BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menanti tindak lanjut putusan MK demi masa depan anak

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perubahan usia minimal perkimpoian yang diatur dalam UU Perkimpoian
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perubahan usia minimal perkimpoian yang diatur dalam UU Perkimpoian terbitan 44 tahun silam. Uji materi yang diajukan setahun lalu, telah dibacakan hasilnya oleh para hakim konstitusi.

Upaya ini bukan yang pertama. Empat tahun silam, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantuan Hak Anak gagal mengubah batasan usia perempuan menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Upaya uji materi ke MK ditolak, khususnya terhadap Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang Perkimpoian.

Hakim saat itu menilai, batas usia menikah bagi perempuan telah sesuai dengan banyak aspek, seperti kesehatan, sosial, budaya dan ekonomi. Tidak ada jaminan berkurangnya angka perceraian, kesehatan dan masalah sosial lainnya, bila batas usia itu dinaikkan.

Ayat 1 Pasal 7 UU Perkimpoian tersebut berbunyi, "Perkimpoian hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Sementara ayat 2 berbunyi "Dalam hal penyimpangan dalam ayat 1, pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."

Memperbolehkan anak perempuan berusia di bawah 18 tahun--bahkan di bawah 16 tahun bila mendapat dispensasi pengadilan--sama dengan mendukung anak punya anak. Banyak risikonya bila anak harus melahirkan dan mengurus anak.

Maka, tepatlah bila MK akhirnya mengabulkan uji materi yang diajukan (lagi) terhadap pasal yang sama, dari UU yang sama. Uji materi kali ini, diajukan para korban pernikahan dini. Putusannya dibacakan hari ini, Kamis (13/12/2018).

Maryati dan dua orang lainnya, Endang Wasrinah, dan Rasminah, menjadi pemohon perorangan dalam perkara tersebut. Mereka mengaku dinikahkan oleh orang tuanya pada usia 13-14 tahun.

Hakim Konstitusi kali ini menilai bahwa ketidaksinkronan antara UU Perkimpoian dengan UU Perlindungan Anak dapat menimbulkan diskriminasi bagi anak perempuan yang hak-haknya dijamin oleh UUD 1945.

Aturan yang melegalkan praktik perkimpoian anak, berpotensi mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang--seperti diatur dalam Pasal 28B dan Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Pun menurut pemohon, frasa "16 tahun" dalam Undang-Undang Perkimpoian telah melanggar prinsip segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Jika anak perempuan menikah di bawah 18 tahun, hak anak tidak dapat dinikmati sebagaimana anak laki-laki. Permohonan pun dikabulkan.

Kita tinggal menunggu Pemerintah dan DPR untuk melakukan sinkronisasi terhadap undang-undang dan peraturan terkait. MK memberi waktu tiga tahun setelah putusan dibacakan untuk mewujudkannya. Siapapun nanti yang akan berkuasa pasca-pemilu, menanggung kewajiban konstitusional tersebut.

Bila dalam periode tersebut tak ada langkah konkret, titah MK batas minimal akan otomatis diharmonisasikan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama untuk laki-laki dan perempuan.

Artinya, bila dalam 3 tahun tidak ada perubahan terhadap UU Perkimpoian, maka frasa "16 tahun" dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkimpoian harus dibaca "18 tahun", menyesuaikan ketentuan usia anak dalam UU Perlindungan Anak.

Putusan yang melegakan, karena problem yang dihadapi selama ini tidaklah enteng.

Data menunjukkan, tingkat perkimpoian pada usia anak cukup lazim di negeri ini. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) periode 2016, populasi perempuan umur 20-24 tahun yang sudah menikah adalah 5,1 juta jiwa--memang turun tipis dibanding pada 2011 (5,3 juta jiwa).

Di antara mereka, yang menikah di bawah usia 15 tahun pada 2016 adalah 28,9 ribu orang--menurun jauh dibanding periode 2011 (129,6 orang). Penurunan juga terjadi pada kalangan yang menikah saat usianya di rentang 15-17 tahun; dari 1,1 juta orang pada 2011 menjadi 570,6 ribu orang pada 2016.

Provinsi yang memiliki persentase tertinggi perkimpoian anak pada usia 15 -17 tahun (di kalangan perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah menikah) adalah Kalimantan Selatan, sebesar 32,03 persen. Sementara perkimpoian anak di bawah umur 15 tahun dalam kategori yang sama, tertinggi di Kalimantan Utara--mencapai 4,06 persen.

Masalahnya bukan sekadar definisi usia di atas kertas. Data lain menunjukkan, anak perempuan usia 10-14 tahun yang telah menikah berisiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding yang berusia 20-24 tahun.

Secara global, kematian akibat kehamilan menyasar anak perempuan usia 15-19 tahun.

Karenanya jangan heran bila menyimak data dari Unicef, per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 perkimpoian anak di dunia dan posisi ke-2 di Negara ASEAN berdasarkan data council of foreign Relation.

Tingginya risiko yang ditanggung anak perempuan bila menikah dini dan kemudian melahirkan anak, sudah seharusnya menjadi perhatian. Belum lagi bila menimbang aspek psikologis anak--kematangan fisik tak sepadan dengan kematangan mentalnya.

Kita boleh berharap, angka-angka itu akan berubah pada masa mendatang, seiring penerapan putusan yang baru ini.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...asa-depan-anak

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Butuh pendekatan yang tepat untuk pendidikan antikorupsi

- Meredam ekses e-KTP palsu

- Timbang lagi usulan badan legislasi pemerintah

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
233
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan