Belakangan ini dunia terperanjat dengan pengakuan warga muslim Uighur yang mengaku mendapatkan penyiksaan di China. Penyiksaan yang tidak beradab tersebut, seakan-akan mengingatkan kita kembali terhadap penderitaan kaum muslim Rohingya yang dilakukan oleh Myanmar. Sontak saja arus protes bermunculan di dunia. China mendapatkan kritikan keras dari berbagai pihak. Di tengah kebangkitan ekonomi yang mengagumkan dan pada saat sedang terlibat langsung perang dagang dengan AS, kasus ini mencuat seakan menampar muka Xi Jinping. Bagaimana tidak? Pada era globalisasi saat ini, China mencontoh perbuatan Nazi dengan memasukan 1 juta muslim Uighur ke dalam kamp konsentrasi.
 
Masyarakat Indonesia juga tidak tinggal diam. Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kasus ini menciderai rasa kemanusiaan, apalagi sebagai sesama umat muslim dengan suku Uighur. Solidaritas tersebut juga berlaku ketika Rohingya diterpa penindasan oleh pemerintah Myanmar. Gelombang demonstrasi dan protes keras kepada Myanmar dilakukan oleh Indonesia. Bahkan ketika bertemu Presiden Myanmar, Presiden Jokowi tidak segan untuk menyinggung persoalan Rohingya. Begitu juga dengan KH Maruf Amin yang pada saat itu masih aktif sebagai Ketua MUI, gencar memberikan rekomendasi dan mendesak langkah-langkah pemerintah untuk menekan Pemerintah Myanmar.
 
Namun berbeda dengan kasus Uighur. Myanmar bukan Negara penting bagi Jokowi dan Maruf Amin. Patut dimaklumi juga, KH Maruf Amin saat ini sudah berstatus non aktif sebagai Ketua MUI. Myanmar bukan salah satu mitra dagang terbesar RI. Myanmar juga bukan salah satu pemberi hutang RI. Dan Myanmar bukan “mitra bayangan” RI dalam merebut Freeport dari tangan Amerika. Kedekatan Jokowi dengan China membuat semua umat muslim di Indonesia dipaksa untuk memaklumi sikap diam Presiden RI tersebut sejauh ini, apalagi saat ini Jokowi sedang membutuhkan dukungan China untuk memenangkan pemilu 2019. Namun yang sangat disayangkan, Cawapres KH Maruf Amin sebagai ulama dan tokoh besar umat Islam di Indonesia sampai saat ini juga tidak tegas mengutuk keras perbuatan China terhadap umat muslim Uighur. KH Maruf Amin seperti kehilangan jati dirinya sebagai tokoh nasional. Pilihan beliau menjadi terbatas ketika masuk di dunia politik. Rasa solidaritas beliau seakan tersandera oleh hubungan dekat Jokowi – Xi Jinping. Nasihat KH Maruf Amin kepada Jokowi mengenai Uighur mungkin juga tidak didengarkan. Justru Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla yang mengambil peran itu. Jusuf Kalla dengan sangat hati-hati menyuarakan bahwa pelanggaran HAM dimanapun tidak boleh dibiarkan. Mengingat persoalan Uighur ini nyrempet-nyrempet issue separatisme, di mana Indonesia juga memiliki masalah yang serupa di Papua. Namun statemen Wakil Presiden RI untuk berdiri dari kacamata HAM patut diapresiasi, setidaknya mampu menjadi oase pada kekeringan kritikan Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah China.
 
Sikap KH Maruf Amin ini membuktikan bahwa Jokowi hanya menjadikan ulama sebagai pengerek elektoral terutama umat muslim. KH Maruf Amin terlihat didesain hanya untuk menjadi boneka pendamping jokowi. Mimpi-mimpi dimana ketika ulama menjadi Wakil Presiden Jokowi, maka dapat memberikan warna dan memfasilitasi kepentingan umat Islam seketika lenyap. Padahal harapan itu sebelumnya sangat besar kepada KH Maruf Amin. Inilah akibatnya ketika Pemerintah Indonesia terlalu bergantung kepada Negara lain, mulai dari hutang maupun arus impor. Indonesia sudah kehilangan jati dirinya sebagai negara yang turut berperan aktif menciptakan perdamaian dunia. Solidaritas Indonesia sebagai negara dengan penduduk umat muslim terbesar di dunia akhirnya tersandera oleh hutang yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Oleh karena  itu, masihkah kita percaya bahwa Indonesia masih berdaulat saat ini, meskipun Freeport telah 51% dimiliki oleh Inalum? 
 
Oleh : FX Wawolangi