Laditachuda
TS
Laditachuda
Demi Dirimu
Pulangnya Sebuah Hati



Quote:



Wajahnya menunduk, bahkan berkali-kali membuangnya ke arah yang tak bisa kulihat. Setiap ucapan yang keluar dari mulutku hanya ditanggapi sambil lalu. Mata kosongnya menyiratkan sesuatu, dan hanya aku dan dirinya saja yang paham.

"Jaga Alwan baik-baik," ucapku tajam pada pria yang tengah duduk di samping Alwan. Bibir pria itu mendadak berhenti berkicau. Ia langsung menangkap ketidakpercayaanku untuk menjaga anak bungsu kami.

"Ya iyalah, pasti aku jaga," tukasnya tersinggung. "Si mama di rumah juga pasti jagain Alwan, kok."

Aku mendengus muak mendengar jawabannya. Tidak pernah berubah rupanya. Mantanku ini selalu bersembunyi di ketiak ibunya ketika dilimpahi tanggung jawab.

"De, jangan susah makannya. Salatnya juga dijaga. Nanti mami usahain sering-sering nengok dede." Lagi-lagi anakku hanya memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku yakin dia sedang menyembunyikan airmata.

Kedatangan bus memecah kekakuan antara kami. Mantan dan anakku bergegas pamitan dan buru-buru menghampiri bus. Aku mengikuti mereka dari belakang sambil sesekali menekan ulu hati. Rasanya perih, lebih sakit dari ketika maag kambuh. Jantungku berdebar tak beraturan. Hampa. Aku tak merasakan apa-apa di hati. Kosong yang aneh. Apakah ini sedih atau lega, aku tak pernah tahu hingga kemudian melihat Alwan berlalu dari hadapanku.

Alwan berusaha mengikuti langkah ayahnya. Bahunya menurun, seperti menanggung sebuah beban. Aku tahu, tidak ada anak yang ingin berpisah dengan ibunya. Tapi ia terpaksa mengambil keputusan berat demi aku. Aku ibunya yang tengah terpuruk karena sakit dan tak memiliki pekerjaan. Alwan menaiki tangga bus dengan perlahan, ia masih terlihat ragu dengan keputusannya.

Lamunanku tiba-tiba terpecah suara telepon. Raihan menelepon dari dalam bus, tangannya melambai-lambai memberi isyarat agar aku mengangkat telepon.

"Ini si Dede pengen ngomong," ucapnya ketika mendengar suaraku. Kulihat ia menyerahkan telepon pada Alwan.

"Mami ...," suara serak terdengar. "Nanti tengok dede ...."

Kerongkonganku tercekat. Kini aku tahu arti sakit yang terasa di hati. Suaraku tak mau keluar. Yang bisa kulakukan hanya mengangguk sambil melambai-lambai padanya sambil sesekali mengacungkan ibu jari.

Bus pun berlalu perlahan. Mataku mengikutinya hingga pandangan mengabur. Airmata mulai memenuhi rongga mata. Sakit yang terasa di ulu hati mulai naik menyesaki dada. Aku bingung tak tahu kemana harus pergi, yang kuingat hanyalah salat dan musala. Bingung, lelah dan sedih membuat badanku limbung. Sujudku begitu lama dan penuh airmata. Musala tempatku salat seketika hening ketika suara sesenggukan memenuhi ruangan. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menumpahkan semuanya di tempat ini.

"Mbak, mau temani aku baca ini?" Tiba-tiba seorang ibu menyentuh bahu dan membuatku tersentak. Tangannya merengkuh bahu, membuatku bangkit dari sujud yang panjang. Sebuah wajah ramah tersenyum di hadapanku. Ibu itu menyodorkan Al Quran. "Yuk, kita baca sama-sama," ucapnya lagi sambil membuka sebuah surat di dalamnya. Surat Yasin, pelipur segala sedih, membuat bahagia siapa pun yang membacanya.

Aku pun terlarut dalam ayat-ayatnya. Entah suara yang keluar jelas atau tidak. Namun, hatiku terasa lebih ringan sekarang. Aku harus kuat, masih ada Fauzan di rumah yang juga membutuhkan ibunya.



Hampir setahun setelah kejadian di terminal itu, tapi aku tak pernah bisa berdamai dengan lukanya. Jauh dari Alwan membuatku limbung. Satu-satunya hal yang membuatku tetap bersemangat adalah kesibukan. Tenggelam di komunitas dan tulisan ternyata banyak membantu menghalau rasa sepi tanpa kehadirannya.

"Kamu udah nengok Alwan?" Tanya Dwi suatu hari, terdengar penasaran karena tak terdengar juga cerita dari bibirku.

Aku enggan menceritakan kejadian kemarin di rumah mantan. Entah mengapa, setiap aku menengok Alwan pasti saja diakhiri dengan masalah. Terlebih niatnya untuk rujuk sama sekali diabaikan olehku. Aku tak ada niat untuk kembali merajut cinta dengan Raihan. Karena cinta yang pernah tersakiti takkan pernah sama rasanya, takkan pernah sama wujudnya. "Ehm ... kemarin aku udah nengok dia," jawabku pendek. Nada suaraku membuat Dwi paham untuk tidak mengorek lebih lanjut.

Tak lama kemudian sahabatku Ami membawa kabar. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya, rupanya keyakinanku untuk tidak rujuk terbukti benar sekarang.

"Udah tua juga masih saja majangin foto bareng ceweknya di Facebook," gerutu Ami. Jarinya sibuk membuka-buka beranda Facebook Raihan. Aku lihat Foto profilnya juga sudah diganti jadi foto berdua.

"Biarin aja ah," ucapku geli, "terbukti bukan sekarang? Coba aku setuju untuk rujuk kemarin, pasti sekarang udah sakit hati lagi gara-gara cewek itu."

Ami manggut-manggut menyetujui ucapanku. "Nanti kamu bakalan susah enggak nengokin Alwan?"

Awalnya aku menjawab pertanyaan itu dengan geli. Akan tetapi, kejadian demi kejadian berikutnya membuatku berpikir lain. Keluarga mantan berkeyakinan kalau aku tak mau rujuk karena lebih mementingkan karir. Setiap aku datang menengok Alwan pasti saja sambutannya tidak enak. Belum lagi teman-teman yang mencemooh karena aku tidak manut saja dengan usul mereka untuk rujuk. Aku hanya bisa mengelus dada. Sementara itu, aku masih berusaha memegang janjiku pada Alwan untuk membawanya kembali bila pekerjaanku telah tetap. Namun, rupanya Allah masih belum mengizinkan aku mewujudkannya.

"Mami jangan dulu ke sini. Papa mau nikah akhir bulan ini." Alwan mengatakan hal yang menakutkan ketika aku menelponnya.

"Nanti mami gimana dong kalau mau nengok dede? Nanti istri barunya papa kamu tinggal di rumah itu enggak?"

"Dede juga enggak tau, Mi."

Kemudian hal yang menakutkan itu benar-benar terjadi. Raihan menikah, dan anehnya nomor teleponku diblokir olehnya. Bukan masalah Raihan menikah yang membuatku takut, tapi aku takut tak bisa menemui Alwan lagi. Ketakutan itu menjadi kenyataan ketika Alwan sulit dihubungi. Teleponku tak pernah diangkat olehnya. Raihan pun semakin terlihat keculasan hatinya. Tanggung jawabnya pada Fauzan, anak sulung kami dilupakan begitu saja. Dari dulu pun dia tak pernah menunjukkan tanggung jawabnya ketika anak-anak masih sepenuhnya dalam tanggunganku. Sedangkan aku menanamkan pada mereka untuk tidak meminta. Walaupun akibatnya, aku jadi jatuh sakit karena beban yang terus mendera.

"Coba telepon ke neneknya Alwan." Suatu hari Dwi menyarankan hal yang sebenarnya tak ingin aku lakukan.

Namun, akhirnya aku lakukan juga saran Dwi. Sering aku merasa tanpa daya seumpamanya Dwi tidak ada. Untungnya, kedekatanku dengannya banyak membawa hal positif dalam hidup. Aku menelpon mantan mertuaku dan bertanya kabar Alwan, dan juga kemungkinan untuk menengoknya.

"Mama kurang tau juga, yah. Soalnya sekarang istrinya Raihan tinggal di rumah mama." Jawaban dari mantan mertuaku terasa mengiris hati. Ini yang kutakutkan, ketika orang baru jadi penghalang pertemuanku dengan Alwan.

Aku kemudian menelpon Dwi dan menceritakan semuanya. "Kenapa, Mas? Kenapa semua orang ingin menyakitiku?"

"Kamu tak perlu bertanya mengapa, karena inilah kehidupan. Nanti setelah lebaran coba tengok Alwan, yah."

Aku menggeleng. "Apa aku bakal diperbolehkan menemuinya? Aku sungkan dengan istri baru Raihan." Tidak kukatakan kepadanya ketakutanku ditolak oleh Alwan. Ia sekarang sudah memiliki ibu yang mengurusnya tiap hari.

"Kenapa sungkan? Dia anakmu. Lagipula itu momen yang tepat untuk silahturahmi."

"Mas, kenapa doa-doaku belum dikabul Allah?" tanyaku sambil menahan tangis.

"Apa kamu sudah benar-benar berdoa? Sudah benar-benar meminta?" Dwi balik bertanya padaku. Pertanyaan yang menghantam ulu hatiku.

"Aku berusaha istoqamah, Mas."

"Apa salatmu sudah benar? Apa bacaan Al Quran sudah benar-benar dipahami?" Kembali Dwi menohok hatiku. "Jangan menanyakan kelakuan mereka dulu, Dek. Bertanyalah pada diri sendiri dulu."

Malam itu aku benar-benar berpikir. Semua cobaan yang aku jalani pasti menuju pada satu hal. Kemudian aku teringat dengan mimpiku bertahun-tahun lalu. Sebuah mimpi yang seolah menunjuki aku pada hal yang bisa menjadi penawar dari semua ini. Berbagai kehilangan menghantamku, mulai dari kesehatan, pekerjaan, hingga anak. Aku yakin ini semua menuju pada satu titik. Mimpi itu sebenarnya petunjuk yang diberikan padaku untuk menguatkan diri ini. Apalagi yang dapat menjadi penawar hati yang gelisah selain membaca. Membaca Al Quran dan makna kehidupan dengan benar. Aku yakin, bila berusaha memperbaiki diri, Allah pun akan memperbaiki kehidupanku.

Satu hari sebelum ramadan tiba aku pun menelpon Dwi. "Mas, temani aku baca Al Quran, yah." Tak terdengar jawaban dari seberang telepon. "Mas?"

Setelah sekian menit baru terdengar jawaban dari Dwi. "Alhamdulillah, Dek. Kita mulai nanti malam, gantian satu ain satu ain. Satu hari satu juz, yah." Dwi terdengar antusias dengan ajakanku. Aku tahu, hal ini yang dari dulu ia inginkan. Membaca Al Quran bersama-sama.

Setelah menjalani hari-hari yang dipenuhi lomba membaca Al Quran dengan Dwi, hidupku jadi terasa memiliki tujuan. Rasa sedih jadi tertawar bahagia karena membaca kitab Allah. Hidupku jadi terasa ramai. Kini aku mengerti kenapa Dwi selalu terlihat gembira, karena aku pun sekarang merasakan hal yang sama.

Di ramadan ini aku ingin memperbaiki diri, ibadahku, keimananku. Aku tak perlu menyalahkan orang lain terlebih dahulu, sudah sewajarnya bila aku menyalahkan diri sendiri dulu. Mempertanyakan diriku sendiri dahulu, lalu memulai segalanya pun dari diri sendiri. Lebaran sebentar lagi akan tiba, dan aku sudah siap menghadapi semuanya. Aku akan pergi menemui Alwan. Ada Allah bersamaku, Dia yang akan membimbing dan menolongku.


Sumber : slice of life
jmontefioreIztaLorieanasabila
anasabila dan 13 lainnya memberi reputasi
14
2.3K
59
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan