babygani86Avatar border
TS
babygani86
Pembangunan Kilang Minyak demi Menanggulangi Defisit MIGAS
Sepanjang 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 8,57 miliar. Angka defisit tersebut terbesar sejak tahun 1975. Itu pun defisitnya hanya USD 391 juta.

Defisit terjadi akibat neraca minyak dan gas (migas) yang tekor sampai USD 12,4 miliar. Penyumbang terbesar defisit sektor ini, yaitu minyak mentah dan hasil minyak, masing—masing USD 4,04 miliar dan USD 15,95 miliar.



Untuk menanggulangi defisit, salah satu opsi yang ditempuh Pemerintah adalah melakukan pembangunan kilang minyak. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), porsi impor Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini sekitar 52 % dan akan dikurangi secara bertahap, sehingga diharapkan tidak lagi impor BBM pada 2025. Peningkatan kapasitas kilang diharapkan bisa menjadi lebih dari 2 juta barel per hari, melalui pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang yang ada melalui program Refinery Development Master Plan (RDMP).

Membangun kilang bukanlah hal mudah. Biaya yang digunakan lumayan besar, mencapai triliun rupiah. Sementara itu, profit dari pembangunan kilang tak terlalu besar. Investor swasta asing yang tertarik pada proyek kilang minyak terbilang sedikit. Contohnya, ada perusahaan Kuwait yang sempat mau bermitra dalam proyek kilang, tetapi memilih mundur. Di bisnis minyak, swasta lebih suka berinvestasi di hulu daripada di hilir. Soalnya, di hilir margin keuntungannya kecil.

Jika swasta membangun kilang dipastikan akan meminta jaminan offtaker dari Pertamina atau badan usaha lain. Namun, Pertamina tidak akan melakukannya, karena harga menjadi tidak kompetitif. Oleh karena itu, kecenderungannya lebih baik dibangun oleh Pertamina atau badan usaha lain yang bisa menjadi offtaker.

Meski begitu, pembangunan kilang penting dan harus tetap dilakukan. Apalagi merunut kebutuhan Indonesia akan minyak yang mencapai sekitar 1,3 hingga 1,4 juta barel per hari (bph). Sementara itu, produksi minyak dalam negeri masih 700.000 hingga 900.000 bph. Ada kebutuhan minyak sekitar 400.000 bph, diimpor dari Singapura yang notabene punya kilang lebih besar.



Untuk itu, disarankan agar pemerintah, dalam hal ini Pertamina, tetap fokus pada upaya pembangunan kilang, meski terlambat dari jadwal awal pada 2016 dan baru terlaksana Desember 2018. Pembangunan kilang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan pembangunan RDMP Kilang Balikpapan dan penandatanganan proyek pembangunan kilang baru atau Grass Roots Refinery (GRR) di Bontang.

Banyak faktor yang jadi penghambat. Pertama, mafia migas sengaja menghalangi agar impor membengkak. Kedua, persoalan fasilitas pada investor karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak memberikan fasilitas fiskal. Terakhir, kurang seriusnya Pertamina dalam 20 tahun terakhir dan dinilai gagal membangun kilang.

Hambatannya, investor tadi minta tax facility atau fiscal facility, tapi tidak diberikan. Agak mengherankan investasi di bidang lain memperoleh tax holiday, tapi di investasi kilang tidak.

Meski banyak hambatan, pembangunan kilang minyak tetap harus jadi prioritas. Kilang minyak yang dibangun harus terintegrasi. Tidak hanya dapat mengolah BBM, tetapi juga produk lain, sehingga memperbesar profit dan margin seperti kilang minyak Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban.




Spoiler for Referensi:


bluesenoAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan blueseno memberi reputasi
2
5.5K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan