, nama orang tua, tujuan perjalanan, cuma waktu menanya namanya petugas wanita itu, mengulang tanyanya, hanya Boni saja? Boni jadi merenung, memang selama ini dia tak pernah memikirkan arti akan namanya yang pendek. Kenapa dia di beri nama sependek itu, padahal sepengetahuannya nama itu adalah harapan dan doa, atau mungkin karena orang tuanya yang jualan warung kelontong, dan saat mengandungnya lagi banyak hutangnya sehingga namanya BON mungkin artinya hutang, untuk mengenang banyak hutang, ah tak taulah.

Setelah melewati deretan pemeriksaan. Dari di minta mematikan hp. Membuang air mineral, tak boleh membawa segala yang berbau cair, dari sabun, sampo, pasta gigi, juga di larang membawa sesuatu yang berbau tajam. Kalau terpaksa membawa maka harus menyimpannya dalam satu tas dan menaruhnya di bagasi. Sampai sudah di bagian akhir pemberangkatan, orang sudah penuh, banyak yang duduk di lantai, Ada beberapa orang Arab, dan kebanyakan penumpang adalah TKW mungkin kalau di hitung persen, 99 persen TKW, selebihnya tki dan penumpang biasa.

Boni duduk di kursi pesawat Aaudi airlines, setelah mencari-cari no. kursi tiket yang di pegang, dia menemukan tempat duduknya. Yang ternyata di kanan kirinya ternyata perempuan semua, Bagaimanapun juga Ia merasa risih, dan kagok, ah akhirnya takdirnya membawa kesini juga, walau hal ini tak pernah ia inginkan. Karena selama ini dalam dirinya telah terpaku keyakinan, lebih baik kerja di negara sendiri, walao mulai dari nol berusaha sendiri lalu di pupuk secara perlahan kontinyu, nantinya juga akan berhasil, daripada pergi bekerja ke luarnegeri, pulang dengan uang banyak, tapi bingung mau usaha apa, kemudian modal habis, lalu pergi ke luar negeri lagi, begitu seterus nya.

Tapi takdir berbicara lain. Jika di tengok ke belakang betapa Boni merasa hidupnya penuh warna warni. Dia yang tiga bersaudara. Kakaknya Abdullah, yang kini jadi pengusaha sukses di Jakarta, dan adiknya Atika, yang selalu hidup di pesantren. Terbayang orang tuanya yang selalu hidup paspasan, cuma punya warung kelontong, namun sejak kecil Boni telah di didik untuk hidup mandiri, tanpa mesti tergantung orang tua, dan jadi benalu keluarga.

Sejak lulus SD Boni telah menentukan jalannya sendiri, dengan ketrampilan yang dia miliki, yaitu menulis kaligrafi, Boni mulai memasuki dunianya sendiri, pertama ia masuki pondok pesantren sarang rembang Jawa Tengah yang di asuh kyai Maimun Zubair. Di pondok Al anwar itu, Boni mulai menggembleng diri, segala materi untuk hidup di pesantren dia usahakan sendiri dengan membuat kaligrafi di kaca lalu di saat luangnya dia akan berjalan menyusuri kampung-kampung nelayan, menawarkan kaligrafi bikinannya, kadang kaligrafi banyak yang membeli, tapi juga tak laku sama sekali, dengan sabar dan telaten masa-masa sulit pun terlewati, sampai tiga tahun sudah dia di pondok Sarang.

Kemudian Boni pindah ke pondok lain, pilihannya jatuh ke pondok Babat Lamongan, pondok Ihya asuhan kyai Fahrurrozi, mengingat kalau di pondok Sarang terus, pendapatan untuk sekedar makan aja udah tak ada karena sudah banyak penduduk yang telah membeli kaligrafinya, disini Boni menemukan cara yang lebih efisien dalam menjual kaligrafi dengan menitipkan pada toko di pasar Babat, di samping karena peraturan pondok yang ketat, yaitu santri cuma boleh keluar pondok seminggu sekali. Akhirnya Boni cuma bisa bertahan beberapa bulan lalu pindah ke pondok Langitan, yang di asuh kyai Fakih.

Lama-lama di pikir, Boni tak punya apa-apa kalau kelamaan di pondok, mungkin akan banyak waktu terbuang. Boni pulang ke rumah, burung terbang, akhirnya kembali kesarangnya. Kakaknya yang bernama Abdullah mulai merajuknya untuk pergi ke Saudi, sampai kakaknya berkata, setiap hari mutar tasbih, baca qur'an, tak akan menjadikan kau kaya. Boni heran dengan kakaknya itu, padahal kakaknya itu jebolan pesantren Lerboyo, tapi sekarang memang telah menjadi seorang pengusaha di Jakarta. Kakaknya itu juga mempunyai PJTKI, tapi mengapa semua orang mengukur keberhasilan dengan harta, kalau banyak hartanya di bilang sukses kalau tak punya apa-apa di bilang gagal, apa nabi kita Muhammad itu nabi yang gagal, cuma karena miskin.

Untung saat itu ada satu pesantren di daerah Bonang Demak yang membutuhkan seorang pengajar, dan Boni mendapatkan tawaran, tanpa pikir-pikir lagi dia pun menerima, maka berangkatlah dia ke Demak. Di pesantren itu Boni berjanji, untuk benar-benar memperjuangkan Islam semampunya, dan di pesantren itu Boni mulai mengajar. Dia mulai menunjukkan, seorang pengajar, seorang ustad yang ilmunya mumpuni, dari pengajaran nahwu, tajwid, fiqih, hadis, tasawuf, dia ajarkan.

Dan Boni mulai di kenal, karena penyampaiannya yang lembut, dapat di pahami, selalu menyela-nyelai humor yang mendidik, sehingga banyaklah murid santri yang menyukai, sehingga apabila santri pulang, selalu membawa teman santri baru saat kembali, dalam masa dua tahun, pesantren yang awalnya cuma berisi 100 santri itu, telah membludak hampir 500 santri. Sang kyai sangat senang akan perkembangan itu, maka dalam pikiran kyai Fauzi, Boni haruslah menjadi menantunya, sang kyai mempunyai anak empat, satu lelaki bernama Imam, dan tiga perempuan.Asiah, Hanifah, Azyah.

Tapi Boni benar-benar telah di mabuk ilmu, karena makan dan kebutuhannya telah di penuhi maka Boni setiap hari hanya mengajar, para putri kyai yang berlomba ingin memilikinya Boni tak perduli, waktu berjalan teramat cepat, tiga tahun sudah Boni menjadi ustad. Sekarang mushola pesantren telah tak muat, apabila Boni menjadi imam jamaah sholat, belum lagi orang desa sekitar yang sengaja datang untuk ikut sholat bersama Boni, kalau Boni membaca Ayat-ayat Alquran suaranya, sebenarnya tak begitu merdu, tapi ada yang lain, yang membuat mata tak bisa untuk tak menangis. Bahkan tak jarang jamaah sholat, karena tak kuatnya akhirnya menjerit dan pingsan.

Sebenarnya Boni membacanya biasa-biasa, tapi bacaan itu setiap mengalir dari setiap tempat keluarnya suara ia hayati kandungannya, dia masukkan ke dalam hati, dan setiap teguran dari Alloh, maka dia merasa dialah yang di tegur, di ancam dengan neraka, dan siap di masukkan, karena terlampau banyaknya dosa. Sehingga teramat takutnya dia, dan mungkin yang di rasakan oleh Boni itu menyentuh hati orang yang mendengar sehingga hati mereka juga seperti di iris-iris.

Pagi itu habis menjalankan sholat subuh, seperti biasa Boni membacakan kitab ibnu akil kepada santrinya, tiba-tiba bacaanya terhenti, dan Boni memandang kearah santri,

"kemana Rusdi, sudah beberapa hari ini, aku tak melihat dia ikut mengaji?"

"dia tidur ustad."

"dia mengamalkan ilmu rogo sukmo ustad." suara santri ramai saut menyahut menjawab.

"oh ya sudah, sudah." Boni memutuskan untuk mencari tau sendiri, melihat santri mulai ribut. Dia melanjutkan mengajar.

Setelah mengajar, Boni memutuskan untuk mendatangi sendiri kamar Rusdi, para santri semua menjalankan kegiatan pagi, sehingga lorong-lorong kamar sepi, ada yang mencuci pakaian, ada yang sedang sarapan, ada yang memasak ada yang menyapu halaman. Sebagai ketua pesantren Boni tau betul kamar-kamar di mana santrinya tinggal, maka tanpa ragu Boni melangkah ke kamar Rusdi. Sampai di dekat kamar Rusdi, Boni heran karena mendengar suara anak kecil bersenandung. Segera dia mengucap salam, di dalam kamar Boni melihat cuma ada Rusdi, yang sedang mencoret-coret buku tulis. Dan menjawab salamnya dengan suara anak kecil.

Ah tentu Rusdi bercanda, "hei rus, jangan bercanda."

"Aku bukan kang Rusdi."

"Lalu kamu siapa?" tanya Boni, karena dalam hatinya mungkin Rusdi ini manusia berkepribadian ganda seperti dalam filem jadi Boni mengikuti saja.

"aku Maman, tadi aja aku baru pulang sekolah, lalu kang Rusdi memintaku untuk menggantikannya di pesantren."

"Lalu kang Rusdinya kemana?"

"kang Rus di memakai tubuhku, mau pulang ke rumah, mau melihat kerbaunya, kamu siapa sih, kok banyak nanya-nanya?"

"oo, aku temannya kang Rusdi."

"em main bola yok?" Rusdi dengan suara kecil itu berlari-lari ke lapangan depan pesantren. Ah tak taulah, Boni menggeleng-geleng melihat tingkah Rusdi.

Rusdi adalah pemuda umur dua puluh tahun, berperawakan depal, tinggi sedang, tubuhnya berotot karena tiap harinya selama di ogan kumuning hilir tempat tinggalnya, kerjanya mencari kayu di hutan, di kumpulkan untuk di jual di pasar. Sekarang ini Boni harus menghadapi tingkah aneh Rusdi, sebagai seorang yang memimpin pesantren, kebijaksanaan dan kesabarannya teruji. Boni memandang dari jauh Rusdi yang bermain bola dengan lincah.

Hari berlalu, baru tiga hari, Rusdi kembali ke sikap semula, dan cara bicara seperti sebelum suaranya menjadi suara anak kecil, setelah Boni di kasih tau santri kalau keadaan Rusdi telah normal seperti sediakala, maka Boni pun Bergegas ke kamar Rusdi. Ketika sampai di kamar Rusdi kebetulan pemuda itu ada dan sedang menyapu kamar, Boni segera meminta Rusdi menghentikan menyapu dan mengajaknya bicara.
0
622
6
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan